Ketua Gapki: Pemerintah Perlu Ciptakan Iklim Investasi dan Iklim Berusaha yang Kondusif

Ketua Umum Gapki Joko Supriyono melihat bahwa persyaratan pasar Eropa untuk minyak sawit berkelanjutan semakin ketat, hambatan perdagangan dan pembatasan tidak terhindarkan. Foto : Gapki
Ketua Umum Gapki Joko Supriyono melihat bahwa persyaratan pasar Eropa untuk minyak sawit berkelanjutan semakin ketat, hambatan perdagangan dan pembatasan tidak terhindarkan. Foto : Gapki

TROPIS.CO, NUSA DUA – Perdagangan minyak sawit bagi Indonesia sangatlah penting mengingat peran dan kontribusinya bagi perekonomian Indonesia dan ini menyangkut 17 juta orang yang hidupnya tergantung kepada industri sawit sehingga penurunan harga sawit langsung berdampak pada kesejahteraan petani.

Oleh sebab itu, menurut Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono, sebagai penghasil dan pengekspor minyak kelapa sawit terbesar perlu memperkuat posisinya di pasar global.

Estimasi produksi crude palm oil (CPO) tahun 2019 adalah 45,7 juta plus palm kernel oil (PKO) 4 juta ton, ekspor 35 juta ton, dan konsumsi domestik 16 juta ton.

“Ini penting karena sebagai penghasil dan pengekspor terbesar masih tergantung pada pasar ekspor, posisi Indonesia relatif lemah khususnya saat pasar berfluktuasi dan harga mengalami penurunan,” ujar Joko dalam sambutannya di acara 15th Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2019 and 2020 Price Outlook di Nusa Dua, Bali, Kamis (31/10/2019).

Baca juga: Sawit Jadikan Neraca Perdagangan Indonesia Lebih Baik

Dia menyarankan beberapa langkah strategis sebagai upaya nasional bersama.

Pertama, meningkatkan produktivitas. Indonesia telah melaksanakan moratorium sawit sejak 2011 sampai sekarang sehingga peningkatan produksi dengan memperluas kebun sudah tidak menjadi solusi lagi.

“Apa yang harus kita lakukan saat ini adalah memaksimalkan penggunaan lahan yang ada dengan cara intensifikasi, meningkatkan produktivitas dan mempercepat program peremajaan kebun sawit secara nasional.”

“Prioritas yang kami dorong dalam mempercepat peningkatan produktivitas kebun rakyat adalah bagaimana mempercepat terwujudnya kemitraan antara perusahaan dan petani,” ujar Joko.

Ia menilai, perusahaan dengan segala sumber daya yang dimiliki akan mampu membantu petani meningkatkan produksi melalui peremajaan maupun perbaikan budidaya.

Di lain pihak, petani perlu memperbaiki kelembagaan agar kemitraan berjalan dengan lancar.

Kedua, menurut Joko, menciptakan permintaan baru. Indonesia memiliki potensi yang besar untuk permintaan energi terutama energi terbarukan.

Minyak kelapa sawit telah terbukti menjadi sumber bahan baku energi terbarukan.

Pemanfaatan minyak sawit untuk biodiesel juga membuka peluang baru untuk era industrialisasi.

Saat ini Indonesia telah mengimplementasikan mandatori biodiesel yang efektif berjalan sejak tahun 2015 mulai dari 7,5 persen, kini sudah di B20 dan tahun depan ditargetkan menjadi B30.

“Kebijakan mandatori biodiesel ini mempunyai dampak ganda yaitu selain meningkatkan industrialisasi yang diikuti oleh dampak ekonomi tambahan dan pada saat yang sama berdampak memperbaiki neraca perdagangan Indonesia karena mengurangi impor bahan bakar fosil berkurang cukup signifikan,” papar Joko.

Ketiga, dalam rangka peningkatan ekspor, Indonesia perlu terus meningkatkan daya saing.

Indonesia adalah pengekspor terbesar minyak sawit, 70 persen dari produksi minyak sawit saat ini diekspor ke berbagai negara.

Baca juga: Target Pemerintah Selesaikan Peremajaan Sawit di Area Seluas 185 Ribu Hektare Akhir 2019

Ini artinya Indonesia tetap membutuhkan pasar global sehingga dalam situasi apapun Indonesia harus mempunyai posisi yang kuat dan berdaya saing.

Di satu sisi, ia menilai, permintaan minyak sawit dari pasar negara berkembang menunjukkan tren kenaikan dan akan terus meningkat karena peningkatan penduduk dunia.

“Pasar yang sedang berkembang ini seperti India, Timur Tengah, dan negara-negara Afrika adalah pasar potensial dengan peluang terbuka lebar,” kata Joko.

Ia juga melihat bahwa persyaratan pasar Eropa untuk minyak sawit berkelanjutan semakin ketat, hambatan perdagangan dan pembatasan tidak terhindarkan.

Dalam situasi ini Indonesia memiliki pilihan pasar atau tidak harus bergantung pada pasar tertentu seperti Eropa.

“Guna mendukung terlaksananya program sebagaimana diuraikan di atas, Pemerintah Indonesia perlu menciptakan iklim investasi dan iklim berusaha yang kondusif dengan memastikan tidak adanya regulasi yang kurang harmonis di antara kementerian atau antara pusat dan daerah.”

“Dengan kata lain dunia usaha sangat merindukan suasana berusaha dan investasi yang tenang, nyaman, sejuk. Bukan selalu dibayang-bayangi oleh ketidakpastian hukum,” pungkas Joko. (aby)