Pemerintah Siapkan Opsi Penyelesaian Sengketa Lahan Sawit

Pemerintah INdonesia telah menyiapkan beberapa opsi berupa pelepasan kawasan serta land amnesty untuk menyelesaikan sengketa sekitar 3,17 juta hektare kebun sawit. Foto : RiauAktual.com
Pemerintah INdonesia telah menyiapkan beberapa opsi berupa pelepasan kawasan serta land amnesty untuk menyelesaikan sengketa sekitar 3,17 juta hektare kebun sawit. Foto : RiauAktual.com

TROPIS.CO, JAKARTA – Pemerintah menyiapkan beberapa opsi diantaranya tukar menukar kawasan, pelepasan kawasan serta pemberian status legal (land amnesty) guna menyelesaikan sengketa 3,17 juta hektare kebun sawit yang diklaim berada di kawasan hutan.

Di sisi lain, praktisi hukum menyarankan pemberian izin satu daur tanam sawit atau sekitar 35 tahun bisa menjadi solusi praktis dan menjamin kenyamanan berusaha.

Pengamat Hukum Kehutanan dan Lingkungan Dr. Sadino berpendapat, kebijakan izin satu daur penanaman sawit lebih dapat diterima masyarakat dibandingkan opsi tukar menukar kawasan, pelepasan kawasan, land amnesty dan sebagainya yang pada akhirnya sulit dieksekusi.

Kebijakan ini juga menunjukkan penghargaan pemerintah terhadap hak masyarakat yang telah berusaha secara legal dan turun temurun pada konsesi yang belakangan diklaim sebagai kawasan hutan.

“Selain lebih praktis, kebijakan ini memberi kepastian hukum dan keamanan berusaha,” tutur Sadino di Jakarta, Rabu (23/10/2019).

Menurutnya, izin usaha satu daur bisa menjadi solusi praktis agar pengelolaan konsesi yang digunakan sebagai usaha perkebunan bisa dilanjutkan.

”Selama bertahun-tahun, masyarakat sebenarnya telah menunggu penyelesaian konflik atas hak pengelolaan kebun yang diperoleh secara legal sesuai prosedur UU dengan mudah dipatahkan hanya melalui keputusan Menteri yang sebenarnya telah dibatalkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK).”

“Ini perlu penyelesaian segera dan pemberian izin satu daur bisa jadi solusi,” ucap Sadino.

Sementara itu, Asisten Deputi Tata Kelola Kehutanan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Prabianto Mukti Wibowo mengatakan, pemerintah telah menyiapkan beberapa opsi berupa pelepasan kawasan serta land amnesty untuk menyelesaikan sengketa sekitar 3,17 juta hektare kebun sawit.

“Opsi tersebut masih diskusikan dengan banyak pakar hukum agar kedepan tidak menjadi persoalan baru dan dapat dibakukan dalam bentuk regulasi,” kata Prabianto.

Dia menilai, kebijakan yang diputuskan pemerintah akan mempertimbangkan banyak hal seperti historis adanya perubahan-perubahan regulasi pemerintah yang pada saat itu yang memungkinkan seseorang untuk membangun kebun.

“Pada prinsipnya, kebijakan itu harus pro rakyat dan mampu meningkatkan kelembagaan petani sawit serta memastikan setiap perkebunan menerapkan standar Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO),” ujar Prabianto.

Ia menyatakan bahwa dalam menetapkan kebijakan yang akan menjadi regulasi, pemerintah mempertimbangkan beragam pendapat.

Jika kebun tersebut menjadi ilegal karena regulasi tumpang tindih, misalnya aturan mengenai hutan, bisa saja diajukan untuk pelepasan.

Opsi lain berupa pemberian status legal atas kebun bisa dengan memenuhi beberapa persyaratan seperti menyelesaikan kewajiban yang selama ini belum dijalankan seperti membayar pajak.

“Hanya saja, karena luasan lahannya yang cukup besar, dibutuhkan waktu dan proses untuk menyelesaikan persoalan ini,” papar Prabianto.

Sementara itu Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Kalimantan Tengah (Kalteng) Rawing Rambang mengharapkan, pemerintah pusat perlu segera merampungkan regulasi yang konsisten terkait sengketa lahan sawit.

Pasalnya, Kalteng merupakan provinsi yang paling terdampak akibat sering berubahnya regulasi di tingkat pemerintah pusat.

“Persoalan ini menjadi masalah utama di di Kalteng dan perlu diselesaikan segera agar masyarakat tidak terjebak seolah merusak hutan seperti yang saat ini dituduhkan sejumlah pihak,” terangnya.

Sebagai contoh, jika mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2003, sekitar 67 persen merupakan kawasan hutan, sedangkan berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) Kehutanan Nomor 529 Tahun 2012, yang dikeluarkan belakangan, menetapkan kawasan hutan mencapai 82 persen.

Padahal, sekitar tahun 2000-an, Dirjektorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Kehutanan mengeluarkan aturan untuk Kawasan Pengembangan Produksi (KPP) dan Kawasan Permukiman dan Pengembangan Lainnya (KPPL), tidak perlu melakukan pelepasan kawasan hutan.

Namun, pada 2006, keluar aturan baru yang mewajibkan KPP dan KPPL harus mendapat pelepasan kawasan hutan.

Di satu sisi, sudah banyak perkebunan yang terlanjur tanam tanpa pelepasan, karena awalnya berpatokan pada aturan yang dikeluarkan tahun 2000.

”Karena muncul aturan baru, sehingga yang sudah terlanjur beraktivitas tanpa pelepasan ini jadi masuk kawasan hutan, hal ini tidak bisa dihindari dan tentu karena aturan,” katanya.

Rawing juga mengharapkan, pemerintah pusat punya konsep keberlanjutan (sustainable) yang sama dengan Uni Eropa agar provinsi yang menjadi sentra sawit seperti Kalteng tidak terganggu.

Dari sisi ekonomi, sawit merupakan komoditas terbesar yang menyumbang 14,2 persen Gross Domestik Product (GDP).

Selain itu, dari 2, 6 juta penduduk Kalteng sekitar 350 ribu merupakan petani sawit.

“Kalteng punya kontribusi 20 persen terhadap CPO Nasional sehingga kalau sawit turun pertumbuhan ekonomi Kalteng juga turun,” ungkapnya.

Rawing pun memastikan Kalteng jauh lebih maju dibandingkan provinsi lain karena mulai membangun sawit tahun 1992 hingga kini sawit yang ditanam di Kalteng mencapai 1,542 juta hektare dan punya PKS 109 unit.

Kalteng juga punya Perda tentang Sustainable Palm oil Plantation.

Ada empat aspek utama yang diatur dalam perda itu yakni adanya keterlibatan masyarakat, memanfaatkan lahan marjinal, menghormati hak masyarakat adat dan memperhatikan lingkungan.

“Dalam kalimat sederhana Kalteng punya konsep membangun sekarang tanpa merugikan masa depan,” pungkas Rawing. (aby)