Diskriminasi terhadap Sawit, Bakal Menyebabkan Deforestasi Lebih Parah

Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mendukung dan melindungi industri kelapa sawit Indonesia. Foto : TROPIS/Uka
Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mendukung dan melindungi industri kelapa sawit Indonesia. Foto : TROPIS/Uka

TROPIS.CO, JAKARTA – Perlakuan diskriminatif  Uni Eropa terhadap produk sawit bakal menimbulkan kerusakan lingkungan dunia semakin parah karena kebutuhan minyak nabati dunia akan ditopang minyak kedelai dan minyak nabati lain yang produktivitasnya sangat rendah hinggga membutuhkan  areal sangat luas.

Sudah dapat dibayangkan betapa tingginya tingkat deforestasi hingga 2050 mendatang, lantaran tingkat kebutuhan minyak nabati dunia pada saat itu diperkirakan mencapai 400 juta ton – yang artinya bila itu ditopang oleh minyak kedelai membutuhkan lahan sekitar 160 juta hektar dengan asumsi produktivitas 0,3 hingga 0,4 ton per hektar.

“Tentu untuk memenuhi semua ini, bakal menimbulkan deforestasi lebih parah, sebab itu akan membutuhkan lahan dan hutan, karena menanam kedelai, tidak mungkin di gurun pasir,” kata Sahat Sinaga, Ketua Asosiasi Minyak Nabati Indonesia (AMNI), dalam seminar yang bertajuk “Menjawab Hambatan perdagangan Ekspor Minyak Sawit di Pasar Global” yang berlangsung di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (8/5/2018).

Beda kalau kebutuhan itu dipenuhi oleh minyak sawit yang sangat hemat pemanfaatan lahan, mengingat kelapa sawit sangat produktif menghasilkan minyak, mencapai 6 sampai 7 ton perhektar.

Dengan demikian untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati dunia hingga 2050, cukup menambah lahan seluas 66 juta hektar.

Bila memperhatikan data dan fakta itu, sudah dapat dipastikan, bahwa kelompok minyak kedelai, sangat berpeluang besar sebagai penyebab deforestasi ketimbang tanaman sawit.

Dan ini tidak hanya ke depan, namun saat inipun luasan tanaman sawit dunia, Indonesia dan Malaysia produsen terbesar, mungkin tak lebih dari 20 juta hektar. Sementara kelompok minyak kedelai sudah mendekati 130 juta hektar.

Dalam sesie pertama, seminar yang diselenggarakan CPOPC – Negara produsen minyak sawit bekerjasama dengan Harian Kompas itu menghadirkan Direktur Eksekutif CPOPC Mahendra Siregar, Staf Khusus Menteri Perdagangan Lili Yan Ing, Ketua umum GAPKI Joko Supriyono, dan Perwakilan Uni Eropa di Jakarta, Michael Bucki.

Sedangkan dalam sesei kedua yang berperan menjadi nara sumber,Direktur Eksekutif Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Banjarmasin, Amin Nugroho, Wakil Ketua KEIN Arif Budimarta. Sebagai pembicara utama, Menteri Koordinator Maritim Luhut Binsar Panjaitan.

Mahendra Siregar mengatakan dalam perjalanannya selama hampir 25 tahun belakangan ini, ekspor minyak sawit Indonesia ke kawasan Uni Eropa, persentasenya mengalami penurunan yang sangat signifikan, dari 75% tahun 1990 kini tinggal 14% di tahun 2017.

Namun demikian, penurunan persentase ini bukan dikarenakan merebaknya isu deforestasi yang kini ditudingkan kepada minyak sawit. Melainkan karena tingkat pertumbuhan populasi penduduk yang lebih rendah ketimbang neara lain. Sehingga permintaan terhadap minyak nabati pun termasuk minyak sawit, secara global tidak meningkat signifikan.

“Pertumbuhan populasi di Uni Eropa mungkin hanya enam kali, sementara negara lain, sebagai tujuan ekspor minyak sawit Indonesia naik hingga 30 kali,” kata Mahendra Siregar. “Sehingga, artinya, walau dalam volume dan nilai menigkat, namun dalam persentase turun.”

Diakui Mahendra isu yang dimainkan Uni Eropa yang menuding kelapa sawit penyebab deforestasi merupakan salah satu hambatan dalam perdagangan minyak sawit global. Sikap parlemen Uni Eropa yang ingin menghentikan pengunaan minyak sawit sebagai bahan baku biodesel tahun 2021 merupakan salah satu dampak dari isu yang dimainkan itu.

“Sungguh kita melihat berbagai arah kebijakan Uni Eropa terhadap minyak sawit sangat diskriminatif, dan merugikan perdagangan minyak sawit Indonesia,” kata Mahendra Siregar.

Sementara itu, melalui Kementerian Perdagangan yang diwakili oleh Staf Khusus Menteri Perdagangan, Lili Yan Ing, menyatakan bahwa Pemerintah telah melayangkan surat kepada Komisi UE bahwa mengeluarkan minyak sawit dari bahan bakar biofuels tidak akan menjawab isu deforestasi. Karena isu deforestasi tidak bisa dikaitkan secara langsung dengan industri kelapa sawit.

“Indonesia akan berpegang teguh pada non-discriminative, fair, equitable treatment. Oleh karena itu, kami menolak bila terdapat diskriminasi. Bila produk kami didiskriminasi maka segala langkah akan kami tempuh untuk memperjuangkan hak kami,” ungkapnya.

Michael Bucki, Perwakilan Uni Eropa di Jakarta, mengatakan apa yang dirisaukan oleh Indonesia berkaitan dengan penghentian pemanfaatan Crude Palm Oil (CPO) oleh Uni Eropa belum pada tahap keputusan, tapi baru pada tahap sikap yang akan ditempuh.

Selama ini Uni Eropa cukup mengetahui langkah yang sudah ditempuh oleh Pemerintah Indonesia dalam memggerakan ekonominya, dan sawit adalah satu satu yang menjadi andalan. Dan selama inipun, di Uni Eropa tidak ada satupun aturan atau hukum yang menyalahkan sawit.

Uni Eropa sangat mengakomodasi dan mengapreasi setiap langkah Indonesia dalam melestarikan lingkungan. Pemerintah Uni Eropa, menurut Bucki, tidak pernah mendiskreditkan langsung bahwa tanaman sawit penyebab deforestasi.

“Semua itu baru berupa sikap yang akan ditempuh, bila memang minyak sawit dinilai berdamak terhadap kondisi lingkungan,” kata Bucki.

Karenanya, pihak Uni Eropa kini sedang melalukan riset terhadap industri sawit Indonesia dalam upaya menjawab isu yang berkembang terhadap sawit. “Nanti, hasil riset ini akan kita bagikan kepada semua yang berkepentingan, terhadap Pemerintah Indonesia,” pungkasnya. (Uka)