TROPIS.CO, JAKARTA – Integrated Area Deveploment (IAD) atau Pengembagan Wilayah Terpadu yang sejak beberapa waktu terakhir telah diimplementasikan pemerintah dalam percepatan pengembangan perhutanan sosial, lebih diorientasikan menumbuhkan ekonomi pedesaan hingga mencegah terjadinya urbanisasi, tapi lebih meningkatkan ruralisasi.
“Jadi kita balik, bila sebelumnya orang desa berbondong-bondong ke kota hingga terjadinya urbanisasi, melalui pendekatan IAD, ekonomi desa berkembang, desa maju, daya beli masyarakat desa meningkat, maka orang desa yang ada di kota terpancing kembali ke desa, hingga terjadi ruralisasi,” kata Bambang Supriyanto.
Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan itu, dalam percakapan dengan TROPIS.CO dan Majalah Ekonomi Lingkungan TROPIS di Jakarta, belum lama ini, upaya percepatan pengembangan perhutanan sosial melalui pendekatan IAD ini, sedang dipersiapkan di 20 kabupaten, diawali Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, pada areal seluas 940 hektar yang dikelola oleh LMDH Wono Lestari, Desa Burno, Senduro berbasiskan agroforestry dan silvopastura.
Kemudian di Ogan Komering ILir (OKI) Sumatera Selatan, tepatnya di 5 desa dalam naungan Kelompok Tani Hutan Tanaman Rakyat Karya Sialang Makmur, Desa Lubuk Seberuk, pada areal seluas 6.850 hektar. “ Di sini basis pengembangannya tanaman karet yang dikemudian dijadikan lateks, sebelumnya LAM, bekerjasama dengan perusahaan industri sarung tangan karet di Tangerang,”kata Bambang Supriyanto lagi.
Lalu juga di Buleleng, Bali, lanjutnya, dan ini tepatnya di Desa Wanagiri. Penduduk di sini melakukan konservasi air untuk kebutuhan religi. Mereka menjaga hutan agar terus menyuplai air untuk kebutuhan dasar penduduk desa yang berkembang menjadi ekowisata. Karenanya, strategi pengembangan IAD di Buleleng ini, lebih berbasiskan ekologi.

Sementara untuk menjaga tutupan hutan, penduduk mengembangkan agroforestri, yakni memadukan tanaman hutan dengan buah-buahan dan kopi. Dengan agroforestri mereka mendapatkan manfaat ekonomi menjaga hutan. Keberhasilan konservasi air Wanagiri mendorong delapan desa lain menirunya, sehingga terjadi koneksi wisata sembilan desa yang dipasarkan bersama oleh para pengelola perhutanan sosial. “Kopi dipasok ke kafe-kafe desa wisata,” ujar Bambang.
Pendekatan IAD pada pengembangan perhutanan sosial, menurut Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan itu, merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 23/2021 yang telah dijabarkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9/2021. Targetnya, terjadi percepatan peningkatan pendapatan masyarakat, melalui optimalisasi pemanfaatan dan pengelolaan potensi sumberdaya pedesaan, pada kawasan hutan perhutanan sosial.
Dengan demikian, melalui pendekatan terjadi percepatan pertumbuhan ekonomi desa hingga menimbulkan multiplaer effect yang merancang pergerakan ekonomi pada sektor lainya; industri rumah tangga yang berbahan baku produk perhutanan sosial. “Bila ekonomi berkembang, desa maju lapangan pekerjaan terbuka, sangat diyakini bukan lagi urbanisasi yang terjadi, melainkan ruralisasi,”harap Bambang Supriyanto.
Menurut dia, ada lima model pendekatan IAD, yakni secara sosial, ekonomi, ekologi, perpaduan sosial ekonomi, maupun ekonomi-ekologi. Dengan model pendekatan IAD berbasis ekonomi, indikasi peningkatan pendapatan anggota kelompok tani sangat nyata. Di LMDH Wono Lestari, rata rata pendapatan petani dan peternak, kini telah mendekati Rp 4 juta setiap bulan. “Sebelumnya, hanya dalam kisaran Rp 1,8 juta hingga Rp 2 juta,”katanya.
Begitu juga, petani karet yang tergabung dalam Kelompok Tani HTR Karya Sialang Makmur, Desa Lubuk Seberuk, tiap bulannya, berpendapatan tak kurang dari Rp 3,2 juta. Dan ini menurut Bambang, belum termasuk pendapatan dari gaharu dan hasil dari tanaman tumpangsarinya. “Bila merujuk pada pendapatan perbulan yang relative tinggi, baik petani dan peternak anggota LMDH Wono Lestari maupun anggota KTH Karya Sialang Makmur, sudah tergolong bebas dari kemiskinan,”tandas Bambang.
Dijelaskan juga oleh Bambang, bahwa dalam percepatan pengembangan perhutanan sosial melalui pendekatan IAD, telah terbangun kolaborasi Pentahelix, yakni integrasi kerja pemerintah, LSM, perguruan tinggi, swasta dan masyarakat. Karenanya, Bambang sangat menyakini, melalui pendekatan IAD, program perhutanan sosial, bukan hanya memberikan keadilan akses, namun juga meredakan konflik, dan mengurangi kemiskinan, serta percepatan pembangunan wilayah.
“ Karenanya, motor penggerak dari percepatan pengembangan perhutanan sosial melalui pendekatan IAD ini, adalah Pemerintah Daerah, dan kami berterima kasih kepada Bupati Lumajang yang sangat merespon program ini dengan mengeskpansi pendekatan IAD ini pada 5 desa lainnya di sekitar Desa Burno,”ungkap Bambang lagi.
Pemerintah telah merancang pengembangan perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektar, dan hingga akhir tahun kemarin, 2022, sudah terealisasi sekitar 5.318.376,20 hektar, terdiri dari 8.041 surat keputusan dan 1.149.595 keluarga. Dan semuanya tersebar di 33 provinsi, 380 kabupaten, 2.315 kecamatan, dan 4.294 desa di Indonesia. Diharapkan, pada 2030, target 12,7 juta hektar itu, sudah terbagi habis pada semua masyarakat di sekitar kawasan hutan.