Penataan Ruang Provinsi Kalimantan Tengah yang Tak Kunjung Usai

Petrus Gunarso : ada 1000 ton sagu basa

TROPIS.CO, JAKARTA – Penataan ruang yang ideal dapat terjadi jika berpijak pada aturan legal, bebas dari kepentingan dan ego sektoral, dan berlandaskan pada hakikat dan tujuan mewujudkan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia – sila ke lima dari Pancasila.

Jika penataan ruang tak kunjung usai, maka pastilah salah satu dari pijakan tidak kuat, atau tujuannya melenceng dari tujuan negara yang terkandung dalam dasar negara kita tersebut.

Propinsi Kalimantan Tengah adalah contoh penataan ruang yang sangat phenomenal karena sejak tahun 90an sampai hari ini belum selesai.

Penyelesaian atasnya secara tuntas atau ”once and for all” dapat menjadi pelajaran berharga bagi penyelesaian permasalahan yang sama di berbagai wilayah di Indonesia.

Penyelesaian masalah Kalimantan Tengah ini paling tidak akan dapat membantu menyelesaikan permasalahan serupa bagi Kalimantan Timur dan Riau.

Ketiga provinsi tersebut selain belum secara penuh tata ruangnya selesai; setidak-tidaknya tata ruang di ke tiga propinsi itu masih menyisakan permasalahan lapangan yang belum terpecahkan sampai saat ini.

Permasalahan tersebut sangat mengganggu pada salah satu komoditas penting bangsa ini yaitu kepastian penataan ruang untuk perkebunan kelapa sawit.

Dengan menyelesaikan permasalah di tiga propinsi itu berati akan menyelesaikan 37 persen luas kebun sawit di Indonesia yang pada tahun 2019 tercatat 14,6 juta hektare. 

Di luar angka tersebut terdapat 3,4 juta hektare kebun kelapa sawit yang tumpang tindih dengan berbagai fungsi dan kawasan hutan.

Di Riau saja sawit ilegal diidentifikasi ilegal seluas 1,8 juta hektare, sedangkan di Kalimantan Tengah seluas 1,5 juta hektare.

Dari dua propinsi Riau dan Kalteng tersebut, angka luas kebun sawit yang tumpang tindih dengan ”kawasan hutan” mencapai luas 3,3 juta hektare atau 97 persen dari total sawit bermasalah yang teridentifikasi di seluruh Indonesia.

Dengan demikian, menyelesaikan tata ruang di Kalteng dan Riau secara tuntas akan menyelesaikan 97 persen masalah sekaligus mendapatkan kepastian atas 3,4 juta hektare kebun sawit.

Permasalahan

Keruwetan penataan ruang di Indonesia diawali dari Undang-undang yang ambigu, dan lemahnya sistem koordinasi dan proses pengambilan keputusan yang sarat kepentingan politik, interest sektor, dan dalam beberapa hal kepentingan individu pimpinan kementerian dan lembaga yang dipengaruhi oleh kepentingan bisnis.

Undang-undang yang ambigu dalam penataan ruang berawal dari dua undang-undang pokok yaitu UU Pokok Agraria (UUPA) dan UU Pokok Kehutanan (UUPK). Ke dua undang-undang itu lahir dalam suasana bathin yang sangat berbeda dan juga semangat serta ideologi yang sangat berbeda.

UUPA Nomor 5 terbit tahun 1960; sedangkan UUPK Nomor 5 terbit tahun 1967.

Jika kita lihat dari sejarah, maka UUPA terbit pada masa Orde Lama, sedangkan UUPK disahkan pada tahun 1967 atau sudah masuk awal dari Orde Baru.

Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) mempunyai cakupan lebih luas, yaitu seluruh wilayah hukum NKRI, yang mencakup daratan, lautan, badan air, udara di atas wilayah RI dan wilayah di bawah air.

Khusus mengenai wilayah laut – Indonesia kemudian wilayahnya bertambah dengan berlakunya UU hukum laut internasional (UNCLOS).

UUPA Nomor 5 1960 masih berlaku sampai hari ini, sedangkan UUPK sudah diubah dengan terbitnya UU 41 1999 tentang Kehutanan – sebagai salah satu UU Sektor.

Pengaturan untuk masing-masing sektor telah berubah dengan terbitnya UU yang bersifat Sektoral.

Undang-undang tentang Penataan Ruang pertama kali muncul tahun 1992 – yaitu melalui UU 24 Tahun 1992.

Saat UU ini disahkan – penataan ruang secara de fakto adalah TGHK – Tata Guna Hutan Kesepakatan yang dilakukan secara mandiri di masing-masing provinsi.

Kesepakatan diwujudkan dalam bentuk tanda-tangan yang dibubuhkan oleh kepala-kepala dinas di tingkat provinsi yang dalam tupoksinya bersangkut paut dengan ruang.

Dari TGHK ini muncul istilah yang sangat terkenal dan bernuansa diskriminatif secara sektoral yaitu kawasan hutan (dengan berbagai fungsinya) dan area penggunaan lain (APL).

Proporsi Luas kawasan hutan dibanding dengan APL di masing-masing provinsi sangat berbeda antara satu provinsi dengan provinsi lainnya.

Perbedaan mencolok dari proporsi ini adalah antara propinsi-propinsi di Jawa, Madura dan Bali dengan provinsi-propinsi lain di luar Jawa dan Bali. Diskriminasi in seolah hendak memisahkan kewenangan sektor yang mengurus hutan dan sektor yang mengurus tanah (lebih tepatnya agraria).

Dalam wilayah hutan, pengaturannya melalui ijin/hak; sedangkan di APL lebih didasarkan pada Hak – seperti diatur dalam UUPA yaitu Hak Guna Usaha, dan hak-hak yang lain.

Sejak terbitnya UUPK 5/67- maka pemanfaatan kawasan hutan dikeluarka ijin yang disebut dengan HPH – Hak Pengusahaan Hutan. Di wilayah APL, pemanfaatannya berdasarkan HGU atau hak guna usaha.

Perebutan Kepentingan

Menarik mencermati perubahan penataan ruang di Kalimantan Tengah pada dua periode sejarah pembangunan dan dan pemanfaatan sumber daya hutan yaitu sebelum dan sesudah reformasi.

Sebelum reformasi kegiatan kehutanan dengan model Hak Pengusahaan Hutan (HPH) mencapai titik kulminasi pada tahun 90-an.

Di Kalimantan Tengah pada dekade 90an terdapat sekitar 100 HPH; dengan luas areal sekitar 6 juta hektare.

Demikian halnya dengan Propinsi Riau pada peride yang sama juga memiliki lebih kurang 100 HPH. Pada dekade tersebut total jumlah HPH di Indonesia mencapai 580 units dengan luas sekitar 61.3 juta hektar.

Sebelum Era Reformasi

Dalam bagan-kue di bawah ini terlihat pada tahun 1994 dan 1999 pembagian wilayah hutan dan APL menunjukkan angka wilayah hutan yang dominan, dengan wilayah APL lebih dari 30%. Pengaturan ini merupakan hasil scoring yang kemudian diwujudkan ke dalam bentuk peta TGHK.

Sesudah Era Reformasi

Anehnya – pada masa sesudah reformasi, proporsi hutan dan APL justru mengalami perubahan dari moderat menjadi sangat konservatif.

Dari bagan kue di bawah ini terlihat betapa areal Kehutanan mengalami perubahan berulang kali dengan proporsi yang sangat beragam.

Hal ini menggambarkan kemungkinan pemanfaatan scoring yang cermat tidak dilakukan – dan penetapan justru lebih didorong oleh perebutan kepentingan.

Pada tahap awal reformasi, luas proporsi APL hanya sedikit meningkat dari 34 persen menjadi 37 persen, namun pada tahun 2007 proporsi APL usulan/Raperda ditetapkan jauh lebih luas yaitu mencapai 44,4 persen.

Pada tahun ini, perkebunan kelapa sawit besar mulai masuk ke Kalimantan Tengah. Namun anehnya – pada lima tahun berikutnya yaitu tahun 2012 luasan APL mengecil menjadi hanya 13 persen, sesuai dengan SK Menteri Kehutanan 529/Menhut-II/2011.

Ada hal yang tidak biasa – untuk sebuah penataan ruang di mana proporsi APL justru berkurang dengan drastis – dan nampak sekali bukan karena pertimbangan teknis tetapi lebih ke pertimbangan politis.

Tidak terlihat di sini adanya tata ruang untuk pencetakan sawah 1 juta hektar di Kalimantan Tengah – pada tahun 1997.

Luas pencetakan sawah seluas 1 juta hektare itu berarti sekitar 6 persen dari luas wilayah Kalimantan Tengah.

Jika memperhatikan tata ruang tahun 2015, di mana pada tahun 1997 terjadi kebakaran hebat di kalimantan Tengah – dan jutaan hektar lahan terbakar. Apakah lahan bekas kebakaran itu pada tahun 2015 sudah kembali menjadi hutan?

Ditambah dengan pencetakan sawah seluas 1 juta ha dan kebakaran seluas lebih dari 1 juta hektar; maka paling tidak terdapat wilayah terbuka tak berhutan – yang menurut penilain scoring tata ruang semestinya lebih tepat berubah menjadi wilayah APL.

Jika 12% saja bekas terbakar dan lahan eks mega rice 1 juta hektar – sudah merupakan 12 persen dari luas propinsi.

Jika kemudian tahun 2015 luas APL ditetapkan seluas 17 persen, maka alokasi APL murni pada tata ruang 2015 ini hanya sekitar 5 persen. Sebuah proporsi ruang yang sangat tidak wajar.

Dengan adanya status kawasan hutan yang bisa dikonversi pada tata ruang 2015, seluas 2.2 juta ha – hal ini berati proporsi luasnya mencapai 15 persen.

Hal ini berarti tidak ada lagi alokasi APL murni, dan alokasinya hanya bisa melalui pelepasan kawasan hutan yang berasal dari hutan produksi konversi seluas 15 persen tersebut.

Apakah ini memang ada unsur kesengajaan, perlu dikaji lebih mendalam.

Yang tak kalah menarik adalah pada tahun 2006, terbit Surat Menteri Kehutanan mencabut Surat Edaran Kepala Badan Planologi dan mencabut surat edaran itu secara berlaku mundur sejak dikeluarkannya surat Kabaplan yaitu 12 September 2000.

Sebuah pencabutan surat edaran yang sangat mengusik rasa keadilan.

Selain berlaku mundur – juga berlaku jauh sebelum pejabat Menteri ybs diangkat sebagai Menteri.

Periode Menteri MS Kaban yang mencabut surat itu adalah tahun 2004 – 2009.

Surat Menteri yang keluar pada tahun 2006, bisa mencabut dan berlaku mundur sampai tahun 2000, empat tahun sebelum ybs menjadi Menteri.

Surat Kepala Baplan itu sangat menguntungkan para pengusaha Kelapa Sawit, karena proses pelepasan kawasan hutan dihapuskan, karena sudah berada di APL.

Namun demikian, bisa dibayangkan bagaimana sulitnya bagi para pengusaha kelapa sawit yang mendapatkan lahan pada tahun 2000 sampai dengan 2006, yang sudah melakukan penanaman, kemudian harus mengurus ijin pelepasan kawasan hutan.

Mungkin ada kesengajaan – hanya perusahaan raksasa saja yang akan mampu mengurusnya .

Belum selesai masalah di tahun 2006, pada periode Gubernur Teras Narang terjadi perubahan penetapan Tata Ruang yang terlihat kurang memperhatikan keadaan di lapangan.

Entah mengapa pada tahun 2015 tata ruang Kalimantan Tengah justru berubah kembali ke proporsi 83 persen kawasan hutan dan 17 persen APL.

Pada saat itu luas kebun Kelapa Sawit di Kalteng telah mencapai 1,1 Juta hektare (7 persen dari luas propinsi) atau 41 persen dari APL yang tersedia.

Penyelesaian Menyeluruh dan Final

Melalui suratnya, Ketua Gapki mengajukan permintaan kepada Mendagri untuk mencabut Perda Tata Ruang Kalteng Nomor 8 tahun 2015 pada bulan September 2015 karena tata ruang dalam perda tersebut sangat tidak sejalan dengan kenyataan di lapangan dan menimbulkan ketidak pastian yang sangat besar.

Akibat pencabutan surat Kepala Badan Planologi oleh Menteri MS Kaban – yang berlaku mulai tahun 2000 sampai dengan berakhirnya masa jabatan menteri MS Kaban pada 2009.

Pada tahun 2012 muncul penunjukan kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan yang hanya mengalokasikan APL seluas 13 persen dari total luas kalimantan Tengah – jelas hal ini menimbulkan kekacauan di lapangan.

Oleh karenanya – muncul dari Kalimantan Tengah gugatan ke Mahkamah Konsittusi yang kemudian mencabut pengukuhan hutan yang hanya berdasarkan penunjukan saja. Pengukuhan hutan tetap harus melewati 4 tahap yaitu penunjukan, pengukuran dan penataan batas, pemetaan, dan penetapan/ pengukuhan.

Hutan Produksi Konversi ditetapkan seluas 16 persen – dari luas total Kalimantan Tengah – seluas hampir sama dengan APL yang hanya 17 persen.

Artinya – memang ada hutan produksi yang akan dikonvesi dengan luas yang sangat besar – dan kembali ke luas awal TGHK yang mengalokasikan 38 persen APL.

Terlihat di sini kepentingan Kehutanan sangat menonjol dalam menarik kembali areal APL – bukan agar hutannya menjadi luas dan lestari – tetapi untuk menarik kewenangan agar pengguna kawasan mengajukan pelepasan kawasan hutan – yang ditengarai berbiaya tinggi .

Kenyataan di atas jelas memerlukan penanganan serius, menyeluruh, dan final. Peran Wamen Kehutanan, yang kebetulan berasal dari Kalimantan Tengah, mungkin bisa menyelamatkan carut marut tata ruang yang tak kunjung usai di Kalimantan Tengah ini secara tuntas dan final.

Menyelasaikan 97% sawit bermasalah – melalui penataan ruang yang ideal tetapi realistis, akan menyelesaikan ketidak pastian yang kini dihadapi oleh para pengusaha hutan dan Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan Tengah dan juga di Riau.

Penyelesaian tata ruang Kalimantan Tengah – tidak mungkin bisa dikerjakan hanya oleh Tim Terpadu. Peran Menteri atau Wakil Menteri LHK sebagai komando langsung penyelesaian rumitnya masalah ini menjadi sebuah keharusan.

Hanya dengan hati jernih dan berpijak pada sila ke lima Pancasila, maka penyelesaian masalah rumit ini bisa terlaksana.

Penyelesaian masalah ini akan membuat semua orang lega dan bahagia, sekaligus membuka peluang pemanfaatan APL untuk produksi pangan dan pakan bagi kebutuhan bangsa yang kini terancam krisis pangan akibat dampak Covid-19.

Pendekatan baru berbasis agroforestry di tingkat bentang alam (landscape) diyakini akan mampu mewujudkan ketahanan pangan, pakan, dan energi bagi bangsa Indonesia. Syaratnya satu, segera selesaikan tata ruang secara tuntas dan final. Semoga!

Petrus Gunarso PhD