Satu Dekade Terakhir Intensitas Bencana Hidrometeorologi Terus Meningkat

Korban Bencana Hidrometeorologi Terus Bertambah

Dodi Yuleova, Kepala Bidang Komunikasi Kebencanaan BNPB, mengungkapkan bahwa data BNPB empat tahun ke belakang, sepanjang 2018 hingga 2022, korban meninggal dan mengungsi akibat bencana hidrometeorologi terus bertambah, dengan kerusakan rumah dan fasilitas penduduk yang mencapai kerugian hingga Rp31,5 triliun.

Baca juga: Musdhalifah: Industri Sawit Dapat Mendukung Target Penurunan Emisi

“BNPB banyak menemukan tantangan dalam pelaksanaan tugasnya, salah satunya adalah cuaca yang mudah sekali berubah, seperti saat ini yang seharusnya sudah masuk musim kemarau tetapi beberapa daerah masih mengalami hujan dengan intensitas tinggi.”

“Kami Melakukan analisis atau kajian terhadap potensi ancaman bahaya dengan memanfaatkan data lintas kementerian atau lembaga.”

“Selanjutnya, memberikan arahan kepada BPBD tingkat kabupaten dan kota untuk upaya kesiapsiagaan setempat daan mengaktifkan Tim Reaksi Cepat (TRC) agar berkoordinasi dengan pusat, khususnya untuk daerah yang sangat rawan bencana
hidrometeorologi,” tuturnya.

Ia menyarankan agar masyarakat membentuk tim siaga desa yang bertugas untuk pemantauan dan identifikasi berbekal pengetahuan kebencanaan, seperti membuat rencana operasi, membuat peta risiko desa dan keterampilan dalam respons darurat, dan memastikan kelancaran jalinan komunikasi ke BPBD kecamatan dan desa.

Baca juga: Mendorong Keterlibatan Masyarakat Perdesaan Hasilkan Minyak Sawit Berkelanjutan

Di tingkat keluarga, rencana kesiapsiagaan dapat berupa rute evakuasi, respon evakuasi, tas siaga bencana, kontak petugas, dan lainnya.

Sementara itu, gerakan untuk adaptasi dan mitigasi dalam menghadapi krisis iklim masih mengalami banyak tantangan karena belum adanya UU Perubahan Iklim yang bisa menjadi acuan dan payung kebijakan untuk aksi yang dilakukan untuk mencapai target yang ditetapkan.

WALHI juga memandang perlu mendorong tanggung jawab pelaku usaha yang berkontribusi besar menyumbang emisi CO2 yang memicu terjadinya krisis iklim yang telah menjadi bencana bagi masyarakat dunia khususnya masyarakat yang berada di pulau kecil seperti Kepulauan Seribu di Jakarta dengan melakukan gugatan bersama perwakilan masyarakat terdampak krisis iklim di Pulau Pari, Kabupaten Kepulauan Seribu.

Gugatan iklim ini juga bagian dari upaya WALHI untuk membangun kesadaran publik tentang krisis iklim dan penting agar semua orang peduli dan ikut ambil bagian.

Baca juga: COP27: Prediksi Pemanasan Global Memburuk, Indonesia Perlu Adaptasi

“Meningkatnya kejadian bencana ekologis seperti banjir, tanah longsor, banjir bandang, abrasi pantai dan lainnya akibat kerusakan lingkungan dan krisis iklim juga perlu menjadi perhatian.”

“Pemerintah harus menghentikan proyek-proyek pembangunan dan investasi yang katanya sebagai solusi atas krisis iklim namun nyatanya semakin memperparah keadaan, salah satunya adalah proyek food estate yang memicu deforestasi dan alih fungsi lahan yang justru mengalami gagal tanam dan gagal panen karena ketidaksesuaian lahan dan komoditi yang dibudidayakan.”

“Hal ini bukannya meningkatkan upaya mitigasi dan adaptasi tapi justru berkontribusi pada pelepasan karbon dan mengganggu kestabilan lingkungan,” ucapnya.

“BNPB banyak menemukan tantangan dalam pelaksanaan tugasnya, salah satunya adalah cuaca yang mudah sekali berubah, seperti saat ini yang seharusnya sudah masuk musim kemarau tetapi beberapa daerah masih mengalami hujan dengan intensitas tinggi.”

Baca juga: Roadmap Pengurangan Sampah Indonesia

“Kami melakukan analisis atau kajian terhadap potensi ancaman bahaya dengan memanfaatkan data lintas kementerian atau lembaga.”

“Selanjutnya, memberikan arahan kepada BPBD tingkat kabupaten dan kota untuk upaya kesiapsiagaan setempat daan mengaktifkan Tim Reaksi Cepat (TRC) agar berkoordinasi dengan pusat, khususnya untuk daerah yang sangat rawan bencana
hidrometeorologi,” tambahnya.

Ia menyarankan agar masyarakat membentuk tim siaga desa yang bertugas untuk pemantauan dan identifikasi berbekal pengetahuan kebencanaan, seperti membuat rencana operasi, membuat peta risiko desa dan keterampilan dalam respons darurat, dan memastikan kelancaran jalinan komunikasi ke BPBD kecamatan dan desa.

Di tingkat keluarga, rencana kesiapsiagaan dapat berupa rute evakuasi, respon evakuasi, tas siaga bencana, kontak petugas, dan lainnya.

Baca juga: Langkah Nyata Inisiatif Ekonomi Sirkular di Indonesia

Sementara itu, gerakan untuk adaptasi dan mitigasi dalam menghadapi krisis iklim masih mengalami banyak tantangan karena belum adanya UU Perubahan Iklim yang bisa menjadi acuan dan payung kebijakan untuk aksi yang dilakukan untuk mencapai target yang ditetapkan.

WALHI juga memandang perlu mendorong tanggung jawab pelaku usaha yang berkontribusi besar menyumbang emisi CO2 yang memicu terjadinya krisis iklim yang telah menjadi bencana bagi masyarakat dunia khususnya masyarakat yang berada di pulau kecil seperti Kepulauan Seribu di Jakarta dengan melakukan gugatan bersama perwakilan masyarakat terdampak krisis iklim di Pulau Pari, Kabupaten Kepulauan Seribu.

Gugatan iklim ini juga bagian dari upaya WALHI untuk membangun kesadaran publik tentang krisis iklim dan penting agar semua orang peduli dan ikut ambil bagian.

“Meningkatnya kejadian bencana ekologis seperti banjir, tanah longsor, banjir bandang, abrasi pantai dan lainnya akibat kerusakan lingkungan dan krisis iklim juga perlu menjadi perhatian.”

Baca juga: Pasar Uni Eropa Bias dan Tidak Adil terhadap Sawit

“Pemerintah harus menghentikan proyek-proyek pembangunan dan investasi yang katanya sebagai solusi atas krisis iklim namun nyatanya semakin memperparah keadaan, salah satunya adalah proyek food estate yang memicu deforestasi dan alih fungsi lahan yang justru mengalami gagal tanam dan gagal panen karena ketidaksesuaian lahan dan komoditi yang dibudidayakan.”

“Hal ini bukannya meningkatkan upaya mitigasi dan adaptasi tapi justru berkontribusi pada pelepasan karbon dan mengganggu kestabilan lingkungan,” ucapnya.

“Program untuk mitigasi perubahan iklim seperti FoLU Net Sink dan peningkatan pencapaian NDC (Nationally Determined Contribution) yang ambisius hendaknya diselaraskan dengan kebijakan pemerintah.”

“Dengan demikian, pengalihfungsian hutan dan mangrove untuk proyek pembangunan strategis tertentu tidak kembali terjadi,” pungkas Uslaini. (*)