Anomali Iklim Perparah Pembakaran Lahan Masyarakat

Kembali ke Lahan Semula

Karena itu, petani untuk siklus berikutnya membuka lahan di lokasi lain, yang setelah beberapa tahun mungkin saja kembali ke lahan semula.

Dia menilai, pembukaan lahan dengan membakar, tidak cocok untuk membangun perkebunan karena lahan yang dibutuhkan sangat luas.

Selain itu, kebutuhan hara untuk perkebunan berlangsung terus menerus sehingga tidak bisa dicukupi oleh abu yang terbentuk saat pembakaran lahan pada saat pembersihan lahan.

Basuki mengatakan, terbitnya Pergub 103 tahun 2020 memerlukan bimbingan dan pengawasan ketat dalam luasan yang terkontrol.

”Tanpa kontrol ketat, potensi Karhutla tetap dapat terjadi kapan saja.”

Pernyataan senada dikemukakan pengamat Hukum Lingkungan dan Kehutanan Dr Sadino.

Baca juga: Gapki dan Polda Kalsel Bekerja Sama Atasi Karhutla

Menurutnya, kalaupun diterapkan kebijakan punya risiko karena api yang membakar lahan tidak bisa dipastikan hanya dapat diisolasi dalam radius 2 hektare saja.

“Kontrol harus dilakukan mulai dari tingkat tapak yakni masyarakat yang akan membuka lahan.”

“Ketentuannya, misalnya masyarakat hanya diperbolehkan membakar di lahan mineral, pembakaran rumput diawasi secara ketat dan hanya boleh dilakukan pada awal musim basah dan sebagainya,” ungkap Sadino.

Peraturan gubernur (Pergub) juga harus mampu menjelaskan secara detail mengenai subtansi aturan teknis serta batasan-batasan yang ketat terutama ketika memasuki kemarau agar tidak menjadi bumerang seperti meluasnya titik api (hotspot).

“Hal ini karena Kalimantan Barat sebagian besar lahannya gambut dan sulit menanganinya ketika terbakar,” tuturnya.