Cegah Karhutla, Pemegang Konsesi Harus Dibebani Tanggung Jawab

Peminpin Redaksi Majalah Tropis Usmandie Andeska, Ketua Umum Gapki Joko Supriyono, Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) KLHK Raffles Panjaitan, Prof. Dr. Dodik Ridho Nurrachmad, moderator Dr. Sadino, dan Pengamat Lingkungan dan Kehutanan Petrus Gunarso (dari kiri ke kanan). Foto : Tropis
Peminpin Redaksi Majalah Tropis Usmandie Andeska, Ketua Umum Gapki Joko Supriyono, Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) KLHK Raffles Panjaitan, Prof. Dr. Dodik Ridho Nurrachmad, moderator Dr. Sadino, dan Pengamat Lingkungan dan Kehutanan Petrus Gunarso (dari kiri ke kanan). Foto : Tropis

TROPIS.CO, JAKARTA – Pemegang konsesi wajib dibebani tanggung jawab atas setiap peristiwa yang terjadi di area konsesi hutan dan lahan yang dikuasainya. Cara pencegahan ini dinilai efektif dan tidak membutuhkan banyak biaya dibandingkan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Pengamat Lingkungan dan Kehutanan Petrus Gunarso mengatakan, tanggung jawab itu akan memaksa setiap pemegang konsesi aktif menjaga, mencegah, menerapkan teknologi lingkungan, melakukan pemadaman saat terbakar serta melibatkan masyarakat di sekitar konsesi untuk mencegah karhutla.

“Tanggung jawab pemegang konsesi menjadi penting karena mereka akan fokus menjaga kawasannya. Dengan cara ini, potensi terjadinya karhutla yang disinyalir 99 persen merupakan ulah manusia bisa dicegah dan tidak lagi menjadi bencana berulang,” kata Petrus dalam seminar bertema “Penanggulangan Karhutla berbasis Masyarakat” yang diadakan Majalah Tropis di Jakarta, Selasa (12/11).

Menurut Petrus, pemegang konsesi hutan dan kawasan yang masuk Area penggunaan lain (APL) perlu dibedakan secara legalitas dan masing-masing punya tanggung jawab sama dalam menjaga konsesinya.

Jika cara ini diterapkan, kebijakan tanggung jawab mutlak atau strict liability sebagai dasar pembayaran ganti rugi bisa diberlakukan kepada semua pihak baik korporasi, pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pihak-pihak pengelola konsesi.

Kebijakan ini secara tidak langsung juga akan memotivasi pemerintah sebagai penanggung jawab keseluruhan daratan untuk mengelola kawasan yang sudah berizin maupun yang belum berizin dengan baik.

Kesetaraan tanggung jawab bagi pengelola konsesi diharapkan bisa meminimalir kampanye hitam terhadap industri sawit di Indonesia.

“Selama ini, setiap karhutla selalu dikaitkan dengan industri sawit. Padahal kebakaran terbesar tahun ini justru terjadi NTB yang merupakan kawasan Sabana dan pulau Jawa yang keduanya tidak ada kebun sawitnya,” kata dia.

Petrus juga mengharapkan, pentingnya ada regulasi yang mengatur mengenai status keterlibatan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan seperti Masyarakat Peduli Api (MPA).

Hal ini, ketergantungan terhadap masyarakat terutama untuk pencegahan karhutla di luar konsesi sangat tinggi.

“Pertanyaan, apakah mereka terlibat secara sukarela atau berbayar. Ini perlu diperjelas.”

“Jangankan masyarakat yang tinggal di kawasan hutan, masyarakat di kota besar seperti Jakarta yang jelas kepemilikan lahannya, pembakaran sampah plastik dan organik masih terjadi.”

“MPA diharapkan menjadi pioner dan contoh bagi masyarakat dalam membuka dan membersihkan lahan tanpa membakar, perlu punya kejelasan status ,” tuturnya.

Produktivitas Kawasan

Lantas Prof. Dr. Dodik Ridho Nurrachmad, Wakil Rektor IPB mengatakan, produktivitas suatu kawasan sangat menentukan banyaknya titik api (hotspot).

Umumnya semakin tidak produktifnya satu kawasan seperti kawasan terbuka atau open access yang tidak dibebani izin pengelola, hotspot semakin banyak.

“Kecil kemungkinan suatu kawasan produktif seperti perkebunan sawit terbakar dan punya banyak hotspot. Kalau pun itu ada, harus dilihat motif dan modusnya” ujarnya.

Dodiek menyarankan Pemerintah tidak menutup opsi lain dalam restorasi gambut. Selain Pembasahan gambut (rewetting) sebaiknya opsi pemadatan dibuka.

Ada sejumlah alasan perlu opsi lain, salah satunya untuk mencegah kebakaran.

Dia menilai, rewetting juga tidak menjamin tinggi muka air bisa sama yakni 0,4 m, terutama di perkebunan sawit rakyat.

Hal ini karena usia sawit khususnya sawit rakyat berbeda-beda serta bentuk kanal yang tidak beraturan.

”Ini masalahnya. Pada kebun sawit usia 10 tahun mungkin ketinggi 0,4 m cukup. Namun bagi sawit yang baru ditanam, pasti akan terendam dan sulit tumbuh,” katanya.

Menurut Dodiek, kedua tehnik ini bisa dipergunakan dengan memperhitungkan subsidensi, besaran karbon yang keluar serta kelembaban tanah.

“Pemadatan juga punya sisi baik.Dengan tehnik ini kebakaran hanya terjadi dipermukaan.”

Kapilaritas yang sempit akan mendorong air naik ke permukaan sehingga tanah lembab.

Ini akan memotong salah satu sumber kebakaran di segitiga api sehingga potensi kebakaran di bawah permukaan tanah sangat kecil, “ jelas Dodiek.

Penguatan Desa di Tingkat Tapak

Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Joko Supriyono mengatakan, penguatan desa di tingkat tapak perlu dilakukan sebagai solusi pencegahan karhutla.

Menurut Joko, perlu dibuat peta desa untuk memetakan kondisi desa, wilayah rawan kebakaran, sumber air serta akses kepemilikan lahan.

Pemerintah juga perlu menunjuksatu instansi sebagai penaggung jawab perancanangan program desa dengan memanfaatkan dana desa untuk operasional pencegahan kebakaran hutan dan lahan di tingkat desa.

Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) KLHK Raffles Panjaitan mengatakan pihaknya akan membentuk 1.200 desa rawan karhutla dan mengajak masyarakat berpatisipasi.

Nantinya BPPT akan membuat teknologi yang akan disesuaikan dengan kondisi wilayah. Teknologi ini akan memberikan sinyal jika ada karhutla.

Selain BPPT, KLHK sudah berkoordinasi dengan Kementerian Desa Pembangunan dan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. (*)