Kamuflase Informasi Deforestasi Indonesia

Kamuflase Versi WRI

Rujukan informasi dari banyak media mengambil data dan narasumber dari World Recources Institute (WRI) Indonesia, yang merupakan lembaga riset internasional pengelola platform Global Forest Watch (GFW).

Sajian informasi ke publik jadi dimaknai berbeda, karena WRI membuat grafik tren “primary forest loss” dengan rujukan narasumber riset GFW, namun menggunakan definisi primary forest yang berbeda dengan standar keilmuan maupun peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia.

Hal ini bahkan sudah ditegaskan langsung oleh Menteri LHK RI Siti Nurbaya dengan meminta agar hasil kerja keras Indonesia menurunkan deforestasi tidak direka-reka dengan membangun justifikasi atas alasan metode, yang menghasilkan data yang menjadikan rancu. Kerancuan ini tidak saja memanipulasi data, tetapi lebih fatal dan menjadi buruk kepada perkembangan dunia akademik khususnya bidang studi kehutanan.

Karena jika publik tidak jeli dan lengkap membaca, maka kamuflase informasi dengan menganut adagium ‘bad news is good news’ lebih menonjol dan dipahami publik sebagai pesan utama, yakni ‘Kehilangan hutan primer Indonesia nomor tiga dunia’, daripada ‘Indonesia berhasil menurunkan deforestasi selama tiga tahun terakhir’ dengan berbagai upaya seluruh komponen bangsa.

Analisis dan grafik WRI menunjukkan tren primary forest loss, tetapi mereka mendefinisikan primary forest sebagai hutan dengan setidaknya 30% kepadatan tutupan pohon dari tahun 2002-2019. Jelas ini artinya bukan tren kehilangan hutan primer.

WRI juga menjelaskan bahwa meningkatnya penegakan hukum, adanya moratorium permanen pada hutan primer dan lahan gambut, menurunkan angka deforestasi di Indonesia dari 2017-2019. Ini jelas ”good news’ yang diakui oleh WRI, meskipun seharusnya mengakui secara full bahwa ini adalah keberhasilan Indonesia sendiri, bukan karena tekanan dari internasional.

Namun ”good news’ seperti itu tidak diangkat sebagai judul dan lead pembuka, hanya diletakkan pada bagian isi berita, dan semakin jauh posisinya dari lead dan paragraf utama.

Ini menciptakan ambigu bagi kalangan pembaca untuk bisa memahami keterkaitan informasi antara lead, paragraf dan badan berita. Ambigu informasi dikenal dengan noise (gangguan) berkomunikasi. Sehingga pesan yang akan dikirim dengan pesan yang diterima akan berbeda, atau disebut juga dengan kegagalan persepsi.

Jika sudah begini, untuk mendapatkan ‘good news’ hanya dipasrahkan kepada si pembaca sendiri. Apakah ia mau membaca sampai akhir, atau hanya cukup membaca judul dan lead pembuka? Semakin banyak paragraf dibaca, semakin paham dan tercerahkan.

Namun semakin malas membaca, maka akan semakin terkamuflasekan informasi yang diterima tentang capaian-capaian Indonesia khususnya di sektor kehutanan.

Perlu diingat, dari hasil penelitian menunjukkan literasi masyarakat Indonesia masih sangat rendah sekali.(Kompas,26/3/2018).