Masalah Menghasilkan Outcome, Persoalan Struktural dan Birokrasi Menghijaukan Lahan Kritis

TROPIS.CO, JAKARTA – Dalam banyak hal, para pengambil keputusan sudah tahu masalah dan solusinya agar outcome, misalnya adanya hutan baru, bisa diwujudkan dan lahan tidak lagi kritis/tandus.

Persoalannya tidak bisa menjalankan solusi itu, akibat desain perencanaan, ukuran kinerja dan pengawasan tidak sampai bisa mewujudkan outcome dimaksud. Desain tersebut seolah-olah dibuat dengan logika tersendiri. Tujuannya bukan mewujudkan outcome, tetapi lebih untuk menjalankan standar-standar administrasi dan keuangan.

Faktanya, kegiatan yg disusun sesuai standar itu tidak bisa menghasil outcom yg dimaksud. Dalam rapat minggu ini di Jakarta disebut masalah mewujudkan outcome itu, dan sudah terjadi sejak tahun 70an.

Saya telah amati sejak awal pelaksanaan GERHAN belasan tahun yang lalu. Naskah saya “DISKURSUS MENANAM POHON 1946-2006” membahas hal tsb yang dimuat di Harian Suara Pembaruan, 12 Desember 2007.

Selama ini, adanya gap lebar antara standar kegiatan/keuangan dan capaian kinerja dengan outcome (luas hutan baru) nampak belum dianggap sebagai akar masalah. Desain perencanaan, ukuran kinerja dan pengawasan justru dianggap given.

Dianggap sebagai kondisi struktural yang harus diikuti. Maka praktek yang terjadi justru mencari cara lain agar apa yg dikerjakan bisa dibenarkan. Ukuran kinerja diarahkan pada ukuran administratif pencapaian standar dan keuangan. Akibatnya: “dinyatakan tidak berhasil tetapi tidak diketahui, karena hutan baru yang dihasilkan tidak ada datanya” demikian dinyatakan di rapat itu.

Pendekatan Linier

Dengan tanpa ukuran kinerja yang tepat, terbukti inovasi perbaikan desain perencanaan dan pengawasan belum berjalan, walaupun administrasi kegiatan maupun anggaran dan pengawasan keuangan tidak bisa memenuhi kebutuhan penyelesaian masalah di lapangan.

Selain itu, lembaga yang mengerjakan tidak punya spesialisasi/tupoksi menyelesaikan persoalan yang diperlukan di lapangan. Misalnya membangun modal sosial masyarakat, meningkatkan trust atas program yang dijalankan ataupun menyelesaikan klaim lahan jika ada. Lembaga lain yang punya tupoksi dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu tidak ada, atau bekerja di tempat lain.

Lembaga-lembaga tersebut bisa bekerja sendiri-sendiri karena ukuran kinerjanya bukan outcome (adanya hutan baru), tetapi output parsial sesuai spesialisasi unit kerjanya.

Dan cara kerja parsial ini bisa dipertanggung-jawabkan; karena hanya output itu yang memang dituntut oleh para pengawas. Itu artinya para pengawas hanya menggunakan standar kegiatan dan penggunaan anggarannya tanpa memastikan apakah standar-standar itu relevan diterapkan di lapangan.

Karena desain perencanaan yang bekerja secara linier tidak perlu mengenal para subyek pelaku rehabilitasi hutan: persepsi, keinginan, daya terima, klaim lahan, dll. Maka logika teknokrasi bekerja. Jumlah anggaran dibagi standar biaya akan ketemu luas target.

Luas target lalu dialokasikan menjadi lokasi-lokasi sasaran kegiatan, dengan sejumlah kriteria. Pendekatan yang memisahkan hubungan obyek lahan kritis dan subyeknya di lapangan memenuhi syarat kegagalan utama, yaitu tidak adanya kepedulian tanaman setelah dipelihara dari dana proyek.

Soal Tata Kelola

Sejumlah faktor regulasi dan kelembagaan sebagai penyebab masalahnya, secara sendiri-sendiri atau bersama-sama, sbb:

1. Regulasi tidak membolehkan solusi dilaksanakan walau solusi itu benar. Kebenaran regulasi sering dibangun hanya di dalam pikiran, tanpa ada verifikasi lapangan.

2. Kegiatan sebagai solusi, walau benar, tetapi bukan tugas pokok dan fungsinya. Pertanyaannya: apakah semua tupoksi membagi habis semua masalah? Jika tidak, pasti ada masalah yang tidak pernah bisa dipecahkan.

3. Walau masalah dan solusi terkait tugasnya, tetapi jikapun diselesaikan tidak menyebabkan prestasi kerjanya lebih baik. Sebab prestasi kerja diukur dari hal yang lain.

4. Instruksi prioritas kerja di lembaga dimana ia bekerja mempunyai kepentingan sendiri, dan tidak berhubungan dengan kepentingan masyarakat luas untuk menyelesaikan masalah mereka.

5. Alokasi anggaran untuk kegiatan yang penting bagi masyarakat, termasuk rehabilitasi hutan, menjadi soal politik. Berada di luar jangkauan birokrasi. Walaupun alasan-alasan teknis urgensi suatu kegiatan disampaikan, tetapi bukan alasan itu yang digunakan.

Di sisi lain, hambatan rehabilitasi DAS kritis yang dilakukan pemegang izin tambang dalam kawasan hutan (IPPKH) yaitu penetapan lokasi. Prosesnya seringkali berjalan lama dan berbiaya tinggi.

Proses ini kelihatannya menjadi incaran di lapangan. Hasil rehabilitasi IPPKH bisa tidak diterima daerah ketika proses ini dianggap “bermasalah”.

Ditemukan pula lokasi rehabilitasi malah berada di hutan lindung yang tutupan hutannya masih baik. Artinya, biaya rehabilitasi puluhan juga per ha itu bisa diduga menjadi fiktif.

Itu berarti bahwa lembaga-lembaga negara yang diharapkan menyelesaikan masalah juga punya “masalah”. Di lapangan, penyelesaian “masalah” ini seringkali berkonsentrasi menyelesaikan masalah administrasi dan transaksi.

Akibatnya program bisa dibuat dengan volume jauh lebih besar daripada kapasitas birokrasi, relatif terhadap besar kerumitan masalah di lapangan yang dihadapi. Termasuk tidak sinerginya instansi terkait. Itu semua bisa dimengerti karena goalnya bukan outcome seperti disebut di atas.

Corrective Actions

Sistem perencanaan dan pengawasan nasional yang mengutamakan standar administrasi dan membiarkan tiap lembaga mengerjakan tupoksinya sendiri-sendiri, menjadi hambatan terwujudnya bangunan outcome hasil integrasi multi-tupoksi yang diharapkan. Fakta ini telah berjalan puluhan tahun dan menghalangi keberhasilan rehabilitasi hutan.

Disamping itu, persoalan tatakelola, birokrasi penetapan lokasi, termasuk ketertutupan informasi pelaksanaannya, membuat tidak efektifnya dana APBN maupun potensi pendanaan dari swasta: IPPKH, dll.

Teknologi daring sudah saatnya digunakan untuk kepentingan ini, penguasaan obyek-subyek di lapangan, dan perlu revisi sejumlah regulasi yang memungkinkan terjadinya biaya transaksi tinggi.

Masalah-masalah di atas karena berada di luar jangkauan birokrasi pelaksana, sebaiknya diletakkan pada perbaikan kebijakan nasional pemulihan lingkungan. Sebab, selain rehabilitasi hutan dan lahan, reklamasi bekas tambang, maupun restorasi ekosistem juga mempunyai masalah serupa.

Hariyadi Kartodiharjo
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Bogor
“Sebagai input dari pembahasan rehabilitasi hutan nasional.”