Presiden Jokowi Perlu Evaluasi Kebijakan Food Estate

Minim Evaluasi

Sementara, kebijakan subsidi pupuk di Indonesia masih minim evaluasi dan butuh perbaikan mendasar.

Kompleksitas semakin bertambah dengan tidak jelasnya definisi terkait ketahanan pangan, kedaulatan pangan, keamanan pangan dan kemandirian pangan.

Baca juga: Musdhalifah: Industri Sawit Dapat Mendukung Target Penurunan Emisi

“Mau tidak mau, kapasitas adaptasi menghadapi perubahan iklim dalam kebijakan pangan nasional harus ditingkatkan,” tutur Ica.

Lebih lanjut, Tofan mengatakan pemerintah hendaknya memaksimalkan komoditas sawit dalam percepatan pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19.

Menurutnya, konflik Rusia-Ukraina memberi dampak signifikan terhadap pasar minyak nabati global.

Akibat dari konflik tersebut, komoditas sawit dilirik sebagai salah satu produk minyak nabati global.

Baca juga: Bogor Go Green 7 Jadi Paduan Lingkungan, Ekonomi dan Sosial

Dirinya menambahkan, setidaknya 70 persen dari produksi kelapa sawit terabsorbsi untuk pasar ekspor, khusus untuk pasar kelapa sawit internasional, produksi sawit Indonesia dan Malaysia mendominasi 85 persen pasar tersebut.

Sementara, keseriusan pemerintah dalam mendorong ekspor sawit masih butuh perbaikan.

“Pemerintah sudah punya kebijakan keberlanjutan kelapa sawit, tapi kenapa kebijakan tersebut kurang gigih digunakan untuk merespon standar Uni Eropa yang sering berubah.”

“Pemerintah justru sering kali terlihat tidak berdaya menghadapi tuntutan sustainability standar,” ujar Tofan.

Baca juga: Mangrove sebagai Solusi Perubahan Iklim Nasional

Dirinya mengingatkan pemerintah untuk menyiapkan respon memadai terkait kebijakan baru Uni Eropa perihal pelarangan produk atau komoditas terkait ‘driver of deforestation’.

Kebijakan ini diprediksi akan berdampak pada ekspor kopi, sawit dan kakao.

Untuk diketahui, Uni Eropa merupakan pasar tujuan ekspor sawit Indonesia terbesar ketiga, setelah Tiongkok dan India.

Terkait tata kelola pekerja migran sektor perikanan, Benni berharap pemerintah secara serius mengakhiri dualisme pengaturan yang berada di bawah Kementerian Perhubungan dan Kementerian Tenaga Kerja.

Baca juga: Musdhalifah: Industri Sawit Dapat Mendukung Target Penurunan Emisi

Menurutnya, PP Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran justru tidak secara efektif mengakhiri problem dualisme pengaturan awak kapal.

Padahal, kata dia, pekerja migran di sektor perikanan rentan menjadi korban penyelundupan dan perdagangan orang.

“Kebijakan diplomasi Indonesia terkait pekerja migran di sektor perikanan harus selesai di sektor hulu.”

“Jadi, urusan dualisme pengaturan yang dilakukan Kemenhub dan Kemenaker harus diselesaikan dulu,” tegas Benni.

Baca juga: Tofan Mahdi: Masa Depan Industri Sawit di Tangan Generasi Muda

Selain itu, agar pasar domestik tenaga kerja sektor perikanan membaik, dirinya mengusulkan pemerintah segera meratifikasi Konvensi ILO 188 Tahun 2007.

“Ratifikasi Konvensi 188 akan mengatur standar kerja layak di kapal ikan yang akan membuat pasar nasional lebih kompetitif bagi para AKP,” pungkas Benni. (*)