Menemukan Kembali Nabati Lokal yang Terlupakan

Pangan Lokal

Lalu masuk ke tanaman buah, sayur, obat-obatan, palmae dan sebagainya.

Bisa jadi tidak terhitung jumlahnya dan tidak ternilai potensinya, meski memang ada disrupsi akibat paradigma pangan lokal yang tidak penting serta berbagai sebab lainnya.

Dulu misalnya ada Mama Aleta Baun yang berjuang mengembalikan sorghum untuk bisa kembali berjaya di wilayah Nusa Tenggara Timur. Ia melakukannya hingga kini.

Contoh lain ada Oday Kadariah, perempuan paruh baya, yang mendapatkan Kalpataru pada 2018.

Perempuan dari Ciwidey ini konsisten hingga kini mengkampanyekan tanaman obat dan bumbu-bumbu lokal, yang banyak bermanfaat untuk daya tahan tubuh.

Ada juga Nissa Wargadipura dari Garut yang mendorong revitalisasi berbagai jenis tumbuhan lokal di pesantrennya.

Ia menamakannya sebagai Gerakan Pesantren Ekologi. Bagi Nissa, tanaman lokal itu kuat dan sehat, mudah dipelihara sera tahan banting.

Helianti Hilman, pengusaha cerdas pangan nabati lokal, misalnya, dengan optimis menceritakan kewirausahaannya dalam menggali kekayaan dan keragaman pangan lokal.

Ia bertutur, garam di Indonesia bisa disarikan dari tumbuhan, bahkan yang tumbuh di daerah bukan pantai. Tanamannya adalah nipah. Pelepah nipah ini bisa diolah menjadi garam.

Gula ternyata bukan hanya bisa dari tebu. Tapi bisa dari aren, kelapa, nipah dan lontar. Bumbu penyedap tidak hanya dari tetes tebu, tapi juga bisa dari nipah.

Kini, pandemi Covid-19 semakin menumbuhkan kesadaran masyarakat kita tentang pentingnya untuk paham, cinta dan pendayagunaan pangan nabati lokal.

Dari berbagai kalangan datangnya, dari beragam latar. Tidak lagi ada sekat desa atau kota, tua atau muda, petani atau bukan, berpengalaman atau tidak.

Di kota sebagai contoh. Semakin banyak teman baik saya, yang nota bene tinggal di area perkotaan, yang melakukan urban farming.

Pekarangan sempit dan sudut rumah sekalipun bisa dimanfaatkan, baik untuk penggunaan tanam media tanah maupun hidroponik.

Mereka saling berbagi pengetahuan, berbagi hasil dan berbagi bibit.

Untuk kalangan usia muda, beberapa petani milenial yang sukses saya temui di berbagai pelosok Indonesia.

Ada yang menanam sayur mayur. Ada juga buah-buahan khas lokal Indonesia.

Semua contoh di atas menunjukkan makin bergeliatnya kecintaan kepada pangan nabati lokal.

Jika ini dulu hanya dilakukan oleh petani karena memang sudah menjadi bagian dari hidup mereka, sekarang makin merambah menjadi suatu gerakan lebih luas.

Niscaya jika ini semakin menjadi kecintaan, gaya hidup dan gerakan, maka akan semakin terbangun dan terkuatkan rumah ketahanan dan kemandirian pangan Indonesia. Kita pasti bisa.

Swary Utami Dewi
Anggota Tim Penggerak Percepatan Perhutanan Sosial