TROPIS.CO, JAKARTA – Ada indikasi kuat selama dua pekan perjalanan puasa Romadan tahun ini,timbulan sampah di sejumlah daerah meningkat signifikan, terutama sampah sisa makanan dan sisa kemasan.
Sinta Saptarina mengajak, umat muslim untuk selalu berprilaku “minim sampah”.
Dalam diskusi Pojok Iklim, Selasa pekan pertama April ini, Sinta Saptarina, berharap bulan Ramadan tahun ini, dapat dijadikan momentum dalam upaya percepatan pengurangan dan penanganan sampah.
Momentum Ramadan dinilai Direktur Pengurangan Sampah, Ditjen Pengelolaan Sampah Limbah dan B3, Kementerian LHK itu, tak hanya sebatas menebar kebaikan sesama umat, melainkan juga terhadap kondisi lingkungan sekitarnya. Artinya, menjaga bumi berikut isinya dari berbagai tindakan yang merusak .
Perlakuan sampah yang tak bijak, dicontohkan Sinta Saptarina, seperti memanfaatkan berbagai kemasan saat mendapatkan takjil untuk berbuka puasa.
Tentu, kemasan bekas takjil itu, bisa meningkatkan timbulan sampah.
Dalam skala besar, bakal berdampak terhadap lingkungan. Sehingga berpeluang besar dalam mempercepat kerusakan lingkungan.
Sungguh ini akan menyebabkan kurang terkendalinya perubahan iklim. Sementara, Pemerintah berupaya menekan terjadinya pemanasan global melalui sejumlah kebijakan dan langkah konkrit.
Salah satunya, mengurangi peningkatan timbulan sampah di semua wilayah dan daerah di Indonesia.
Karenanya, menjadi suatu alasan memontum Romadhon ini, dijadikan suatu kesempatan oleh Sinta Saptarina untuk mengajak semua umat muslim Indonesia, untuk mengadopsi gaya hidup ramah lingkungan sepanjang bulan puasa.
“Dengan semboyan “Ramadan minim sampah” kita berharap masyarakat berprilaku arif dan bijak, memberikan keteladanan melakukan perubahan kecil terkait sampah ini,” kata Sinta Saptarina.

Sejumlah langkah sederhana yang dapat dilakukan selama bulan Ramadan, disebut Sinta, membawa wadah makanan guna ulang dan tas belanja sendiri saat membeli takjil.
Melakukan, pemilahan sampah dari rumah guna mendorong ekonomi sirkular.
“Berbagai langkah sederhana ini dapat memberikan keteladanan bagi masyarakat lainnya untuk bersama-sama mengubah perilaku agar lebih ramah lingkungan,” lanjutnya.
Dikatakan Sinta, ada indikasi kuat, dalam masa setengah bulan perjalanan Ramadan, timbulan sampah dibanyak daerah meningkat cukup signifikan.
Bahkan, tak kepalang tanggung, dalam kisaran 15 hingga 20 persen, ketimbang bulan bulan sebelumnya.
Sinta Saptarina menyebut Surabaya, Jawa Timur dan Tangerang Selatan, Banten, sebagai contoh.
Di Surabaya, tandasnya, sampah yang masuk ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Benowo, mencapai kisaran 1500 hingga 1600 ton perhari.
Ini artinya, meningkat sekitar 20 persen atau 100 hingga 200 ton, ketimbang saat kondisi normal.
Begitupun di Tangerang Selatan, berdasarkan laporan Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangsel, saat puasa memasuki pekan ketiga, ada peningkatan timbulan sampah, dalam kisaran 10 hingga 15 persen, dibanding hari biasa yang hanya dalam kisaran 950 hingga 970 ton perhari.
“Sebagian besar timbulan sampah berupa sisa makanan dan sisa kemasan,”kata Sinta Saptarina.
Dia smenambahkan, secara nasional pun, sampah sisa makanan ini sangat mendominasi, mencapai 41 persen, baru kemudian samoah plastic sekitar 18,2 persen. Dan sisanya, sekitar 39 persen, berupa sampah rumah.
Bukan suatu yang berlebihan bila kemudian Sinta mengataka, andai kondisi timbulan sampah ini, tidak bisa terkelola dengan baik, maka akan berdampak luas terhadap lingkungan. Kesehatan masyarakat mungkin akan memburuk, tingginya potensi pencemaran lingkungan, dan ini dapat dipastikan bakal meningkatkan emisi karbon dari sektor sampah.
Hayu Prabowo, Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia (MUI), sangat sependapat dengan Sinta.
Bahkan dia mengingatkan bahwa berbagai kerusakan di muka bumi yang telah terjadi selama ini, kebanyakan lebih disebabkan oleh ulah manusia.
“Pendekatan gaya hidup reuse dan recycle sebagai bagian dari ekonomi sirkular mampu mencegah hal yang mubazir dan berlebih-lebihan, seperti menggunakan kembali plastik yang masih bisa dimanfaatkan. Termasuk juga mengompos sisa makanan menjadi pupuk organik,” ungkap Hayu.
“MUI sendiri, dalam perannya mengurangi dan menangani timbulan sampah ini,” kata Hayu, saat dalam kesempatan yang sama, diskusi Pojok Iklim, telah menerbitkan berbagai buku khotbah yang dapat dijadikan media dakwah, sebagai panduan mengelola lingkungan hidup menurut Islam.
Langkah lain yang dimainkan MUI, mendorong Gerakan Sedekah Sampah Indonesia atau GRADASI berbasis Masjid. “Dalam gerakan ini, masjid difungsikan sebagai pusat pembelajaran dalam pengelolaan sampah berbasis umat,”ungkapnya.
Dengan demikian nantinya, melalui pemberdayaan masjid, dengan pengelolaan sampah yang baik dan benar, diharapkan mampu memberikan nilai ekonomi yang signifikan.
Hingga kemudian dapat disalurkan menjadi santunan, dukungan pendidikan, asuransi, pembangunan masjid dan berbagai kegiatan ibadah lainnya yang bermanfaat.
Hening Parla, Koordinator Green Faith Indonesia dan Lembaga Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana Aisyiyah sekaligus Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah turut menambahkan.
Inisiatif Green Ramadan yang dikembangkan organisasinya mendorong peran perempuan muslim akan pentingnya menjaga lingkungan secara berkelanjutan dimulai dari rumah.
“Perubahan-perubahan kecil di dalam pengelolaan sampah sejak dari sumbernya ini mampu menghadirkan manfaat secara lebih besar.”
“Kami memiliki program eco takjil dan terus mengingatkan agar semua pihak dapat berkontribusi di dalam mengurangi sampah makanan di bulan Ramadan.”
“Praktik menjaga bumi ini kami yakini menjadi bagian penting di dalam ajaran Islam sebagai rahmatan lil alamin,” kata Hening. (*)