Inpres Nomor 8 Tahun 2018 dan Prospek Lahan Perkebunan Kelapa Sawit

Praktisi Hukum Kehutanan dan Perkebunan, Dr. Sadino, S.H., menilai Problem utama izin perkebunan kelapa sawit adalah problem regulasi yang tidak harmonis. Foto : Nasionalisme.co
Praktisi Hukum Kehutanan dan Perkebunan, Dr. Sadino, S.H., menilai Problem utama izin perkebunan kelapa sawit adalah problem regulasi yang tidak harmonis. Foto : Nasionalisme.co

TROPIS.CO – Instruksi Presiden Nomor 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit tujuan besarnya adalah dalam rangka peningkatan tata kelola perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, berkepastian hukum, menjaga dan melindungi lingkungan termasuk penurunan gas rumah kaca, dan peningkatan pembinaan petani kelapa sawit dan peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit.

Dalam rangka pencapaian tujuan Inpres tersebut telah diinstruksikan enam kementerian yang terkait, gubernur dan bupati/wali kota di sentra sawit di Indonesia.

Tugas dan fungsi masing-masing kementerian, gubernur, dan bupati/wali kota tergambar secara tegas didalam Inpres.

Secara umum tugasnya adalah sesuai kewenangan, tugas dan fungsi sebagaimana diatur dalam petaturan perundang-undangan yang berlaku dengan koordinator Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.

Inpres ini sesungguhnya bukanlah hal yang baru dan mendadak karena Inpres ini merupakan Inpres sebelumnya terkait perkebunan kelapa sawit dan Inpres ini adalah seharusnya yang terakhir dan sudah merupakan implentasi termasuk di dalamnya tahap penegakan hukum apabila perusahaan perkebunan kelapa sawit melanggar hukum.

Instruksi kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang pertama adalah untuk melakukan koordinasi penundaan dan evaluasi perizinan serta peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit merupakan tujuan yang mulia dan utama karena masalah perizinan tidak mungkin diselesaikan oleh Kementerian Pertanian sendiri.

Perizinan perkebunan kelapa sawit adalah kewenangan bupati/wali kota khususnya yang terkait dengan Izin Lokasi, Izin Usaha Perkebunan Budidaya (IUPB), Izin Usaha Pengolahan Hasil Perkebunan (IUPP), dan Izin Lingkungan (IL).

Dalam rangka pelaksanaan koordinasi yang harus diprioritaskan adalah menetapkan standar minimum harus yang utama.

Karena perizinan usaha perkebunan tidak hanya bersumber dari data pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Cara melihat tentunya tidak hanya rezim itu saja karena asal lahan perkebunan kelapa sawit diperoleh sesuai dengan ketentuan hukum pada saat diperolehnya izin.

Misalnya perusahaan perkebunan negara yang tata kelolanya sudah ada sebelum Negara Republik Indonesia merdeka.

Begitu juga yang perizinannya diperoleh pada masa Orde Baru dan pada masa otonomi daerah.

Perusahaan perkebunan yang diperoleh sebelum otonomi daerah sering kali melalui SKB Menteri Pertanian, Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri dan prosesnya adalah juga ada persetujuan bupati dan gubernur di masa itu, maka lahirlah izin usaha perkebunan dan lahirlah Hak Guna Usaha (HGU).

Sedangkan rezim pelepasan dan tukar menukar yang diatur dalam Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 baru ada peraturan pemerintahnya tahun 2010.

Mayoritas izin perkebunan kelapa sawit adalah lahir di era otonomi penuh di kabupaten/kota yaitu lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang telah melahirkan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi beberapa kali terutama di daerah sentra perkebunan kelapa sawit seperti di Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan lainnya.

Problem utama izin perkebunan kelapa sawit adalah problem regulasi yang tidak harmonis.

Standarnya harus melihat tata waktu atau periode perolehan perizinan karena kalau menggunakan standar regulasi yang saat ini dan bersifat kaku, maka hasil dari tim kerja dalam rangka pelaksanaan koordinasi akan tidak diakui oleh para pemegang izin baik itu perusahaan negara, swasta dan masyarakat.

Regulasi yang tidak harmonis antar kehutanan, penataan ruang, pemerintahan daerah, agraria memerlukan kecermatan tim kerja, misalnya tidak boleh memberlakukan hukum berlaku surut.

Kepastian lahan perkebunan kelapa sawit memerlukan kesamaan pandang dalam melakukan evaluasinya untuk mendapatkan lahan perkebunan kelapa sawit yang tidak multitafsir untuk mencegah terjadinya serangan pihak asing dalam bahwa sawit lahannya tidak clear dan menjadi kampanye negatif tentang perkebunan kelapa sawit.

Dr. Sadino, S.H.
Praktisi Hukum Kehutanan dan Perkebunan