Bencana Hidrometeorologis, Emisi Individu, dan Perubahan Iklim

Diskusi perubahan iklim berlangsung di Jakarta, Rabu. Kegiatan itu menghadirkan sejumlah pakar sebagai pembicara; Prof Edvin Adrian, Herizal. Ferdinand dan Herry Purnomo, sementara Agus Justianto sebagai moderator.
Diskusi perubahan iklim berlangsung di Jakarta, Rabu. Kegiatan itu menghadirkan sejumlah pakar sebagai pembicara; Prof Edvin Adrian, Herizal. Ferdinand dan Herry Purnomo, sementara Agus Justianto sebagai moderator.

TROPIS.CO, JAKARTA – Bencana hidrometeorologis  yang dipengaruhi  perubahan iklim, menuntut Keterlibatan langsung individu masyarakat dalam menekan peningkatan emisi rumah kaca. Karenanya, pemahaman dampak perubahan iklim sudah harus ditumbuhkan sejak individu invidu duduk di bangku pendidikan tingkat dasar.

Sejak 2001 hingga 2018, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebesar 98% kejadian bencana di Indonesia merupakan bencana hidrometeorologi yang dapat dipengaruhi oleh perubahan iklim. Bencana Hidrometeorologis yang dimaksud adalah bencana seperti banjir, longsor, angin kencang, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, serta gelombang pasang

Setidaknya ini benang merah dari suatu diskusi Pojok Iklim yang berlangsung di Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan, Rabu (2/5/2018). Diskusi ini menghadirkan sejumlah pakar lingkungan sebagai nara sumber seperti, Deputi Bidang Klimatologi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisik Herizal Prof Edvin Adrian, Dr Perdinan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Prof Herry Purnomo dari CIFOR.

Dalam diskusi yang dibuka Sekjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Hendroyono, dan dimoderatori Agus Justianto, Kepala Badan Litbang Kemen LHK, Herry Purnomo mengatakan, cepat lambannya laju perubahan iklim juga dipengaruhi oleh setiap individu dalam memproduksi emisi. Di Indonesia tingkat emisi individu memang relatif masih rendah ketimbang sejumlah negara maju.

Diskusi ini mengambil tema Tanggap Darurat Bencana Iklim, yang juga membahas Climate and Hazard Science, yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi terkait iklim dan kebencanaan.

Bambang Hendroyono, mengatakan, dunia saat ini menghadapi ancaman perubahan iklim dan bukti-bukti awal ancaman perubahan iklim ini sudah nyata terjadi di beberapa belahan dunia. Bukti ancaman perubahan iklim tersebut diantaranya adalah terjadi pergeseran musim, dimana musim kemarau menjadi lebih panjang.

Hal ini berimplikasi pada kekeringan, krisis air bersih, menurunnya produksi pertanian akibat gagal panen, dan yang paling penting adalah terjadinya kebakaran hutan. Perubahan iklim, merupakan isu global yang harus ditangani bersama dengan meibatkan seluruh lapisan masyarakat hingga ke tingkat tapak. “Hal ini karena dampak perubahan iklim dan berbagai persoalannya berasal dari keseharian individu di masyarakat,” terang Bambang.

Emisi Perkapita

Dan besaran emisi individu, ini seiring dengan income perkapita. Bila income perkapitanya tinggi hingga menuntut gaya hidupnya lebih tinggi, maka emisi yang dihasilkannya akan lebih tinggi pula. Karena di sejumlah negara maju, sebut saja seperti Jerman, Italia, dan Prancis, tak usah heran bila emisi individunya cenderung lebih tinggi, walau belakangan ada indikasi menurun.

Emisi perkapita ketiga negara ini, dalam kisaran 10 ton hingga 15 ton. Jerman merupakan negara yang emisi perkapita tertinggi di Eropa. Kondisi ini lebih banyak dipengaruhi gaya hidup dan tingginya tarif listrik.

Di Jakarta, tingkat emisi per kapita penduduknya, mencapai 3,9 ton CO2/tahun, sementara Bekasi dan Bogor 2,5 ton dan 1,9 ton CO2/orang/tahun. Emisi ini antara lain bersumber dari transportasi dan sampah dan listrik.

Kondisi ini memang menuntut setiap individu mulai membangun komitmen, bagaimana menetralkan emisi yang dihasilkan tersebut. Skenario yang bisa dilakukan melalui penanaman pohon, mengurangi penggunaan transportasi penghasil emisi tinggi, atau bagi yang mampu membeli karbon sebesar emisi yang dihasilkan, melalui sertifikasi pohon pohon penyerap karbon milik masyarakat pedesaan.

“Bila demandnya ada pasokan akan datang sendiri, nanti mungkin banyak masyarakat menawarkan pohon pohon yang mereka tanam untuk dijual hingga kemudian pohon pohon itu bisa disertifikatkan,” kata Herry Purnomo.

Dalam hal keterlibatan individu ini, tidak perlu ada regulasi yang mewajibkan setiap individu untuk menetralkan emisinya. Dia mengakui, gerakan ini harus ada yang memulai. “Entah itu, bupati, gubernur, atau siapa saja yang bisa dijadikan sebagai leadernya,” tuturnya lagi.

Prof Edvin Adrian sependapat bahwa keterlibatan individu akan sangat mempengaruhi percepatan perubahan iklim. Karenanya, langkah itu sudah harus dimulai dari lingkungan rumah tangga. Dia mencontohkan tempat tinggalnya, dari luas lahan yang ada tidak dibangun semua, tetapi dilengkapi dengan blok blok pekarangan ditanami pohon menyerap karbon.

“Pada dasarnya green living sudah harus ditumbuhkan dalam kehidupan kita sehari hari,” kata Edvin Adrian.

Sementara Deputi BMKG Herizal mengatakan, dalam konteks perubahan iklim, laju perubahan secara lokal dapat dimungkinkan lebih cepat dan lebih kuat dibandingkan laju perubahan global. Terjadi peningkatan risiko perulangan intensitas curah hujan yang lebih ekstrem, seperti kasus 2014, 2015 dengan peluang 2-3 kali lipa dibanding kondisi iklim 100 tahun lalu.

“Karenanya perlu penguatan sistim peringatan dini dalam konteks kesiapsiagaan dan tanggap darurat bencana iklim.”

Dalam 15 tahun terakhir, trend kejadian bencana banjir, tanah longsor dan puting beliung sangat nyata. Pada tahun 2017, Jawa Tengah tercatat sebagai propinsi dengan kejadian banjir terbanyak, hingga menyebabkan propinsi itu, berikut Jawa Timur, Jawa Barat, dan NAD paling rentan terhadap bencana banjir.

Di Jakarta, data 100 tahun terakhir, menunjukan kejadian banjir semakin sering terjadi pada dua dekade terakhir. Terutama perulangan banjir tahunan. Kejadian banjir tersebut, berkaitan dengan curah hujan ekstrem satu hari atau akumulasi curah hujan tinggi 2-3 hari.

“Curah hujan tertinggi satu hari, sebagian besar berkategori ekstrem di atas 100 mm/hari dan terindikasi terdapat trend meningkat,” kata Herizal.

Dan diakui, Herizal kondisi ini merupakan tantangan bagi kalangan usia remaja, dan keterlibatan mereka merupakan investasi masa depan Indonesia.Bagi pelajar ini merupakan agent of change, sebab apa yang dilakukan dalam menekan laju perubahan iklim saat ini, merupakan skenario jangka panjang, 10 bahkan 20 tahun mendatang.

Terhadap generasi milenal, pemahaman terhadap perubahan iklim ini harus dikatakan sebagai fakta yang sudah bisa terlihat. Karena itu, terhadap mereka , pelajar SMA, belajar meteorologi menjadi suatu yang penting. “Pendekatan pelajar dalam menekan emisi hendaknya menjadi strategi dalam meningkatkan keterlibatan mereka.”

Cuaca Ekstrem

Ilmu pengetahuan teknologi tentang iklim dan kebencanaan yang berkembang saat ini, telah mampu memprediksi dan memberikan gambaran komprehensif, disertai bukti ilmiah tentang fenomena cuaca ekstrem.

Dampak ekologi, sosial, dan ekonomi yang ditimbulkan juga dapat diprediksi. Hal ini tentunya ini sangat diperlukan untuk meningkatkan kesiagaan tanggap darurat bencana iklim.

Kemudian, koordinasi antar pemangku kepentingan terkait aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dan tanggap darurat bencana ini tentu harus terus ditingkatkan. Kapasitas adaptasi juga perlu diperkuat, sehingga bahaya bencana iklim tidak menjadi ancaman bagi pembangunan dan kelompok yang rentan terhadap dampak perubahan iklim.

Solusi sederhana yang dapat dimulai dengan cepat adalah dengan mengubah gaya hidup masyarakat menjadi lebih ramah lingkungan. Tentunya ini menjadi sangat penting, karena upaya pengendalian perubahan iklim ini melibatkan semua pihak.

Terkait dengan upaya tanggap bencana iklim, masyarakat harus dapat mengenali jenis bencana dan mengidentifikasi risiko yang dapat ditimbulkan. Sistem peringatan dini berbagai bencana iklim juga harus dibuat. Membuat prediksi berdasarkan Impact Based Forecast dan Risk Based Warning.

Impact Based Forecast adalah hasil prediksi diharapkan dapat memberikan gambaran dampak yang juga dihasilkan pada iklim lokal sehingga memudahkan masyarakat untuk dapat melakukan adaptasi.

Sedangkan Risk Based Warning adalah peringatan dini yang dihasilkan juga dapat memberikan besaran risiko yang ditimbulkan apabila tidak dilakukan tindakan adaptasi terhadap bencana yang mungkin datang.

Selanjutnya, ketersediaan data dan berbagi informasi antar institusi sangat diperlukan. Kedepan diperlukan pengolahan big data dalam tanggap darurat dan penerapan teknologi data science berbasis internet. (*)