Integrated Areal Development Mampu Percepat Pengembangan Perhutanan Sosial

Bambang Supriyanto, besar potensi perhutanan sosial dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi hijau. Startegi IAD akan mempercepat dan mengoptimalkan pemanfaatan berbagai potensi hingga memberikan nilai tambah.

Strategi Integrated Areal Development atau IAD diyakini dapat mempercepat pengembangan perhutanan sosial. Semua potensi desa dapat dikembangkan secara terpadu hingga hasilnya optimal. Targetnya, ekonomi desa berkembang, pendapatan masyarakat meningkat signifikan, lalu kawasan hutan dan ekositem terjaga. LMDH Wono Lestari, Desa Burno Lumajang, sudah membuktikannya.

TROPIS.CO – JAKARTA, Integrated  areal development atau IAD, suatu strategi dalam percepatan pengembangan perhutanan sosial, telah mampu meningkatkan ekonomi masyarakat pedesaan yang tergabung dalam Kelompok Usaha Perhutanan Sosial.

Di Lumajang, Jawa Timur, tepatnya di desa Burno, kata Bambang Supriyanto, anggota KUPS yang mengelola sapi perah dengan pendekatan agrosilvopastura yang diintegrasikan dengan agroforestry dan wisata, telah berhasil meningkatkan pendapatannya dua kali lipat.

“ Sebelumnya pendapatan mereka hanya dalam kisaran 1,8 juta hingga 1,9 juta perbulan, tapi kini rata rata sudah mendekati Rp 4 juta setiap bulan,”kata Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Linkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, saat percakapan dengan wartawan TROPIS.Co dan Majalah Ekonomi Lingkungan TROPIS, di kantornya, di Manggala Wanabakti, Senayan, Jakarta, Kamis (13/4).

Wawancara ini  seiring dengan rangkaian gelaran Festival Perhutanan Sosial Nasional atau PeSoNa yang direncanakan akan berlangsung pada awal Juni mendatang. Dalam event yang dirancang selama 3 hari itu,  berbagai produk yang dihasilkan kelompok tani hutan se Indonesia ditampilkan, sekaligus dipasarkan. Kemudian  seminar, diskusi dan ada dialog antara  petani, tukar pengalaman.

Bambang mengatakan dalam upaya percepatan pengelolaan perhutanan sosial, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengimplementasikan pendekatan IAD yang kini mulai dikembangkan pada sejumlah KUPS. “ Kalau tidak salah sudah diterapkan pada 25 wilayah,”katanya.

Khusus di Lumajang, pengembangan akan mencakup areal seluas 4.189 hektar. Dan ini, meliputi 5 desa di dua kecamatan yang embrionya berasal dari perluasan pengelolaan Perhutanan Sosial oleh Lembaga Masyarakat Desa Hutan atau LMDH Wono Lestari, Desa Burno.

Bersama Pemerintah Daerah Lumajang,  telah merancang suatu masterplan pengelolaan kawasan perhutanan sosial seluas 4.189 hektar. Tepatnya, berada dibagian utara dan selatan lokasi LMDH Wonolestari, atau Desa Burno, Desa Kandangan, Desa Kandangtepus, Desa Wonocepokayu, Kecamatan Senduro, dan juga dikecamatan Pasrujambe, mencakup Desa Jasmber Kumbu dan Desa Pasrujambe. Pada areal seluas ini, Pemerintah Kabupaten Lumajang memiliki rencana pengembangan areal yang terintegrasi dengan Kawasan TN Bromo Tengger Semeru, kawasan Ranu Pani dan areal

Rumput odot telah menjadi bagian yang terintegrasi dengan pengembangan perhutnan sosial melalui pendekatan IAD. ( foto ; Mangobay)

LMDH Wono Lestari.
Dengan demikian, melalui strategi IAD, berbagai potensi yang ada di Desa Burno dapat dikembangkan optimal, hingga mampu mempercepat pengentasan kemiskinan. Dengan peran yang dimainkan LMDH Wono Lestari, sebagai pemegang konsesi kawasan hutan yang sebelumnya dikelola langsung oleh Perhutani, diharapkan semua desa di Kabupaten Lumajang, berkembang menjadi desa maju, hingga mereka yang sebelumnya urbanisasi ke kota kembali ke desa.

Kondisi Desa Burno, tempat LMDH Wono Lestari berada mencatat perubahan signifikan sejak Program Perhutanan Sosial menyentuh desa tersebut.  “Dengan majunya desa desa itu, maka yang kita harapkan bukan lagi urbanisasi melainkan ruralisasi,”kata Bambang Soepriyanto lagi.

LMDH Wono Lestari, membagi kawasan hutan yang diperoleh melalui Surat Keputusan Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin KK) Nomor : 5633/MENLHK-PSKL/PKPS/ PSL.0/10/2017 26 Oktober 2017, untuk bertanam kopi, pisang, kapulaga, talas dan rumput odot untuk pakan ternak, di sela sela tegakan pohon damar dan pohon sengon. Lalu di pekarangan belakangan rumahnya mereka lengkapi dengan kandang sapi dan kambing ettawa.

Pada saat ini, ada sekitar 812 ekor sapi perah yang dimilik 216 peternak anggota KUPS Wono Lestari dengan tingkat kepemilikan dalam kisaran 4 hingga 6 ekoer perkepala keluarga. “Produksi susunya mencapai 5300 liter perhari, kendati demikian jumlah ini belum mencukupi kebutuhan Industri Pengola Susu atau IPS yang menjadi mitra mereka,”ungkap Bambang.

Karenanya, dalam upaya peningkatan produksi perah ini, Kabupaten Lumajang melakukan ekspansi ke sejumlah desa lain, seperti yang sudah dirancang dalam masterplan pengembangan perhutanan sosial melalui pendekatan IAD. “Bila saat ini baru satu desa ke depan dikembangkan menjadi 6 desa dengan menjadikan LMDH Wono Lestari sebagai bancmarknya,”tutur Dirjen kelahiran Penawangan, Kabupaten Grobokan, Jawa Tengah, 60 tahun silam ini.

Pisang dan ubi talas produk unggulan LMDH Wono Lestari Desa Burno. Suksesnya mereka mengembangkan perhutanan sosial, selalu sapi perah, menjadikan ekonomi Desa Burno berkembang pesat. ( Foto Mangabay)

Adapun sumber pembiayaan untuk pengadaan  sapi perah, disebutkan Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, selain dari swadaya murni peternak, juga bersumber dari  KUR BNI.  “Kini banyak yang sudah menyelesaikan  KUR-nya hingga asset mereka bertambah,”tambahnya.

Dia mengatakan, bahwa dalam pemasaran hasil ternak, LMDH Wono Lestari Desa Burno, bermitra dengan PT Nestle. Perusahaan, lanjutnya, membutuhkan sedikitnya 10 ribu liter perhari, sesuai dengan kapasitas tangki timbunnya. Kondisi ini mengakibatkan biaya transportasi dibebankan kepada pertenak, hingga pendapatan peternak dari produksi susu ini belum optimal.

Sementara produk hilir dari hasil olahan produk agroforestry, seperti ubi talas, yang berperan sebagai off takers, kata Bambang Supriyanto, suatu usaha dagang yang dikelola seorang wanita bernama Siti Khoiriyah yang belakangan dikenal dengan sebutan “Ratu Talas”, bekerjasama dengan pabrikan di Jakarta.

“Ratu Talas” tidak hanya menampung dan membeli talas anggota LMDH Wono Lestari, tapi juga ikut membina dan membimbing, hingga produknya sesuai dengan permintaan pasar. “ ‘Ratu Talas” ikut membina petani kemudian mengolah talasnya menjadi produk home industri, bekerjasama dengan perusahaan produk makanan kita talas petani LMDH Wono Lestari, telah menasional,” cerita Bambang lagi.