TROPIS.CO, JAKARTA – Anggota Komisi IV DPRRI Firman Soebagio mengkritisi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang dinilainya kurang proaktif dalam mengemban amanah pelaksanaan Undang Undang Cipta Kerja (UUCK), terkait dengan peningkatan tata kelola industri kelapa sawit dan optimalisasi penerimaan negara.
“Sejatinya KLHK yang diberi tanggungjawab terhadap penyelesaian masalah “ketelanjuran” lebih proaktif sehingga target yang hendak dicapai dari UUCK bisa segera direalisasikan,” kata anggota DPR RI dari Partai Golkar Daerah Pemilihan Jawa Tengah itu dalam percakapan dengan TROPIS via handphone, Selasa (18/4/2023).
Bukankah, lanjut dia, dalam upaya percepatan penyelesaian perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah membentuk tim satuan tugas dalam upaya percepatan penyelesaian persoalan tersebut.
Dasar untuk penyelesaiannya sudah sangat jelas, yakni Pasal 110 A, terhadap perusahaan perkebunan yang sudah memilik perijinan dari instansi terkait lain tapi belum memilik izin pelepasan kawasan hutan dari KLHK.
Atau Pasal 110 B dari Undang-Undang Cipta Kerja, terhadap perusahaan yang memang tidak memiliki identitas perijinan sedikitpun terhadap kegiatan usaha perkebunan sawit yang mereka kembangkan.
“Pada dasarnya, kalangan perusahaan siap mematuhi dan memenuhi berbagai ketentuan yang diwajibkan, seperti ketentuan cukup satu daur, bagi perkebunan di dalam kawasan hutan lindung, dan mereka juga siap mulai melakukan penanaman tanaman hutan, dan juga membayar denda, sebagai sanksi administrasi,” katanya.
Namun sayang, Kementrian LHK dikesankan Firman Soebagio kurang proaktif, sehingga “memaksa” Presiden Joko Widodo, menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2023 tentang Satuan Tugas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara, tertanggal 14 April 2023.
Presiden juga menetapkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan sebagai Ketua Dewan Pengarah dan Wakil Menteri Keuangan, Prof. Suahasil Nazara, sebagai Ketua Pelaksana Satgas.
Pembentukan Satuan Tugas ini, bertujuan melakukan penanganan dan peningkatan tata kelola industri kelapa sawit serta penyelesaian dan pemulihan penerimaan negara dari pajak dan bukan pajak pada industri kelapa sawit.
Tim ini akan bertugas hingga 30 September 2024 dan dalam struktur tim tersebut, unsur dari KLHK hanya tercantum sebagai anggota tim pelaksana. Padahal, faktor teknis ada di KLHK.
Karenanya, lanjut Firman, kalau Satgas ini hanya sifatnya koordinator dan tidak diberikan kewenangan penu hingga kemudian keputusan yang dibuat tim pelaksana seakan tak mengikat.
Tentu eksistensi Satgas inipun tidak akan dapat mewujubkan hasil yang optimal.
“KLHK kurang aktif, mungkin itu dasar Presiden Joko Widodo mengeluarkan Kepres Satgas hingga denda proporsional yang diharapkan tidak tercapai, seperti tidak jalan, itu keluh kesahnya, proses penyelesaiannya seperti tersumbat,” tandas Firman Soebagio.
Firman Soebagio, adalah salah satu anggota Badan Legeslatif (Baleg) yang ikut terlibat dalam merancang UUCK, khususnya yang terkait dengan pertanian dan kehutanan.
Sehingga dia sangat memahami marwah dari UUCK tersebut.
Selain mempercepat pengembangan investasi dengan memberikan pelayanan sebaik dan secepat mungkin kepada setiap investor, sekaligus juga menyelesaikan berbagai permasalahan yang kini sedang dihadapi dalam kegiatan investasi, termasuk kasus ketelanjuran pemanfaatan kawasan hutan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit.
“Semua sudah tahu bahwa pokok masalahnya faktor kelanjuran dalam pemanfaatan kawasan hutan yang diperuntukan sebagai areal pengembangan perkebunan kelapa sawit,” tuturnya.
“Ini karena ada pembiaran hingga kini meluas mencapai jutaan hektar.”
“Awalnya memang tidak luas, tapi karena ada pembiaran hingga kini mencapai jutaan hektar,” kata Firman.
Dijelaskan oleh Firman Soebagio, persoalan ini berpangkal dari pengelolaan kawasan hutan oleh perusahaan HPH.
Mereka mengeskploitasi hutan namun kemudian tidak melakukan reboisasi dengan alasan sudah membayar dana reboisasi.
Nyatanya, dana reboisasi tersebut masuk ke APBN, walau dipungut di kehutanan, hingga dana tersebut tidak digunakan untuk reboisasi.
Karena tidak ditanami lagi, dianggap lahan telantar oleh masyarakat, kemudian dijadikan perkebunan kelapa sawit, sampai jutaan hektare, dibiarkan karena tidak ada aturan hukum untuk menyelesaikan.
Kini menjadi masalah yang sangat ruwet untuk menyelesaikannya sehingga pemerintah mengusahakan penyelesiannya melalui sanksi administrasi atau denda.
Sementara Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, walau ada sanksi pidana terhadap pemanfaatan kawasan hutan tanpa izin, mungkin karena sudah telanjur luas dan banyak pihak yang terlibat di dalamnya maka dirasakan kurang efektif.
Karenanya, melalui UUCK pendekatan penyelesaiannya melalui sanksi administrasi, berupa denda terhadap perusahaan yang memang tidak ada perizinan sama sekali.