Minyak Sawit Sumber Pangan dan Bioenergi Berkelanjutan

Menyalurkan Dana

Sementara diungkapkan, Kepala Divisi Pengembangan Biodiesel BPDPKS Nugroho Adi Wibowo, BPDPKS merupakan badan layanan umum yang diberi tugas mengelola dan menyalurkan dana perkebunan kelapa sawit.

Penyaluran dana yang dilaksanakan BPDPKS berdasarkan kebijakan dan kewenangan yang ditetapkan oleh kementerian atau lembaga.

Keberhasilan penyaluran termasuk dampaknya, sangat tergantung dari desain dan implementasi program tersebut.

“Untuk insentif biodiesel atau B30 merupakan kebijakan dan kewenangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).”

Baca juga: Anjungan Mitra, Kiat Jitu Astra Agro Dukung Petani Sawit

“Desain pelaksanaan serta panduan pelaksanaan program ditetapkan oleh Kementerian ESDM sesuai Permen ESDM Nomor 24 Tahun 2021,” katanya.

Menurutnya, pemberian insentif biodiesel semenjak 2015 hingga Maret 2023 telah mencapai Rp144,7 triliun, di mana pemberian insentif tertinggi terjadi pada 2021 yang mencapai Rp51 triliun, dan di 2022 turun menjadi Rp34,5 triliun.

“Namun yang perlu diketahui kontribusi pajak dari biodiesel yang dibayarkan melalui Ppn yang dibayarkan mencapai Rp13,15 triliun,” kata Nugroho.

Tak hanya biodiesel, dukungan pendanaan insentif juga diberikan kepada industri minyak goreng sawit, yang mana telah sesuai Perpres Nomor 61 Tahun 2015 jo. Perpres Nomor 24 Tahun 2016 jo.Perpres Nomor 66 Tahun 2018 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit, lantas Permendag Nomor 03 Tahun 2022 tentang Migor Kemasan (Kemasan Sederhana dan Kemasan), dan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 8 Tahun 2022 tentang Migor Curah.

Baca juga: Musdhalifah: Industri Sawit Dapat Mendukung Target Penurunan Emisi

Nugroho menyatakan, terkait pembayaran insentif tersebut untuk minyak goreng curah, hingga Oktober 2022 telah dilaksanakan pembayaran percepatan Migor curah sebesar 80 persen dengan jumlah pembayaran Rp62 miliar untuk 12.479.534 kilogram kepada 10 pelaku usaha, proses dilakukan tender surveyor.

Sementera untuk minyak goreng kemasan, masih dalam proses penerbitan hasil verifikasi oleh Kementerian Perdagangan yang akan digunakan BPDPKS sebagai dasar dalam proses pembayaran dana pembiayaan minyak goreng kemasan dan kemasan sederhana.

“Termasuk masih menunggu pertimbangan hukum dari Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung guna menjaga prinsip akuntabilitas dan good governance serta mengantisipasi potensi adanya konsekuensi hukum yang dapat terjadi dimasa yang akan datang,” katanya.

Direktur Pemasaran Holding Perkebunan Nusantara PTPN III (Persero), Dwi Sutoro mengungkapkan, permasalahan dasar atau fundamental minyak goreng yang sering terjadi di Indonesia adalah bukan dalam hal suplai dan kapasitas produksi, namun dalam masalah harga dan distribusi.

Baca juga: Mendorong Keterlibatan Masyarakat Perdesaan Hasilkan Minyak Sawit Berkelanjutan

“Terutama jika harga CPO sebagai bahan baku mengalami kenaikan,” kata Dwi Sutoro.

Di mana statistik pemakaian CPO di Indonesia sebanyak 15 persen produksi CPO nasional atau sekitar 6,8 juta ton digunakan untuk bahan baku minyak goreng sawit, dibanding 55 persen yang di ekspor, di mana penggunaan untuk kebutuhan rumah tangga mencapai 62 persen dan non rumah tangga sebanyak 38 persen.

Sebab itu regulasi terkait ketersedian minyak goreng sawit disarankan untuk difokuskan pada volume yang terkait industri minyak goreng sawit.

Lantas kebijakan minyak goreng, harus menjawab permasalahan terkait harga dan distribusi serta mekanismenya.

Pelaksanaan Kebijakan saat ini, kata Dwi, masih memunculkan risiko dari kontinuitas ketersediaan Migor bersubsidi, lantaran harga CPO yang semakin tinggi akan menyebabkan bertambah besarnya subsidi (hilangnya margin) terutama dari produsen minyak goreng yang tidak terintegrasi dengan industri CPO.

Baca juga: GAPKI: Faktor-Faktor Penghambat Produksi Minyak Sawit Harus Diatasi

Sementara harga Olein Internasional yang tidak berbanding lurus dengan kenaikan harga CPO domestik menyebabkan tidak adanya kompensasi terhadap hilangnya margin pengusaha Migor.

Ini berbanding terbalik dengan harga olein domestik yang justru lebih menguntungkan menyebabkan insentif yang berupa izin ekspor tidak lagi menarik sehingga produsen memilih tidak memproduksi Migor bersubsidi.

Lantas untuk skema distribusi saat ini masih didominasi swasta dan afiliasi dari produsen Migor swasta dan menggunakan jalur distribusi normal.

“Sebab itu ke depan sebaiknya Distributor diambil alih oleh perusahaan atau badan usaha negara dan menggunakan jalur distribusi khusus Migor bersubsidi,” usul Dwi.

Baca juga: GAPKI: Industri Sawit Butuh Dukungan Pers Lawan Diskriminasi dan Kampanye Negatif

Bagaimana peran PTPN? Kata Dwi, pihaknya saat ini sedang membangun kapasitas serta kapabilitas perusahaan dalam meningkatkan peran dan keterlibatan negara.

Caranya pertama, meningkatkan kapasitas produksi minyak goreng, yang mana PTPN saat ini sedang menyiapkan kapasitas industri minyak goreng sebagai bagian dari proyek strategis nasional dengan kapasitas 3 juta ton per tahun.

Kedua, menyiapkan pilot project minyak makan merah dengan kapasitas 10 ton sehari.

Head of Industry & Government Relations Apical, Manumpak Manurung, saat ini Apical menjadi salah satu produsen dengan penugasan untuk memproduksi minyakita dari pemerintah dengan volume tertinggi dari 10 produsen minyak goreng lainnya, mencapai 89.072 ribu ton per bulan atau sekitar 22 persen dari alokasi DMO minyakita sebanyak 450.000 ribu ton sebulan.

Baca juga: Nilai Ekspor dan Permintaan Dalam Negeri untuk Produk Minyak Sawit Naik

Sebab itu kata Manumpak, guna memastikan produk minyakita yang diproduksi Apical sesuai harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah, pihaknya melakukan edukasi HET kepada masyarakat dengan mendorong masyarakat untuk melaporkan bila ada minyakita dijual dengan harga di atas HET ke saluran layanan yang telah disediakan perusahaan.

“Supaya dapat dipantau lebih lanjut oleh pihak regulator,” pungkas Manumpak. (*)