HHBK Tak Berkembang, Rp27 Triliun Melayang Setiap Tahun

TROPIS.CO, YOGYAKARTA – Pemerintah kehilangan kesempatan mendapatkan tambahan pemasukan, sedikitnya Rp27 triliun setiap tahun, dari Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK).

Pendapatan yang sejatinya menambah peningkatan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), tak mampu diraih walau potensi HHBK mencapai sekitar 90 persen dari 100 persen potensi HHBK di dalam kawasan hutan.

“Tadi Pak Djohan (Direktur usaha Jasa Lingkungan – Red) telah menyampaikan, sejak kita kuliah di Fakultas kehutanan, kita telah diberi tahu bahwa dari 100 persen potensi kawasan hutan itu hanya 10 persen yang berupa kayu, terbesar adalah non kayu,” kata Direktur Iuran dan Peredaran Hasil Hutan Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Awria Ibrahim.

Dia mengatakan itu saar menjadi narasumber pada Rapat Koordinasi Kesatuan Pengelolaan Hutan ( KPH) 2019 di Yogyakarta, Kamis (25/7/2019).

Rakornas yang diikuti sedikitnya 500 peserta dari pimpinan KPH dan Dinas Kehutanan serta Balai pengelolaan Kawasan Hutan (BPKH) se-Indonesia yang berlangsung Rabu (24/7/2019) hingga Kamis kemarin bertujuan meningkatkan koordinasi dan sinergi pusat dan daerah dalam upaya mengoptimalkan peran fungsi KPH sebagai institusi pengelolaan hutan di tingkat tapak.

Awria berpendapat, bila merujuk pada Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), maka hasil hutan kayu di tahun 2018 berkisar Rp2,9 hingga Rp3,1 triliun.

Nilai ini dengan asumsi 10 persen. Artinya, bila potensi Hasil Hutan Bukan Kayu disebutkan 90 persen maka setidaknya PNBP non kayu Rp27 triliun.

“Namun dengan realitanya, selama tahun 2018, itu hanya berkisar Rp15 miliar hingga Rp18 miliar, ini semestinya Rp27 triliun,” ucap Awria Ibrahim lagi.

Jika bicara potensi ekonomi dari HHBK yang akan dijadikan ladang usaha KPH maka sudah sangat besar.

Jangan salah, apa yang disebut Awria Ibrahim senilai Rp27 triliun itu, baru sekitar 6 persen dari nilai pendapatan yang ada.

Sebab menurut dia, kewajiban pembayaran PNBP itu hanya 6 persen dari harga patokan kayu di tempat penampungan.

Dengan demikian tidak salah kalau Awria mengajak kalangan pimpinan KPH untuk berpikir lebih strategis dalam memanfaatkan berbagai potensi di wilayah KPH.

Sebagai pengelolaan kawasan di tingkat tapak, pemerintah telah mentargetkan, dalam kurun tiga atau lima tahun ke depan, KPH harus lebih mandiri.

Awria juga mengingatkan bahwa pembayaran PNBP merupakan kewajiban yang bila tidak dilakukan ada sanksi pidananya.

Sebelumnya Djohan Utama, diacara yang sama, mengatakan, dalam kurun lima tahun terakhir, produksi HHBK di hutan produksi mencapai 1,4 juta ton lebih dan itu melebih target yang hanya 1,2 juta ton.

Untuk masa lima tahun mendatang, hingga 2024, ditargetkan, produksi hasil hutan bukan kayu di hutan produksi ini meningkat menjadi 1,6 juta ton.

Adapun sejumlah HHBK yang disebut Djohan Utama antara lain, rotan, madu, kayu putih, dan jasa lingkungan seperti pariwisata serta sumber energi terbarukan. (*)