Eksisten Hutan Terikat Dengan Fungsi Bukan Hanya Status

Prof Dodik Ridho Nurochmad

TROPIS.CO-JAKARTA. Pakar Ilmu Kehutanan,Prof Dodik Ridho Nurachmat mengatakan eksistensi hutan terikat dengan fungsi bukan semata status, sehingga secara operasional dialektika kebijakan yang berkaitan dengan kehutanan harus sesuai dengan arenanya.

Prof Dodik mengatakan itu merespon pendapat mantan Ketua Dewan Kehutanan Indonesia, Prof Haryadi Kartodihardjo berkaitan adanya pemikiran sejumlah pakar kehutanan dari IPB, bahwa perlu dilakukan revisi terhadap Undang Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dalam suatu Fokus Group Diskusi –FGD di Bogor belum lama ini.

Dalam tulisan Prof Haryadi Kartodihardjo yang telah diunggah TROPIS.CO, antara lain menjelaskan, Dalam Undang-undang No 41/1999 tentang Kehutanan, tidak disebut komoditi atau jenis tanaman.
Di dalam batasan hutan disebut “dominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya” yang berhubungan dengan kalimat sebelumnya yaitu “suatu kesatuan ekosistem”. Maknanya, pengertian hutan itu terikat pada fungsi yang ajeg, karena senantiasa mengemban fungsi lingkungan hidup atau daya dukung lingkungan.

Oleh sebab itu, pengertian “kawasan hutan” di dalam Undang-undang 41/1999 tentang Kehutanan, dimaknai sebagai hutan tetap; tidak pernah dimaknai sebagai hutan negara (saja), seperti yang biasa digunakan dalam percakapan, bahkan dalam pembuatan kebijakan.

Secara tersirat, dengan tiga kriteria itu, dominasi pepohonan dapat berupa pohon apa saja, tetapi yang tidak dapat dibuang yaitu “persekutuan dengan lingkungannya”; sebagai perwujudan hutan yang bukan sekedar penjumlahan pohon-pohon dan binatang-binatang.

Karena di negara tropis, maka yang ideal adalah hutan alam atau campuran yang lebih dapat membentuk sistem biotik dan abiotik dan lebih mungkin dapat mewujudkan keseimbangan ekosistem.

“Secara substansial memang demikian, tetapi menurut saya secara operasional dialektika kebijakan harus sesuai dengan arenanya. Sejak semula saya sepakat, tidak ada perbedaan, bahwa seharusnya eksistensi hutan terikat dengan fungsi bukan semata status,”katanya.

FAO, jelas Dodik, mendefinisikan hutan dengan angka atau jumlah, tutupan dan tinggi pohon, serta luas. Pun halnya Kementerian LHK melalui Permenhutnya, begitu juga persoalan deforestasi selalu dimaknai angka per definisi hutan yg digunakan, maka memperhitungkan sawit, agroforestri, pohon buah, atau apapun dengan jumlah dan kalkulasi deforestasi atau aforestasi menjadi relevan dalam arena pergulatan kepentingan (siapapun) yg pragmatis.

FAO misalnya, tdk menjelaskan dan memang tidak perlu menjelaskan mengapa semua jenis kelapa bisa dikategorikan sebagai tanaman hutan, sementara kelapa sawit tidak . Secara akademis tentu ini sebuah pertanyaan yg sangat wajar diperdebatkan.

Demikian pula dgengan agroforestri dan pohon buah2an mengapa juga dikecualikan FAO, sementara bambu misalnya dimasukkan sebagai pohon hutan. “Kita juga bisa bertanya mengapa tutupan pohon 10% menurut FAO sudah dapat dikategorikan hutan, sementara Permenhut mematok angka 30% (untuk hutan rakyat bahkan 50%) – bagaimana penjelasan akademisnya?,” tandas Dodik lagi.

Tentu sulit mencari jawaban yg shahih secara akademis, karena memang masing masing aktor memiliki interest (kepentingan) yang tidak (selalu) berdasarkan landasan akademis (bisa ekonomi, sosial, politik, atau bahkan mungkin framing emosional-normative-ideologis yg sebenarnya bisa jadi terbangun dari paparan informasi yang bisa benar atau salah — yang dengan mudah kita jumpai dalam riuh rendahnya dialektika di medsos.

Ketika pertimbangannya kepentingan yang dimanifestasikan dengan angka dan alat (tools) seperti citra satelit, potret udara, stone dsb, dijawab dengan argumen fungsi hutan tentu tidak nyambung. “Jadi dalam konteks akademis, saya sepakat dengan argumen Prof. HK dan memang seharusnya demikian,”ujar Prof Dodik Ridho Nurachmat. “ Tetapi dalam konteks aktor dalam diskursus yang mengemuka sekarang ini justru argumentasi teknis (definisi hutan, batasan deforestasi, batasan pohon, dsb) dan pragmatis lebih relevan dikemukakan, Sekedar pendapat.” Dodik mengakhiri.