Alih Fungsi Lahan Dalam Transaksi Paternalisme

Pelaksanaan kebijakan dalam kondisi transaksi paternalisme mengandung masalah besar berjangka panjang. Ilustrasi : RILIS.ID
Pelaksanaan kebijakan dalam kondisi transaksi paternalisme mengandung masalah besar berjangka panjang. Ilustrasi : RILIS.ID

TROPIS.CO – “A leader is one who knows the way, goes the way, and shows the way” – John C. Maxwell.

Maka, pemimpin bukan hanya faham target yang akan dicapai, tetapi juga harus menguasai jalan dan cara untuk mencapainya. Itu berarti bisa memosisikan dirinya diantara sekian banyak kepentingan untuk membedakan apa yang sesungguhnya diperlukan dan apa yang hanya sebagai gejala (symptom).

Supaya tidak menjawab masalah yang salah, sebaliknya, dapat melihat masalah yang oleh banyak orang tidak terlihat. Untuk dipecahkan.

Salah satu masalah yang tidak terlihat itu sebagai misal, hapusnya secara perlahan-lahan tanah-tanah subur pertanian dan hutan-hutan yang melindungi banyak sumber air untuk pertanian. Sekedar contoh, angka-angka dari laporan statistik lingkungan hidup daerah 2017 menunjukkan hal itu.

Di Sumatera Barat alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan pertambangan sejak 2011 seluas 45.487 hektare, adapun untuk industri 14.682 hektare dan untuk perkebunan 605.416 hektare. Di propinsi ini, sawah yang sudah beralih fungsi seluas 606.620 hektare.

Di Bali tahun 2015/2016 perubahan lahan pertanian menjadi pemukiman antara 380 hektare hingga 400 hektare. Tahun 2017/2018 seluas 700 hektare hingga 1.000 hektare.

Sistem perairan Subak di tahun 1997 sekitar 3.000 unit, awal 2018 menjadi hanya 1.612 unit, yang menunjukkan hilangya modal sosial pengaturan air pertanian itu.

Di Jawa Tengah, dari lahan pertanian seluas 884.933 Ha, tahun 2015 berubah menjadi industri 7,28 hektare, pemukiman 510,11 hektare, lahan terbuka 343,16 hektare, pasir darat 178,18 hektare, serta tambak 6,74 hektare.

Sementara itu di Wonogiri lahan pertanian menjadi industri dan pertambangan, fasilitas sosial dan umum, tahun 2015 sebesar 10,1 hektare, 2016 seluas 7,38 hektare, dan 2017 seluas 12,3 hektare.

Di Ciamis, Jawa Barat, periode 2004—2009, 2.464 hektare lahan pertanian menjadi pemukiman. Untuk itu terjadi penurunan luas panen. Tahun 2014 seluas 77.982 hektare dan tahun 2015 menjadi seluas 69.980 hektare.

Dalam kondisi serupa, alih fungsi lahan di Tasikmalaya menyebabkan persoalan ketahanan pangan, degradasi kualitas lingkungan, bencana longsor dan hilangnya keindahan alam untuk wisata.

Desain Paternalisme

Pelaksanaan Pilkada dan benturan kepentingan yang diakibatkannya, nampak berpengaruh signifikan atas kejadian di atas.

Diperoleh informasi bahwa 70,3% hingga 82,6% calon kepala daerah (cakada) mengaku menerima dana dari donatur dan 56,3% hingga 71,3% cakada menyebut bahwa donatur akan minta balas jasa ketika mereka terpilih.

Atas permintaan itu, 75,8% hingga 82,2% cakada menyanggupi harapan donatur tersebut (KPK, 2016/2017).

Kenyataan itu menunjukkan bahwa, walaupun kebebasan dalam mengambil keputusan bagi pimpinan-pimpinan daerah sesuai peraturan-perundangan tetap dapat dilakukan, tetapi iklim paternalisme seperti telah menjadi desain bagi cara pengambilan keputusan yang akan dilakukan.

Dengan begitu dapat disebut bahwa secara empiris Pilkada menjalankan vulnerable regulations yang menyediakan kesempatan terbuka dan dorongan perilaku oportunis.

Dalam kajian itu juga menyajikan hasil wawancara terhadap 286 informan (2016) dan 150 informan (2017) untuk mengetahui motivasi donatur.

Sejumlah 61,5% hingga 76,7% dari jumlah donatur bermaksud mendapat keamanan menjalankan bisnis.

Sejumlah 64,4 % hingga 73,3% bertujuan mendapat kemudahan tender proyek dan sejumlah 63,3% hingga 73,0% ingin kemudahan akses perizinan.

Motivasi lainnya yaitu kemudahan mendapat jabatan di pemerintahan atau BUMD (60,1% hingga 56,0%) serta mendapat akses untuk ikut menentukan kebijakan atau peraturan daerah (43,7% hingga 49,3%).

Berbagai motivasi tersebut memang cenderung dipenuhi oleh pimpinan daerah. Hal itu terbukti dari 88 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi oleh KPK selama periode 2004 sampai (3 April) 2018.

Tiga besar obyek yang diperkarakan yaitu pengelolaan anggaran daerah, pengadaan barang dan jasa, serta perizinan sumberdaya alam.

Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa desain paternalisme bukan hanya mempersempit inovasi, tetapi bahkan menjerat pemerintahan.

Sumber daya yang punya posisi politik rendah, menjadi kekayaan paling mudah sekaligus rentan, untuk dialokasikan bukan bagi masyarakat miskin.

Dengan demikian, benturan kepentingan menjadi penyebab utama terhambatnya berbagai program kerakyatan seperti NAWACITA dalam arti lebih luas, yang saat ini sedang digalakkan.

Formulasi atau reformulasi kebijakan nasional untuk menjalankan reforma agraria, perhutanan sosial, kemitraan, maupun bentuk-bentuk lainnya, walaupun mendapat hak legal atas sumberdaya alam, di lapangan masih sulit mendapat layanan pengembangan ekonomi, karena dapat terganjal oleh akses politik kontraktual berciri paternalism.

Ciri seperti itu akan senantiasa memenangkan kontestasi akses pada pengembangan ekonomi skala besar.

Mengungkap Fakta

Saat ini semua unit kerja yang menangani perencanaan pembangunan sudah disibukkan untuk menetapkan RPJM, termasuk alokasi dan distribusi atau redistribusi kebutuhan anggaran sebagai konsekuensinya.

Pendekatan linier dengan menetapkan tujuan atau target, strategi dan program, berasumsi bahwa yang akan dihadapi yaitu situasi tatakelola pemerintahan yang baik (good governance).

Melihat kenyataan di atas, asumsi itu cenderung keliru, dengan akibat program yang dijalankan tidak dapat mencapai tujuan, karena isinya dapat berubah di tengah jalan. Kecuali sebatas dicapainya indikator administratif seperti serapan anggaran.

Situasi pelaksanaan kebijakan dalam kondisi transaksi paternalisme, mengandung masalah besar berjangka panjang, yaitu hilangnya media tumbuh tanaman pangan dan daya dukung lingkungannya.

Itu berarti persoalan petani yang umumnya miskin dan kepentingan publik lingkungan hidup tidak mendapat dukungan politik untuk diatasi.

Di situ ada tanggung jawab publik untuk mengungkap fakta, agar masalah yang oleh banyak orang tidak terlihat, menjadi terang dan menjadi prioritas untuk dipecahkan.

Hariadi Kartodihardjo
Guru Besar Institut Pertanian Bogor