Food Estate Banyak Mudaratnya daripada Manfaatnya

Belum Mampu Akselerasi Hasil Panen

Pada kesempatan yang sama, Wahyu A. Perdana selaku juru kampanye Pantau Gambut mengungkapkan data bahwa penggunaan alokasi anggaran yang cukup besar sebanyak Rp1,5 triliun untuk proyek food estate di tahun 2021-2022, terbukti belum mampu mengakselerasi hasil panen.

Baca juga: Bukan Food Estate, Pemberdayaan Keanekaragaman Pangan Lokal Solusi Hadapi Ancaman Krisis

Hal ini terjadi akibat lahan yang ditanami sebagian besar merupakan lahan gambut yang selalu basah dan memiliki tingkat keasaman cukup tinggi, sehingga tidak cocok dengan komoditas pertanian skala besar.

Dari riset yang dilakukan Pantau Gambut, empat wilayah Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) di Kalimantan Tengah terindikasi masuk ke dalam tingkat kerentanan tinggi (high risk) Karhutla (kebakaran hutan dan lahan).

Diantaranya, 190.395 hektare pada KHG Sungai Kahayan-Sungai Sebangau yang termasuk ke dalam wilayah food estate juga berada dalam kondisi yang sama rentannya.

“Perlu dicatat bahwa hutan gambut yang dibuka untuk lumbung pangan dapat melepaskan emisi sekitar 427 ton karbon ke udara.”

“Terlebih lagi, ekosistem gambut yang rusak sangat sulit dan mahal untuk direstorasi, butuh waktu 10.000 tahun untuk pembentukannya.”

Baca juga: Bukan Food Estate, Pemberdayaan Keanekaragaman Pangan Lokal Solusi Hadapi Ancaman Krisis

“Pantau Gambut merekomendasikan agar pemerintah meninjau kembali regulasi proyek food estate dengan mempertimbangkan dampak kerusakan ekologi dan menurunnya kesejahteraan petani lokal sebagai efeknya,” terang Wahyu.

Di sisi lain, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional WALHI, Uli Arta Siagian, turut berpendapat bahwa kebijakan negara terkait proyek food estate selain kurang berpihak kepada kesejahteraan rakyat, juga membawa ancaman perubahan iklim yang lebih parah.

Pengalaman selama puluhan tahun para petani tradisional dalam bercocok tanam dan menjaga alam, telah dinegasikan dengan kebijakan food estate.

“Mengacu kepada temuan kami di lapangan, kedaulatan pangan lokal berisiko punah akibat ekspansi monokultur dan penyeragaman pangan yang dipaksakan untuk dikonsumsi dan menjadi komoditas bisnis.”

Baca juga: Pemerintah Indonesia Hanya Memberi Makan Krisis Iklim Lewat Food Estate

“Produksi secara besar-besaran lebih diutamakan dibandingkan untuk pemenuhan pangan sendiri.”

“Solusinya adalah sesuai kepada konsep WALHI, yaitu kembali pada konsep tata kuasa petani dan masyarakat, tata kelola praktik lokal, tata produksi hulu ke hilir untuk meningkatkan nilai tambah, dan tata konsumsi untuk pemenuhan kebutuhan setempat,” ungkapnya.

Sementara Ray Rangkuti, aktivis dan pengamat politik, menyesalkan proyek food estate yang selalu menjadi agenda pemerintah di setiap periode kepemimpinan presiden terpilih.

Padahal, proyek ini tidak pernah memecahkan masalah fundamental pangan di negeri ini karena lebih menitikberatkan pada bobot kepentingan sisi ekonomi dibandingkan dengan penyelesaian masalah pangan.

Baca juga: Food Estate dan Strategi Ketahanan Pangan Lokal

Menurutnya, pemerintah harus belajar dari kesalahan masa lalu dan membuat kebijakan yang lebih berhati-hati terkait proyek ini.

“Berbagai narasi saat ini terus bergulir, seperti Ibu Kota Negara (IKN), Omnibus Law, UU KPK, dan reformasi institusi kepolisian.”

“Sementara, masalah food estate bisa jadi menempati posisi paling akhir dari rangkaian isu tersebut.”

“Para akademisi dan NGO harus terus menyuarakan betapa pentingnya hal ini untuk terus didorong pada publik dan politisi, terutama sebagai agenda kampanye di tahun 2024.”

Baca juga: Food Estate dan Strategi Ketahanan Pangan Lokal

“Dengan demikian, masyarakat tidak selalu disajikan berita dari isu global, tapi juga mulai peduli pada isu-isu spesifik dan penting karena hal ini terkait dengan ancaman kesejahteraan masyarakat dan kerusakan alam yang luar biasa, karena kerugian yang
ditimbulkan dari proyek food estate jauh lebih banyak daripada keuntungannya,” pungkas Ray. (*)