BPK Tak Punya Wewenang Audit Perkebunan Sawit Swasta

Ronny Bako, akademisi Univeristas Pelita Harapan, menilai BPK tidak punya kewenangan untuk memeriksa urusan yang tidak terkait dengan pengunaan keuangan negara. Foto : Istimewa
Ronny Bako, akademisi Univeristas Pelita Harapan, menilai BPK tidak punya kewenangan untuk memeriksa urusan yang tidak terkait dengan pengunaan keuangan negara. Foto : Istimewa

TROPIS.CO, JAKARTA – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak punya kewenangan untuk memeriksa perkebunan sawit besar milik swasta yang tidak menggunakan keuangan negara seperti Anggaran Pendapatan Belanja Negara/Daerah (APBN/D).

Kewenangan BPK dibatasi pada organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia (BI), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Layanan Umum (BLU), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.

“Bahkan jika ada indikasi pelanggaran pada lembaga atau badan, audit hanya dilakukan penyalahgunaan keuangan negara saja.”

“BPK tidak punya kewenangan untuk memeriksa urusan yang tidak terkait dengan pengunaan keuangan negara,” kata Akademisi Univeristas Pelita Harapan Ronny Bako di Jakarta, Selasa (27/8/2019).

BPK, menurut Ronny, juga wajib memiliki standar perusahaan perkebunan yang baik ketika memberikan penilaian.

Standar itu diperlukan agar hasil pemeriksaan BPK bisa memberikan keyakinan yang memadai.

“Pertanyaannya, apakah BPK punya kewenangan untuk memeriksa perkebunan sawit yang tidak menggunakan keuangan negara.”

“Pernyataan lain standar mana yang dipergunakan BPK saat menilai 81 persen perkebunan sawit menghadapi masalah dengan pengelolaannya. Masalah itu harus dipertanyakan,” tutur Ronny.

Rony juga menilai perlunya semangat integrasi antar kementerian/lembaga yang tertuang pada rancangan kebijakan RUU Pertanahan agar bisa menuju kebijakan satu peta (one map policy) melalui single land registration system.

“Polemik berkepanjangan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait beda pemahaman antara tanah dan hutan perlu diakhiri karena memicu konflik yang hingga kini tidak pernah usai dan perkebunan rakyat selalu menjadi korban,” ucapnya.

Pemerintah perlu berpikir dan bertindak strategis agar berbagai regulasi terkait sawit bisa segera diharmonisasi dan tidak terus terbebani dengan berbagai konflik.

“Sayangnya, apapun masalah terkait sawit, selalu dikaitkan dengan konflik.”

“Padahal, sawit merupakan komoditas penting yang bisa menopang kinerja pemerintah,” ungkap Ronny.

Dia mencontohkan, sebagian perkebunan sawit rakyat di Sumatera Utara yang ada sejak ratusan tahun lalu, ada di kawasan hutan, dan kebun-kebun itu kini dianggap melanggar.

“Persoalan-persoalan untuk menilai satu pelanggaran disederhanakan begitu saja dengan menggunakan regulasi satu lembaga tertentu, tanpa melihat persoalan di belakang. Apalagi jika regulasi itu datang belakangan,” kata Ronny.

Dia juga menilai, kebijakan pemerintah untuk membangun kemitraan dengan masyarakat melalui pembangunan plasma punya tujuan baik.

Namun di lapangan pengaturan tersebut masih menimbulkan kendala dan permasalahan dalam implementasinya karena masih adanya ketidakpastian hukum, kerancuan dan multitafsir bagi perusahaan, Gubernur dan Bupati/Walikota serta pemangku kepentingan lainnya.

Hal ini karena pengaturan dalam regulasi dan/kebijakan yang satu dengan lainnya masih inkonsisten serta mekanisme pelaksanaannya belum diatur secara jelas dan tegas.

“Perhitungan kewajiban plasma 20 persen masih belum jelas, apakah berdasarkan IUP atau HGU atau areal tertanam,” paparnya.

Pernyataan senada dikemukakan pengamat hukum kehutanan dan lingkungan Dr Sadino.

Sadino juga meragukan pendapat BPK yang menyebutkan tata kelola sawit di Indonesia buruk, tanpa mempunyai standar penilaian untuk perusahaan perkebunan.

”Apa jadinya dengan investasi dan tenaga kerja, jika banyak industri kolaps, hanya karena tidak ada kepastian berusaha dan semua pihak boleh berbicara semaunya,” cetus Sadino.

Sadino mengingatkan, tumpang tindih perizinan disebabkan disharmoni regulasi.

Sebagai contoh, banyak kawasan yang dulunya ditetapkan sebagai budidaya dengan terbitnya regulasi baru tiba-tiba ditetapkan sebagai hutan lindung atau kawasan konservasi.

“Ini polemik berkepanjangan yang tidak bisa digeneralisir sebagai kesalahan. Apalagi asumsinya hanya menggunakan sampling,” ujar Sadino.

Sadino menyarankan, pemerintah sebaiknya menunjuk institusi tertentu seperti Kementerian Pertanian dan sekretaris ISPO untuk memberikan pernyataan terkait perkebunan sawit.

Persoalannya tidak semua institusi punya kapasitas dan kemampuan untuk menjelaskan dengan baik dan benar sehingga akan memperkeruh suasana. (Greg)