Mendorong Keterlibatan Masyarakat Perdesaan Hasilkan Minyak Sawit Berkelanjutan

Program Peremajaan Sawit Rakyat

Sementara diungkapkan Kepala Divisi Perusahaan BPDPKS Achmad Maulizal, pihaknya mendukung penerapan praktik sawit berkelanjutan sebab itu BPDPKS telah melakukan penyaluran dana untuk beberapa sektor diantaranya, untuk penerapan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) guna meningkatkan produktivitas kebun kelapa sawit yang dikelola masyarakat.

Kata Mauli, saat ini produktivitas perkebunan kelapa sawit rakyat baru mencapai 2 sampai 3 ton CPO per hektar setahun, sementara pengelolaan kebun sawit swasta besar telah mampu menghasilkan produktivitas sekitar 5 sampai 6 ton CPO per hektare setahun.

Baca juga: Musdhalifah: Industri Sawit Dapat Mendukung Target Penurunan Emisi

Terjadi kesenjangan produktivitas itu bisa dilakukan dengan menerapkan PSR yakni mengganti bahan tanaman dengan bibit sawit unggul dengan produktivitas tinggi.

“Apalagi lahan sawit masyarakat mencapai 41 persen dari total lahan perkebunan kelapasawit di Indonesia,” katanya.

Lebih lanjut kata Mauli, PSR menjadi sangat penting lantaran selain mengatasi masalah tingkat produktivitas di kebun sawit rakyat, juga menjadi upaya dalam meningkatkan pendapatan ekonomi petani.

“Solusi yang ditawarkan BPDPKS melalui pemberian dana pendampingan untuk peremajaan dengan memanfaatkan pungutan dari ekspor sawit,” katanya.

Baca juga: Tantangan Perkebunan Sawit Rakyat dan Rilis Buku Panduan Sawit: Perkebunan Sawit Rakyat

Secara prinsip kata Mauli, dalam penerapan PSR petani didorong untuk mengikuti program ini harus memperhatikan aspek legalitas lahan.

Mereka yang tidak, akan menerima bantuan hak, lantas mengikuti prinsip-prinsip keberlanjutan, yang meliputi lahan, konservasi, lingkungan dan kelembagaan.

Serta, untuk memastikan prinsip keberlanjutan, peserta program ini diharuskan mendapatkan sertifikasi ISPO pada panen pertama.

“Lantas, standar produktivitas untuk program replanting 10 ton tandan buah segar (TBS) per hektare setahun dengan Kerapatan Tanaman < 80 pohon per hektare,” tutur Mauli.

Baca juga: GAPKI: Tofan Mahdi: Masa Depan Industri Sawit di Tangan Generasi Muda

Rupanya petani akan menjadi sangat penting bagi pengembangan kelapa sawit kedepannya, diungkapkan Ketua Bidang Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Tofan Mahdi, dengan komposisi pengelolaan petani yang mencapai 41 persen dar total lahan kebun sawit di Indonesia petani tidak bisa lagi diabaikan begitu saja perannya dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit kedepan.

Kata Tofan, kendati saat ini masih ada beberapa tantangan yang masih dihadapi semisal tantangan regulasi, lantaran tidak semua petani bisa memenuhi regulasi yang telah ditetapkan kendati perbaikan pengelolaan kebun bisa saja dilakukan secara terus menerus.

Lebih lanjut ungkap Tofan, tantangan lainnya menyangkut praktik berkelanjutan, di mana petani mesti didorong untuk bisa menerapkan pengelolaan budi daya kelapa sawit ramah lingkungan.

Di Indonesia dorongan praktik berkelanjutan itu masuk dalam penerapan ISPO.

Baca juga: Kelapa Sawit Berkontribusi pada PDB Perkebunan Terbanyak

Regulasi ISPO sudah menjadi regulasi yang tepat dalam upaya membangun kebun sawit rakyat ramah lingkungan.

Apalagi kebijakan itu akan bersifat wajib (mandatori).

“Kita tinggal menunggu mau ke mana kemauan kita.”

“Perbaikan kelembagaan petani mesti dilakukan dan kita juga perlu terus memperbaiki tata kelola kelapa sawit berkelanjutan, kedepan industri kelapa sawit ada di tangan petani,” ungkap Tofan.

Baca juga: Outlook Price 2023, Harga Minyak Sawit bakal Melebihi Minyak Nabati Lainnya

Bagi Sekretariat Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto, penerapan kebijakan praktik kelapa sawit berkelanjutan mesti serius dilakukan semua pihak.

Bahkan, koperasi petani sawit swadaya sudah ada yang telah memiliki sertifikasi berkelanjutan baik itu ISPO maupun RSPO.

Terpenting kata dia, keseriusan seluruh stakeholder menjadi sangat penting, misalnya tatkala ada kelompok petani yang telah memperoleh sertifikasi ISPO semestinya diterima dengan baik dan hasil produksinya bisa dibeli pabrik kelapa sawit.

“Tapi masih ada pabrik membeli TBS sawit yang sudah ISPO tidak ada perbedaan dan seolah olah perusahan gak percaya sama ISPO, dan bahkan masih ada petani sawit yang telah memiliki sertifikasi ISPO tetapi menjual tandan buah segar (TBS) sawitnya ke tengkulak,” pungkas Darto. (*)