Hapus Diskriminasi CPO di Pasar Uni Eropa

Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono berpendapat, sejak awal UE tidak punya niat baik terkait rancangan aturan Delegated Regulation yang disetujui Komisi Uni Eropa pada 13 Maret 2019. Foto : Gapki
Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono berpendapat, sejak awal UE tidak punya niat baik terkait rancangan aturan Delegated Regulation yang disetujui Komisi Uni Eropa pada 13 Maret 2019. Foto : Gapki

TROPIS.CO, PONTIANAK – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mendukung dan siap berjuang bersama pemerintah di berbagai forum internasional agar produk minyak sawit ditempatkan tanpa diskiriminasi dan setara dengan minyak nabati lain di pasar Uni Eropa (UE).

Di sisi lain juga akan dilakukan perluasan pasar ekspor sawit melalui negosiasi secara dengan negara importir di luar UE seperti India, Pakistan, Tiongkok dan Afrika.

Pernyataan itu disampaikan Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono dan Sekretaris Jenderal Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Bambang Aria Wisena, Selasa (19/3/2019), di sela-sela persiapan Borneo Forum di Pontianak.

Mukti berpendapat, sejak awal UE tidak punya niat baik terkait rancangan aturan Delegated Regulation yang disetujui Komisi Uni Eropa pada 13 Maret 2019.

“Sebelumnya, UE berjanji memberikan kesempatan bagi Indonesia dan Malaysia untuk memberikan masukan hingga 17 Maret, namun secara sepihak menyetujui sendiri kebijakannya pada tanggal 13 Maret,” kata Mukti.

Gapki juga mendukung langkah pemerintah untuk menggugat Delegated Regulation yang disahkan Komisi Uni Eropa ke World Trade Organization (WTO).

Menurut Mukti, ada beberapa keuntungan jika gugatan disampaikan melalui WTO.

Salah satunya karena kebijakan WTO selalu mengacu pada tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs).

Dalam SDGs ada 17 tujuan dengan 169 capaian yang terukur dan tenggat yang telah ditentukan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) sebagai agenda dunia pembangunan untuk kemaslahatan manusia dan bumi diantaranya pengentasan masyarakat miskin.

“Indonesia dan Malaysia akan memperjuangkan industri sawit sebagai komoditas yang menjadi sebagai sumber mata pencarian dan sumber pengentasan kemiskinan,” tutur Mukti.

Pernyataan senada dikemukakan Bambang Aria Wisena. Menurutnya, pelaku industri sawit nasional tetap pada sikapnya menolak keputusan Komisi Eropa.

Pasalnya, metodologi penelitian yang digunakan Komisi Eropa tidak fair karena cenderung memberatkan komoditas sawit.

Sebagai satu kebijakan, harusnya putusan itu lahir dari kajian yang komprehensif.

Misalnya perlu ada perbandingan antara CPO dengan minyak bunga matahari, minyak kedelai, atau rapeseed oil.

Bambang menilai, dibandingkan minyak nabati lain, sawit punya banyak keunggulan.

Mengutip kajian International Union for Conservation of Nature (IUCN), sawit lebih hemat sembilan kali lipat dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati lain dalam penggunaan lahan.

Selain itu kelapa sawit memiliki produktivitas 3,8 ton per hektare per tahun, sedangkan rapeseed oil hanya 0,6 ton dan minyak kedelai 0,5 ton per hektare per tahun.

Di sisi lain, pemerintah secara konsisten berupaya meningkatkan keberlanjutan komoditas tersebut dengan mengeluarkan beragam regulasi.

“Salah satunya adalah melakukan peremajaan menggunakan bibit yang lebih unggul, sehingga tidak perlu perluasan lahan,” pungkas Bambang. (*)