Ekonomi Sulbar Dipacu oleh Direct Investment dan CPO

Kelapa sawit mampu mengangkat perekonomian daerah. Foto : Starberita.com
Kelapa sawit mampu mengangkat perekonomian daerah. Foto : Starberita.com

TROPIS.CO, MAMUJU – Berangkat dari program PIR Trans di tahun 80-an, industri kelapa sawit mulai menjadi penggerak dan penopang ekonomi di Sulawesi Barat (Sulbar).

Industri kelapa sawit juga berperan penting dalam menciptakan lapangan pekerjaan terutama bagi masyarakat dengan jenjang pendidikan yang rendah.

Hingga saat ini, sawit telah menggantikan peran komoditas karet yang sebelumnya mendominasi perekonomian di Sulbar.

Menurut data yang ditunjukkan oleh Dinas Perkebunan Sulawesi Barat, hingga tahun 2018 jumlah perusahaan kelapa sawit di Sulawesi Barat mencapai 17 perusahaan dengan luasan lahan perkebunan yaitu 79 ribu hektare.

Sekretaris Daerah Provinsi Sulbar, Muhammad Idris menuturkan riset yang dilakukan oleh Bank Indonesia mengungkapkan bahwa ada dua sayap dalam pembangunan daerah Sulbar hanya dua yaitu investasi langsung dari pemerintah dan crude palm oil (CPO).

“Jika ingin menghentikan perekonomian Sulbar, sebenarnya mudah saja. Hentikan perkembangan industri kelapa sawit,” tutur Muhammad Idris di Hotel Maleo, Mamuju, Kamis (14/11/2019).

Hadirnya komoditas-komoditas lain, tidak mengecilkan peran industri kelapa sawit.

Muhammad Idris menambahkan bahwa pemerintah mendukung dan mendorong pembangunan industri sawit di Sulbar.

Hal ini dibuktikan dengan dibentuknya struktur khusus dalam instansi Dinas Perkebunan untuk memfokuskan perkembangan sektor perkebunan, khususnya kelapa sawit.

Sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2019, Pemerintah Sulbar juga akan meningkatkan kolaborasi pemangku kepentingan untuk memperkuat data-data yang akan mendukung dan menjadi dasar untuk perkembangan industri.

Disisi lain, tantangan yang di hadapi pelaku industri kelapa sawit Sulbar terutama petani ialah produktivitas kebun kelapa sawit.

Guru Besar Pertanian Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Laode Asrul memaparkan hal-hal yang mempengaruhi rendahnya produktivitas kelapa sawit diantaranya bibit palsu dan penerapan Good Agricultural Practices.

Laode juga menjelaskan, 1 juta hektare lahan perkebunan sawit di Indonesia masih menggunakan bibit yang tidak bersertifikat (bibit palsu) sehingga mempengaruhi produktivitas.

Rata-rata produktivitas kebun kelapa sawit Indonesia hanya 3,6 ton per hektare setahun.

Sementara lembaga riset mengungkapkan potensi produksi kelapa sawit bisa mencapai 7 hingga 9 ton per hektare setahun sehingga kurang memuaskan.

Dari segi Good Agricultural Practices, petani cenderung belum mengimplementasikan best management practices yang sebenarnya dapat mendongkrak produktivitas sawit.

“Adanya defisiensi hara pada tanah dan defisiensi pupuk terutama pasca masa panen merupakan masalah yang sering terjadi pada perkebunan rakyat,” ungkap Laode.

Laode menyatakan, Sulbar dapat memaksimalkan potensi ekonomi di industri kelapa sawit, kemudian mengharapkan agar riset juga dapat ditingkatkan sehingga dapat memaksimalkan produktivitas dan potensi-potensi lain dari industri perkebunan kelapa sawit. (*)