Ada Sawah di Atas Atap

Halaman rumah bisa dimanfaatkan untuk menanam padi. Foto: Istimewa
Halaman rumah bisa dimanfaatkan untuk menanam padi. Foto: Istimewa

Tanaman padi bisa tumbuh di mana saja, asalkan ada media tanamannya. Adapun sawah hanya salah satu media. Padi bisa ditanam di dalam pot dan ember. Di sejumlah negara, padi ditanam di atas rumah. Artinya tidak perlu cetak sawah. 

TROPIS.CO, JAKARTA – Di saat ada yang berkeinginan mencetak sawah baru, di media sosial beredar berbagai model membangun ketahanan pangan. Caranya sangat sederhana, cost murah dan sangat produktiv. Ada yang menggambarkan tentang bercocok tanam di pekarangan rumah.  Juga ada  yang sedang  panen sorgum. Ada pula yang mengeluhkan potensi sagu yang belum dilirik.

Soal cetak sawah, ngapain mencetak sawah. Bukankah  tanaman padi, tidak harus tumbuh di sawah. Contohnya apa yang dilakukan  Sonson Garsoni dari Posko Hijau – yang beberapa hari ini cukup viral di media sosial. Menanam padi di atas atap.

Kalau lihat gambar  videonya, sangat subur. Pohonnya tinggi. Batang dalam rumpunnya banyak. Katanya,  kalau panen, bisa mencapai 13,5 ton gabah kering panen per hektare setahun. Empat kali panen setiap tahun. Padahal itu hanya dipupuk dengan sampah.  Hebatkan!

Tentu apa yang dilakukan Sonson dengan sawah di atas atap, suatu yang luarb biasa. Bagaimana  tidak. Sawah konvensional saja, hanya mampu  dua kali panen setahun.  Hasil panennya, terkadang tak  lebih dari 3 hingga 5 ton. Menggunakan  pupuk kimia subsidi.

Produksi  sebesar itupun dengan catatan,  bila tidak terserang tikus.  Ya maklum saja,  kalau petani sawah itukan banyak “musunya”. Ada tikus, belalang, dan wereng coklat. Kalau musim hujan kebanjiran. Musim panas kekeringan.

Sawah puso. Gagal panen. Buliran padi di tangkai malai tak berisi. Kosong melompong. Tak sedikit kemudian, petani yang gigit jari. Bahkan, tak sedikit pula, utang membengkak di tengkulak, karena tak bisa bayar.

Bukan itu saja. Kisaran produksi sebesar  itupun untuk sawah baru. Kalau sawah baru – ya payah deh ngomongnya. Kalau berproduksipun, mungkin tak bakal lebih, 2 ton gabah basah yang kadar airnya masih selangit.

Kembali,  itupun  kalau berproduksi. Tapi nyatanya banyak yang telantar. Sawah yang sudah dicetak, penuh ditumbuhi alang alang.  Coba Menteri Pertanian, lakukan evaluasi, berapa persen sawah baru yang dimanfaatkan optimal. Maaf, mungkin, tak lebih dari 25%.

Mengapa demikian! Lho kok ditanya. Kan sudah tahu, bila yang bersifat proyek, itukan bukan hasil akhir yang ingin dicapai. Tapi hasil awal yang optimal. Jadi, agar proyek itu jalan, siapa saja boleh ikut menjadi anggota kelompok. Artinya, cebong  atau kampret  yang sebelumnya tukang parkir, ikut memiliki sawah.

Pada saat dikumpulkan di balai desa, mereka oke saja. Siap tanda tangan, berikut bantuan benih  dan sarana produksi lainnya. Sawah siap tanam. Setelah itu selesai. Dan selesai selamannya. Cebong  dan kampret yang sudah bersahabat, karena tergabung dalam satu kelompok, kembali menjadi “reman parkir”.

Sawah memang hijau royo royo. Sepintas senang melihatnya. Bagaimana tidak, bila  sebelumnya lahan itu hutan semak belukar, kini berubah menjadi hutan alang alang yang kering tandus. Sawah tak berair karena memang tak ada irigasi. Sumber air hanya berharap dengan hujan turun  memenuhi kali. Bila tidak ada  hujan – ya tak usah ditanya sudah tahu jawabannya.

Lalu model sawah yang bagaimana yang  bisa empat kali panen setahun. Produktivitas per hektare bisa mencapai 13,5 ton.  Lalu tak perlu lahan luas. Apa lagi sampai cetak sawah baru. Tapi cukup 60 meter persegi saja,  satu keluarga bisa tak beli beras satu tahun.

 

Setidaknya itu yang sempat saya dengar dari Sonson Garpani, Ketua Posko Hijau yang beredar di Media Sosial. Sonson menyebutnya sawah portable. Lalu kemudian dia mempertegas, bahwa ini sawah masa depan.

Hebat kali ya! Emang bagaimana rupanya.  Ooh begini. Polybag, bukan hanya polybag, tapi juga ember plastic bekas, pokoknya sejumlah barang bekas yang vbisa dijadikan wadah,   ditabur benih padi. Media tanamnya, limbah biogas olahan sampah.

Lalu polybag dan wadah wadah  sampah  yang sudah ditabur benih padi ditata rapi di atas rak kayu, besi dan plastic bekas. Nah, ini yang disebut Sonson Garsoni, sawah portable, sawah masa depan.  Sawah yang berbiaya murah, hasil melimpah yang tak memperkaya sikaya agar bertambah kaya.

Sawah yang tak perlu pengairan. Sawah yang  arealnya tak perlu  dibajak sebelum tanam. Model sawah yang tak membutuhkan areal.luas. Juga anti hama. Sawah yang bisa dilakoni semua orang yang penggarapannya tak perlu berjam-jam.

Bila tidak ada pekarangan!  Lho tak usah pusing. Susun saja polybag tanaman padi itu di atas atap rumah. Hanya memang kini yang menjadi persoalan, banyak yang tak punya rumah. Ada rumah tapi beratap langit.  Sedih kita…

Jadi  tak usah pusing harus cetak sawah baru. Bukankah masyarakat Indonesia masyarakat  yang kreatif.  Kreatif dooong. Tapi kreatif yang positif. Bukan kreatif yang ngibulan negara, seperti proyek kartu kerja  yang konon berbiaya murah, sekitar Rp 5,6 triliun.

Ngapain punya staf khusus milaneal hanya mau ngibulan negara saja. Pemimpin yang hebat, pemimpin yang mampu menggali dan memanfaatkan sumberdaya yang ada. Termasuk, memanfaatkan Sonson Garpani – yang sudah sarat dengan jutaan kreativitas berbiaya murah.

Soal cetak sawah ! Ya abaikan saja itu dulu. Perintahkan itu Menteri Pertanian, berapa luas sawah yang riil saat ini. Mengapa produktivitas kok dari dulu, dari  Pak  Darsono menjadi Menteri  Pertanian – yang kemudian dilanjutkan  Achmad Affandi.

Bukankah di era Achmad Affandi, Indonesia sempat berswasembada beras. Lalu kemudian Presiden Soeharto menjadi tamu terhormat dalam sidang FAO. Indonesia dielu elukan sebagai negara yang mulai memasuki era kemandirian pangan.  Artinya, kalau memang mau, ya bisa dan mampu.

 

Tapi kala itu memang bedah. Sosok yang disebut menteri, memang menteri benaran. Kapasitasnya yang benar benar menteri. Berkomitmen terhadap negara tidak basa basi. Tulus. Dan kontrak politik dengan Presiden  Soeharto, benar benar dipenuhi.

Itu tadi contohnya. Indonesia berkomitmen swasembada beras, target itu tercapai. Walau itu harus  diperoleh dengan kerja keras. Siang malam. Semua  turun ke sawah. Saya yang sangat itu sebagai wartawan Harian Prioritas, berulangkali ikut dalam perjalanan Achmad Affandi, ke lumbung lumbung beras nasional.

Di lapangan, Achmad  Affandi, bukan ngobrol di pendopo Kantor Bupati, tapi berdialog  di saung di tengah sawah.  Semua penyuluh pertanian dikumpulkan. Petani bersama kelompok taninya. Lalu bupati beserta jajaran yang terkait langsung dengan urusan pertanian.  Semua ngariung di saung di tengah sawah.

Tak sebatas itu. Achamad  Affandi pun turun ke pematang sawah – maaf bukan ke got ya. Kemudian, minta kepada penyuluh agar menghitung, dalam satu rumpun padi, ada berapa batang. Dan tiap tiap malai ada berapa buliran padi. Sehingga kemudian, dia  tahu  berapa banyak  produksi padi, untuk satu petak itu.

Tak berhenti di situ. Achmad Affandi pun, langsung intruksikan  Suhaedi, kala itu, Dirjen Tanaman Pangan, sebelum digantikan Buin Pabinru, menghitung berapa ton, kemungkinan produksi padi dalam satu hamparan itu.  Bila kurang  dari  target, langsung diambil kebijakan agar produksi tetap sesuai, bahkan bisa melebihi target.

Tapi ini dulu, di era orde baru, bukan orde melineal. Di orde yang kurang disenangi bagi sekelompok orang yang merasa hebat dan kini menjabat.  Beda dengan sekarang. Orde kini menteri bermain angka, produksi beras sekian, jagung sekian, dan kedelai sekian.   Stock aman, gudang Bulog penuh.

Soal faktanya bagaimana, ah itu tidak usah dipertanyakan. Karena sudah tak ditanyapun jawaban akan keluar sendiri.  Indonesia impor beras. Indonesia impor jagung. Indonesia impor gula, dan seterusnya.

 

Lalu kini, di tengah galaunya rakyat tidak mendapatkan bagian sembako, lantaran di rumahkan,  karena takut tersebar Covid 19,  ada keinginan mencetak sawah baru di lahan gambut.  Solusi tepat bagi orang hebaat.

Luar biasa memang. Suatu negara di bawa kelolaan orang hebat. Orang pintar dan entah apa lagi. Soal proyek selalu cepat dan tepat. Terlebih soal proyek ketahanan pangan.  Cepat ditanggap langsung digarap. Sikaat bee..proyek besar kata orang hebat.

Tapi tidak bagi orang benar. Orang benar pasti akan berkata, sudah hentikan ide cetak sawah. Apa lagi sampai membabat hutan gambut.  Yang ada saja dioptimalkan.  Yang kurang produktif, diproduktifkan.

Berikan petani insentif. Harga mengairahkan. Sarana produksi ada di pasar. Mudah dibeli dan harga terjangkau.

Lalu kemudian, penuhi semua kebutuhan penyuluh pertanian.  Tugaskan orang orang di Dinas Pertanian selalu di lapangan. Sudah selesai, tidak usah direcokin dengan aturan yang  membuat mereka di lapangan lier.

Soal modal kerja petani, wah ini gampang. Petani sudah punya sumber sendiri. Jasa pinjaman uang di desa banyak. Hanya memang,  soal  fee jasa, ini jangan jadi beban petani. Kasihan mereka. Itu hendaknya diambil pemerintah, sebagai subsidi langsung.

Bukankah selama ini,  petani tidak menikmati subsidi itu. Petani hanya menerima sarana produksi dengan harga sedikit lebih murah. Lalu apakah itu disebut subsidi. Oh bukan. Sebab penerima  subsidi adalah pabrik pupuk.  Karena pabrik menerima ongkos olah yang memang sudah diperhitungkan sebagai profit perusahaan.

Usmandie  A  Andeska