Jawa Bali Defisit Air 108 juta m3

Diskusi panel berkaitan dengan mitigasi kerusakan hidro-orologis hutan dan lahan di Jawa berlangsung di Jakarta, dan terungkap bahwa kondisi air di Jawa sangat kritis dan mengalami devisit mendekati 108 juta m3. (Foto Uka/Tropis.co)

TROPIS.CO – JAKARTA. Pejabat dari Kementerian PPN/ Bapenas menyebut, walau secara total kuantitas air di seluruh Indonesia terjadi surplus sebesar 449.045 juta m3, namun untuk Jawa dan Bali serta Nusa Tenggara mengalami defisit 180 juta m3.
“Defisit ini akan semakin tinggi jika tidak ada upaya konservasi daya air yang jelas dan terukur,”kata Dini Maghfira, pejabat Bapenas itu, dalam diskusi panel mitigasi kerusakan hidro-orologis hutan dan lahan Pulau Jawa, di Jakarta, Kamis.
Dalam diskusi yang diselenggarakan Yayasan Sarana Wana Jaya bekerjasama dengan Ditjen Pengendalian DAS dan Hutan Lindung, Kepala sub Direktorat DAS dan Konservasi Sumber daya Air mengatakan, ketidak seimbangan neraca air dan kualitas air diakibatkan oleh kapasitas tampungan (infrastruktur) SDA tidak sebanding dengan kebutuhan air. Lantaran di daerah hulu tangkapan air kondisinya sangat kritis. Sering terjadi erosi, banjir dan longsor.
Kondisi ini, menurut dia, menyebabkan suplai air menurun, hingga terjadi dfisit air permukaan , terutama di wilayah NTT dan Jawa. “ Persoalan inipun tak lepas dari kurangnya pemahaman masyarakat, dan tingginya tekanan ekonomi hingga mendorong mereka memanfaatkan potensi SDA seperti kurang terkendali,”ujar Dini Maghfira.
Selain ketidak seimbangan neraca air, sejumlah isu strategis ketahanan air harus menjadi perhatian serius. Seperti halnya aksebilitas air yang belum merata, perundangan SDAir yang belum jelas, berikut persoalan tata ruangnya. Dan juga kian berkurangnya air tanah, terutama di daerah perkotaan.
Dalam hal aksebilitas air, ini diakibatkan pemenuhan air yang belum terpenuhi untuk keperluan rumah tangga, industri dan pertanian. Selain lantaran institusi kewenangan yang belum terbangun. Termasuk belum terbangunnya political will sanitasi dan air minum.
Kondisi itupun tercermin juga pada perundangan SDAir. Institusi dan kewenangan belum terbangun ditambah lagi kurangnya penegakan hukum. Bahkan, tata ruang tidak singkron dengan konsep sumber daya air dan DAS karena masih kurangnya komitmen daerah.
“ Di Kota, telah terjadi eksplorasi air tanah yang berlebihan, sehingga berakibat pada penurunan muka air tanah, sementara kebijakan recharge air tanah tidak sebanding dengan kecepatan eksplorasi,”kata alumni Universitas Pajajaran Bandung ini.
Dalam RTRWN – Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, lanjut Dini lagi, DAS dinyatakan sebagai bagian penting terkait dengan fungsi hidrologis untuk pengembangan wilayah. Karenanya, bila terjadi perubahan penggunaan di ekosistem DAS, ini berakibat menurunnya debit minimun harian , dan meningkatnya debit maksimum harian, lantaran rendahnya kapasitas DAS menginfiltrasikan air hujan.
Terjadinya konversi areal pertanian yang subur menjadi bangunan atau infrastruktur, tak hanya mengurangi lahan pangan produktif tapi juga menurunkan fungsi hidrologis DAS. Sehingga inipun akan berdampak pada ketahanan pangan. “ Perlu diketahui, luas areal irigasi tanaman padi di Indonesia mencapai 7,2 juta hektar dan sebagian besar ada pada hilir DAS,”Dini menjelaskan.
Karena itu, Dini mengharapkan di dalam penataan DAS hendaknya memperhatikan keseimbangan antara sosial ekonomi dan lingkungan. Berbasis ekologi dan geologi, peran dan posisi kawasan. Dan juga adanya tekanan terhadap ekosistem DAS akibat dinamika perkembangan penduduk dan aktivitas ekonominya.
Tutupan 13,8%
Sementara itu, Sutino dari Yayasan Sarana Wana Jaya, dalam pengantarnya sebagai moderator, mengatakan fungsi hidro- orologis hutan dan lahan terhadap pengendalian banjir dan perlindungan lingkungan di Pulau Jawa, telah menurun drastis. Luas kawasan hutan yang masih tertutup tinggal 13,8%. Karena itu diperlukan langkah langkah luar biasa atau extra ordinary dari pemerintah dan para pihak untuk menyelamatkan Pulau Jawa dari kerusakan lingkungan yang lebih parah, melalui mitigasi kerusakan hidro-orologis hutan dan lahan.
“Menurunnya fungsi hidro-orologis hutan di Jawa tidak dimungkinkan dipecahkan dengan menambah luas kawasan hutan negara,”tandas mantan Dirjen Rehabilitasi Hutan dan Lahan Departemen Kehutanan ini.
Langkah mitigasi kerusakan hidro-orologis hutan dan lahan ini, menurutnya, bisa dilaksanakan dengan baik dan lebih dini, lantaran sudah tersedianya produk peraturan dan perundang-undangan yang cukup lengkap dan kuat. Sebut saja misalnya, UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan, UU No 37 tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air (KTA), PP No 37/2012 tentang pengelolaan DAS, PP No 26 tahun2008 tentang RWRWN, dan Peraruran Menteri LHK no 39 tahun 2017 tentang perhutanan Sosial Khusus di Areal Perhutani.
“Paling tidak ada 3 pendekatan untuk mitigasi kerusakan hudro-orologis hutan dan lahan di Jawa,”jelas Sutino, dan ini, melalui transformasi fungsi hutan ke fungsi kawasan lindung resapan air di lahan non kawasan hutan, intervensi rekayasa IPTEK dan teknologi KTA di lahan non kawasan hutan, serta melalui penguatan perhutanan sosial di areal Perum perhutani. (uka)