Kapasitas Pertanian Jauh dari Cita-Cita Swasembada Pangan

Kekeringan yang terjadi saat ini dinilai lebih parah dibandingkan tahun kemarin dan berpotensi menurukan produksi pangan hingga 60%. Foto : Sahabat Pegadaian
Kekeringan yang terjadi saat ini dinilai lebih parah dibandingkan tahun kemarin dan berpotensi menurukan produksi pangan hingga 60%. Foto : Sahabat Pegadaian

TROPIS.CO, JAKARTA – Peneliti Indef, Ahmad Heri Firdaus, mengatakan kapasitas sektor pertanian terlihat semakin turun dan menjauhi cita-cita swasembada pangan berbagai komoditas.

Salah satu ketidakoptimalan sektor pertanian dalam meraih kedaulatan dan kemandirian ini dapat terlihat dari perdagangan internasional Indonesia yang semakin sulit.

“Di mana tampak ada dominasi struktur impor barang konsumsi yang tidak mampu dipenuhi oleh produksi dalam negeri.”

“Dominasi struktur impor barang konsumsi semakin besar dan sekarang 9%. Ini indikasi bahwa pertumbuhan industri lain mengambil keuntungan dari market negara kita,” katanya yang dikonfirmasi di Jakarta, Rabu (15/8/2018).

Menurutnya, untuk mengatasi masalah ini pemerintah memperbaiki sisi kelembagaannya di sektor ekonomi.

Karena banyak ketidaksolidan antarkementerian. Khususnya terkait data yang tidak seragam dengan kebutuhan yang ada.

Salah satunya, papar Heri, Kementerian Pertanian kerap mengeluarkan data yang berbeda dengan Badan Pusat Statistik.

Data yang berbeda ini membuat tataniaga berbagai bermasalah karena dimanfaatkan oleh segelintir pihak.

“Kementerian Pertanian selalu mengklaim produksinya cukup dan cukup untuk beberapa komoditas. Sementara di pasar harganya mahal. Ini kan sangat anomali,” katanya.

Hal yang hampir senada dikatakan oleh Ketua Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), Dwi Andreas, yang mengatakan klaim pemerintah akan amannya ketersediaan stok pangan di tengah ancaman kekeringan dinilai tidak berdasar data yang akurat.

Pasalnya, kekeringan yang terjadi saat ini dinilai lebih parah dibandingkan tahun kemarin dan berpotensi menurukan produksi pangan hingga 60%.

“Saya kira masalah kekeringan ini perlu dicermati ya, perlu diwaspadai oleh pemerintah. Karena saat ini kami melakukan kajian yang mirip di jaringan kami.”

“Data yang sebagian sudah terkumpul itu di Jawa Timur, itu yang terdampak kekeringan sekitar 15-50%. Tapi, itu baru di sebagian wilayah,” kata Dwi.

Dia mengatakan bahwa kekeringan tersebut terutama berdampak pada wilayah-wilayah yang memiliki infrastruktur irigasi yang minim, baik sawah tadah hujan maupun daerah yang infrastruktur irigasinya sudah berkurang.

Dwi pun memprediksi, berdasarkan berbagai data yang ia kumpulkan, kekeringan tahun ini akan lebih kering dibandingkan tahun sebelumnya sehingga, akan memberikan ancaman terhadap produksi, terutama padi dan jagung.

Dengan adanya kekeringan tersebut, ungkap Dwi, terjadi penurunan produksi antara 20-60% dibandingkan produksi pada masa normal.

Ia mencontohkan soal klaim Menteri Pertanian yang menyebutkan produksi beras cukup besar pada Januari – Maret 2017 yakni mencapai 15,6 juta ton.

Rinciannya, produksi pada Januari sebesar 2,8 juta ton, Februari 5,4 juta ton, dan Maret 7,4 juta ton.

Namun, harga beras mencapai puncaknya pada Januari 2018.

Dari data yang dikumpulkan AB2TI, harga gabah di tingkat petani bahkan mencapai Rp5.667,00 per kilogram.

Angka ini melonjak dibandingkan Oktober sebesar Rp4.908 per kilogram. Harga kemudian melandai di bulan-bulan berikutnya, seiring produksi beras yang semakin meningkat hingga mencapai Rp4.319,00 tiap kilogramnya pada April 2018.

“Januari itu kami melakukan studi, stok gabah petani di jaringan kami itu kosong sama sekali. Itulah mengapa harga di Januari tinggi.”

“Lalu Februari itu baru mulai masuk masa puncak panen raya. Kalau di jaringan kami, puncak panen raya itu sekitar April,” pungkas Dwi. (*)