Pemerintah Indonesia Hanya Memberi Makan Krisis Iklim Lewat Food Estate

TROPIS.CO, PALANGKARAYA –   Puluhan aktivis Greenpeace, LBH Palangkaraya, Save Our Borneo, dan WALHI Kalimantan Tengah, membentangkan spanduk raksasa bertuliskan “Food Estate Feeding Climate Crisis” di area proyek food estate garapan Kementerian Pertahanan di Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Aksi yang digelar bertepatan dengan pertemuan COP 27 di Sharm el-Sheikh, Mesir, ini mengirimkan pesan bahwa proyek food estate hanya memperburuk krisis iklim, alih-alih menjadi solusi atas krisis pangan.

Laporan terbaru Greenpeace berjudul “Food Estate: Menanam Kehancuran Menuai Krisis Iklim” menyoroti bagaimana salah satu Proyek Strategis Nasional pemerintah ini telah mengeksploitasi hutan dan lahan gambut yang sangat luas sehingga mengancam wilayah adat dan keanekaragaman hayati penting di Indonesia. Di seluruh wilayah yang direncanakan untuk food estate, diperkirakan sekitar 3 juta hektare hutan berpotensi hilang jika proyek ini dilanjutkan. Selain itu, proyek ini menjadi ladang bagi oligarki untuk melegitimasi kepentingan elite penguasa dalam mempertahankan kontrol negara secara tidak resmi. Dalam laporan tersebut, Greenpeace mengulas sejumlah alternatif yang mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga Indonesia tanpa merusak hutan dan merusak iklim.

“Perkebunan singkong di Gunung Mas ini hanya salah satu dari sejumlah wilayah yang dikonversi menjadi area pertanian skala besar oleh pemerintah melalui program food estate. Sistem monokultur ini tak hanya gagal menghasilkan singkong yang dijanjikan, tetapi juga meminggirkan kearifan dan pengetahuan masyarakat lokal. Ada cara yang lebih baik dengan pertanian ekologis dan agroforestri tradisional, sehingga kita mempunyai solusi untuk krisis pangan sekaligus krisis iklim,” Syahrul Fitra, Juru Kampanye Hutan Senior Greenpeace Indonesia.

Mengamini ucapan Syahrul, Direktur Save Our Borneo Muhamad Habibi mengatakan, “Masyarakat Dayak di Gunung Mas telah menggunakan lanskap ini selama ribuan tahun untuk memproduksi dan mengumpulkan makanan secara berkelanjutan. Ini juga merupakan penyimpan keanekaragaman hayati yang tak tergantikan, termasuk habitat orangutan Kalimantan. Sekarang Kementerian Pertahanan telah menerobos masuk dengan tentara, dan membuka hutan untuk program Food Estate monokultur yang membawa bencana.”

Aryo Nugroho, Direktur LBH Palangkaraya, menekankan bahwa proyek food estate ini mengabaikan hak atas lingkungan hidup yang baik, serta tidak sejalan dengan upaya pemenuhan hak atas pangan. “Kami mencatat terjadi perluasan wilayah banjir di Kalimantan Tengah dalam beberapa tahun terakhir. Pembukaan hutan untuk proyek food estate berpotensi memperluas risiko tersebut. Pemerintah harus menghentikan proyek lumbung pangan di Kalimantan Tengah, dan memulihkan kerusakan lingkungan akibat pembukaan hutan untuk garapan tersebut.”

Bayu Herinata, Direktur WALHI Kalimantan Tengah, mengatakan proyek food estate harus dihentikan, terlebih mengingat sejarah proyek serupa yang gagal, misalnya proyek lahan gambut (PLG) sejuta hektare di era Orde Baru. “Hampir semua proyek food estate di Indonesia yang bertumpu pada pembangunan skala luas dan modal besar terus mengalami kegagalan. Kerusakan hutan dan lahan gambut akan memicu kerugian sosial ekonomi yang bukan cuma memiskinkan rakyat, tapi juga menguras keuangan negara. Pemerintah harus berhenti menyuguhi rakyat dengan janji kosong pemenuhan pangan lewat food estate. Berikan hak atas tanah dan kembalikan urusan pangan kepada petani.”

Pertemuan COP 27 tahun ini adalah pertama kalinya isu pertanian dan pangan turut menjadi perhatian utama lewat Paviliun Sistem Pangan. Banjir, badai, dan kekeringan sebagai dampak krisis iklim telah membuat jutaan petani di berbagai negara mengalami gagal panen. Menghadapi ancaman krisis iklim, transformasi sistem pertanian dan pangan dunia perlu diubah segera ke arah agroekologi yang menggunakan energi terbarukan, menghilangkan ketergantungan pada bahan kimia beracun, dan pada akhirnya menjamin produksi makanan sehat. Agroekologi juga dapat meningkatkan martabat petani, menghormati pengetahuan tradisional masyarakat adat dan memulihkan kesehatan dan integritas tanah secara alami.