Pendekatan Multilateral Harus Diintensifkan Indonesia guna Hadapi Kampanye Negatif

Sertifikasi dapat menjadi strategi dan solusi untuk meningkatkan penerimaan sawit berkelanjutan di pasar global. Foto: Validnews
Sertifikasi dapat menjadi strategi dan solusi untuk meningkatkan penerimaan sawit berkelanjutan di pasar global. Foto: Validnews

TROPIS.CO, JAKARTA – Guru Besar Universitas John Calbot Roma Pietro Paginini menuturkan pendekatan multilateral harus diintensifkan Indonesia untuk menghadapi kampanye negatif.

Ia juga menyatakan bahwa sertifikasi dapat menjadi strategi dan solusi untuk meningkatkan penerimaan sawit berkelanjutan di pasar global.

Pandangan itu disampaikannya saat menjadi pembicara pada Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2020 yang diselenggarakan secara virtual pada Kamis (8/12/2020).

GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) mencatat ekspor minyak sawit di bulan September ke negara-negara Uni Eropa mengalami penurunan dari 405,22 ribu pada Agustus menjadi 360,55 ribu ton.

Ini masih disebabkan oleh kontraksi permintaan pasar akibat Covid-19.

Pietro juga memapaparkan bahwa selain perubahan pola hidup masyarakat Eropa di tengah pandemik Covid-19, aktivis lingkungan antisawit kembali menyuarakan kampanye negatif yang menyoroti industri sawit sebagai salah satu penyebab pandemi.

“Menyuarakan antisawit telah menjadi tren yang menekan industri terutama sektor pangan di beberapa negara di Eropa.”

“Setidaknya 50 persen produk di Italia dan 65 persen produk di Perancis mengubah bahan baku dari minyak sawit menjadi minyak nabati lainnya.”

“Sementara itu, pergeseran opini ditunjukkan beberapa negara Eropa seperti Inggris yang mulai menyadari fakta bahwa industri kelapa sawit dapat dikelola secara berkelanjutan,” ungkap Pietro.

Berbagai kebijakan terkait label Palm Oil Free akan diusung di Uni Eropa yang dapat menjadi tantangan juga kesempatan bagi industri kelapa sawit.

Menurutnya, label palm oil free yang disematkan oleh perusahaan dan pengecer makanan semata untuk membela petani minyak nabati Uni Eropa.

“Contohnya di Swiss, dimana ada referendum untuk menghentikan perjanjian-perjanjian antara Indonesia dan Swiss, karena minyak kelapa sawit terlalu kompetitif.

“Dalam aspek komersial, yaitu persaingan business to business antar produsen makanan,” ujarnya.