Peluang Dongkrak Ekspor Non Migas dari Hasil Kayu Olahan

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Indroyono Soesilo menilai, mengoptimasikan pemanfaatan sumber daya alam dan mendorong ekspor, khususnya dari hasil hutan kayu bisa jadi solusi jangka pendek dan menengah defisit neraca perdagangan Indonesia. Foto : APHI
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Indroyono Soesilo menilai, mengoptimasikan pemanfaatan sumber daya alam dan mendorong ekspor, khususnya dari hasil hutan kayu bisa jadi solusi jangka pendek dan menengah defisit neraca perdagangan Indonesia. Foto : APHI

TROPIS.CO, JAKARTA – Badan Pusat Statistik mencatat, defisit neraca berjalan perdagangan Indonesia pada April 2019 mencapai US$2,5 miliar atau lebih besar dibanding dengan defisit pada periode yang sama di tahun lalu, yakni US$1,63 miliar.

Defisit neraca perdagangan ini berasal dari defisit neraca perdagangan migas US$1,49 miliar dan non migas US$1,0 miliar.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Indroyono Soesilo, menyatakan bahwa defisit neraca perdagangan tersebut harus menjadi perhatian bersama dan perlu dipikirkan langkah-langkah solusinya dalam jangka pendek dan menengah.

”Dalam jangka pendek, solusi yang sangat memungkinkan adalah dengan mengoptimasikan pemanfaatan sumber daya alam dan mendorong ekspor, khususnya dari hasil hutan kayu, karena bahan bakunya seluruhnya tersedia di dalam negeri, kandungan lokal seratus persen dan tidak perlu impor barang modal,” kata Indroyono di Jakarta, Selasa (18/6/2019).

Belum lama ini, menurut Indroyono, APHI hadir dalam pertemuan Ke-60 Komite Penasehat Industri Kehutanan Berkelanjutan (ACSFI), sebuah lembaga di bawah Organisasi Pangan dan Pertanian Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) atau Food and Agriculture Organization (FAO) di Vancouver, Kanada,

APHI juga menggelar pertemuan dengan industriawan perkayuan Korea di Seoul serta melakukan studi banding ke Vietnam.

“Dari hasil kegiatan tersebut diperoleh kesepakatan untuk menjajagi relokasi industri hulu kehutanan, utamanya plywood, dari Tiongkok ke Indonesia dalam rangka mengantisipasi perang dagang antara Tiongkok dengan Amerika Serikat,” sebut Indroyono.

Dia juga menyatakan bahwa pada pertemuan dengan industriawan kehutanan Korea, yang difasilitasi oleh Kedutaan Besar RI di Seoul, menghasilkan beberapa pilihan potensi ekspor serpih kayu hasil Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk memasok pembangkit-pembangkit tenaga listrik di Korea.

“Ini potensial sekali mengingat saat ini Korea sedang beralih dari energi batubara ke energi terbarukan, utamanya serpih kayu hasil HTI,” kata Indroyono.

Dari pertemuan bisnis dengan pelaku industri di Vietnam, Indroyono menegaskan bahwa terdapat potensi ekspor produk kayu olahan dari Indonesia ke Vietnam senilai US$2,4 miliar, berupa moulding dari kayu HTI akasia dan kayu gergajian dari jenis karet.

”Nilai ekspor produk kayu olahan Indonesia ke Vietnam tahun 2018 baru mencapai US$275 juta berarti masih terbuka pasar yang lebar ke Vietnam,” ujar Indroyono.

Dari analisa dan perhitungan APHI terhadap ketersediaan pasokan kayu, terdapat potensi kayu olahan Hutan Tanaman Industri nonpulp dalam bentuk moulding sebesar 3,3 juta m3 per tahun dengan nilai sebesar US$1 miliar.

Selain itu, terdapat pula potensi kayu dari replanting karet yang ditanam rakyat untuk bahan baku kayu gergajian sebesar 3,4 juta m3 setahun dengan nilai US$1 miliar.

“Jika potensi ini dapat dioptimasikan, akan berkontribusi cukup signifikan untuk mengurangi defisit neraca berjalan perdagangan Indonesia,” ucap Indroyono.

Dalam jangka pendek ini, menurut Indroyono, perlu deregulasi khusus.

”Diperlukan paket kebijakan untuk mempermudah pendirian industri kayu gergajian skala kecil menengah on farm/dekat dengan sumber bahan bahan baku Hutan Tanaman Industri, kebijakan ekspor kayu gergajian dari replanting karet rakyat, dan penyederhanaan sistem tata usaha kayu, terutama untuk pemanfaatan kayu karet hasil replanting karet rakyat,” tuturnya.

Dia memastikan, tambahan ekspor dari produk kayu olahan tersebut tidak akan mengganggu pasokan untuk industri kayu olahan saat ini, karena akan dipasok dari Hutan Tanaman Industri nonpulp dan dari pemanfaatan kayu replanting rakyat.

Sebagai catatan, ekspor produk kayu Indonesia beserta olahannya pada tahun 2017 mencapai US$10,3 miliar dan pada tahun 2018 meningkat menjadi US$12,2 miliar.

Dengan demikian, masih ada potensi untuk menambah lagi devisa sekitar US$2 miliar.

“Saya kira ini juga sesuai dengan harapan Presiden Joko Widodo untuk menurunkan defisit neraca berjalan hingga seminimal mungkin,” pungkas Indroyono. (*)