Indonesia Unggul Dalam Restorasi Gambut Ketimbang Uni Eropa

Indonesia lebih baik dalam merawat lahan gambut ketimbang Uni Eropa. Foto : Wetlands International Indonesia
Indonesia lebih baik dalam merawat lahan gambut ketimbang Uni Eropa. Foto : Wetlands International Indonesia

TROPIS.CO, BERLIN – Pakar gambut global dari Griefswald Moor Centrum di Jerman, Profesor Hans Joosten, menyatakan Indonesia sukses mengungguli Uni Eropa dalam merestorasi lahan gambut sebagai area hijau yang mendukung penyerapan karbon.

“Apa yang telah dilakukan Indonesia dalam merestorasi lahan gambut melebihi apa yang pernah dilakukan Eropa sepanjang sejarah,” katanya seperti dikutip dari Kedutaan Besar RI di Berlin, Jerman, Minggu (28/10/2018).

Pernyataan tersebut disampaikan Profesor Hans menanggapi pengalaman Indonesia dalam merestorasi lahan gambut yang disampaikan Duta Besar RI untuk Jerman Arif Havas Oegroseno yang diundang sebagai salah satu panelis Dialog Gambut Eropa yang diselenggarakan Grieswald Moor Centrum dan Kementerian Lingkungan Hidup Jerman.

Selain itu, dihadapan para peserta dialog, yang juga dihadiri anggota berbagai asosiasi petani Eropa, ia menyampaikan bahwa lahan gambut dan lahan basah dapat dijakdikan area pertanian.

“Pertanian di lahan gambut dan basah itu bisa dilakukan dengan paludikultur, yakni cara bertani yang melindungi lingkungan dan kehidupan masyarakat serta memberikan keuntungan sosial,” ungkapnya.

Menurut Dubes Havas, pendapat dan praktik ahli gambut global dari Jerman ini sangat penting diketahui di Indonesia karena masih terdapat kesalahpahaman di berbagai kalangan, termasuk media, akademisi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bahwa lahan gambut tidak dapat dijadikan area pertanian.

Ia menyampaikan bahwa pengalaman Indonesia dalam merestorasi lahan gambut melalui program intensif, sistematis dan terstruktur oleh Badan Restorasi Gambut (BRG) telah menghasilkan pembasahan gambut seluas lebih dar 200 ribu hektar hanya dalam waktu satu tahun.

Hal tersebut membalikkan tuduhan LSM nasional dan asing serta politisi asing, khususnya dari kelompok Hijau di Parlemen Eropa, yang kerap menggambarkan Indonesia sebagai negara perusak gambut sehingga harus diboikot.

Namun, dalam Dialog Gambut Eropa tersebut diketahui bahwa kondisi gambut di Eropa lebih buruk dari Indonesia, di mana 59 juta hektare gambut di wilayah Uni Eropa dikeringkan kemudian dijadikan lahan pertanian dan peternakan.

Para petani lahan konversi tersebut mendapatkan subsidi yang besar dan mereka menjadi kekuatan politik yang berpengaruh sehingga upaya restorasi gambut serta pembasahan gambut menjadi hal yang sangat sulit.

Selain dijadikan lahan pertanian, gambut di Eropa juga dipanen untuk dijual sebagai arang pembangkit energi.

Negara penghasil gambut untuk arang pembangkit listrik di Uni Eropa adalah Finlandia, Irlandia, Jerman, Latvia, Estonia, Lithuania, Prancis (yang dikenal anti sawit), dan Swedia dengan nilai bisnis panen gambut sebesar US$2 miliar pada 2015 yang diperkirakan akan naik menjadi US$213 miliar pada 2024.

Dalam panel diskusi itu juga terlihat bahwa asosiasi petani Eropa sangat menolak pembasahan gambut karena akan menenggelamkan kawasan pertanian dan peternakan mereka.

Petani Eropa adalah kekuatan politik yang sangat kuat dan mampu mendikte kebijakan pertanian Eropa, termasuk kebijakan menentang sawit, seperti terlihat dalam demonstrasi petani Prancis yang memblokade 13 lokasi penyulingan sawit di Prancis pada 11 Juni 2018.

Melihat fakta-fakta yang sebagian tampak dalam Dialog Gambut Eropa tersebut, Dubes Havas menggarisbawahi perlunya semua pemangku kepentingan lingkungan hidup di Indonesia untuk menyadari standar ganda politisi dan LSM Eropa yang menutup mata terhadap kerusakan gambut di Eropa, tetapi menyerang kondisi lingkungan hidup Indonesia.

Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu mengajak semua pemangku kepentingan lingkungan hidup dalam penanganan lahan gambut dan juga penting untuk belajar dari pakar Eropa yang masih objektif, seperti Greisfwald Moor Centrum, yang menyatakan bahwa gambut dapat menjadi lahan pertanian melalui paludikultur. (*)