Strategi pengendalian perubahan iklim melalui pendekatan FOLU Net Sink hendaknya lebih focus pada implementasi pada tingkat tapak dengan menempatkan masyarakat di sekitar kawasan hutan sebagai penyusun skenario. Program investasi hutan yang dikembangkan melalui FIP dan Forclime FU Module sudah membuktikan adanya penurunan emisi, ekonomi pedesaan bergerak kencang hingga masyarakat memiliki sumber pendapatan berkesinambungan. Dalam mencapai target FOLU Net Sink, pendekatan ekonomi kesejahteraan ketimbang penurunan emisi.
Oleh : Usmandie A Andeska ( Wartawan TROPIS)
TROPIS.CO, JAKARTA – FOLU Net Sink , mungkin istilah asing bagi kebanyakan public. Istilah ini dipopulerkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sebagai salah strategi dalam pengendalian perubahan iklim, berbasiskan hutan dan penggunaan lahan lainnya. Di dalam rumusan FOLU Net Sink, telah terancang bahwa pada tahun 2030, terjadi perimbangan karbon yang keluar dan yang terserap.
Targetnya memang sangat ambius. Tercapainya tingkat emisi gas rumah kaca sebesar ‐140 juta ton CO2e, di 2030. Lalu ditingkatkan lagi hingga 304 juta CO2e, dalam masa 20 tahun kemudian. Sehingga pada saat itu, emisi bersih pada tingkat nasional, untuk semua sektor menjadi 540 juta ton CO2e atau setara dengan 1.6 ton CO2e per kapita.
Strategi pengendalian perubahan iklim melalui skema FOLU Net Sink, kini memang tengah digadang gadang, walau sebatas sosialisasi dan perencanaan implementasi di tingkat pusat dan provinsi. Nanti, bila pada tingkatan ini sudah mantap, tahapan berikutnya, baru mau”didagangkan” kepada masyarakat di pedesaan. Sebab mereka nantinya yang diharapkan menjadi actor dari scenario yang dirancang para pengambil keputusan dan kaum pakar dsan akademisi di tingkat pusat.
Ada yang bertanya, kira kira “menjual” FOLU Net Sink dengan jargon penurunan emisi dan kelestarian lingkungan, di tengah kehidupan ekonomi dan pengetahuan masyarakat pedesaan yang masih sangat terbatas, kira kira bisa laku ngaaak?
Dalam perwujudannya, memang kini sudah dirancang suatu tim kerja. Bahkan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, pun telah menerbitkan Surat Keputusan No 168/2022, tentang Indonesia’s Forestry and Other Land Use – FOLU Net Sink, untuk pengendalian perubahan iklim. Di dalam surat keputusan itu, juga dimuat Struktur Organisasi Tim FOLU Netk Sink 2030. Ada penanggungjawab, tim pengarah, tim ahli, ketua pelaksana , dan ketua pelaksana harian.
Sebagai implementatifnya, Ketua Pelaksana harian dibantu ketua bidang. Ada 5 ketua bidang – yang masing masing; Ketua bidang I, berkaitan dengan pengelolaan hutan lestari. Dan ini menyangkut Darkahutla Kawasan Hutan dan perijinan. Perhutaan Sosial, serta multi usaha dan teknik pengelolaan.
Berikutnya Ketua Bidang II, ini berkaitan dengan PCK – Peningkatan Cadangan Karbon. Di dalamnya, mencakup Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Mangrove, dan Restorasi, Replikasi ekosistem, RTH dan Ekoparian. Sedangkan Ketua Bidang III, bertanggungjawab dalam pengelolaan konservasi. Dan ini meliputi; kawasan dan peningkatan populasi spesies. HCVF dan kelola fragmentasi habitat, serta intensifikasi jasa lingkungan, Tahura dan Kebun Raya, lalu kemitraan konservasi.
Adapun Ketua bidang IV, bertanggungjawab atas pengelolaan ekosistem gambut, kemitraan masyarakat, rewetting dan sarana. Sedang Ketua Bidang V, menyangkut instrument dan informasi, sosialisasi dan komunikasi public, low enforcement,dan evaluasi kebijakan Review, Renew dan Estabilitas dan standarisdasi. Selain itu, ada juga rencana kerja sub nasional, tersebar di 12 provinsi prioritas; Aceh, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Kalimantan Tengah, Lampung, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara.
Pada 27 Oktober kemarin, para ketua bidang dan ketua kelompok kerja sub nasional ini, telah memaparkan, rencana kerja, strategi implementasi, dan target berikut sasaran yang hendak dicapai. Dalam event wokshop yag diselenggarakan di Sahid Hotel, di kawasan elite Sudirman, dan juga dihadiri langsung Menteri Siti Nurbaya, dan Wakil Menteri Alue Dohong, para ketua bidang itu juga menyampaikan perkirakan dana yang dibutuhkan.
Mengutip apa yang disampaikan para ketua bidang tersebut, dana yang dibutuhkan saatlah tidak kecil. Walau sebelumnya, sempat disebutkan untuk mewujukan terjadinya Net Sink, pada angka 140 juta ton CO2e, sekitar Rp 240 triliun, namun sangat diyakini realisasi kebutuhan akan jauh di atas angka tersebut.
Sebut saja misalnya, seperti yang disampaikan Ketua Bidang I, Pengelolaan hutan lestari (PHL), Istanto. Kata Istanto, merujuk pada buku Rencana Operasional – Renop FOLU Net Sink 2030, target luasan dan lokasi bidang PHL, mencapai 8,7 juta hektar. Tapi realitanya target yang hendak dicapai bidang PHL, mendekati 20, 4 juta hektar. Dan target ini, tersebar di deforestasi mineral seluas 1.823.630, deforestasi gambut seluas 962.461, degradasi konsesi 5.930.955 , ENR 7.095.778,dan RIL-C 4.573.363 ha.
“Memang ada selisih luas target LTS 2030, dan luas eksisting sebesar 11.670.749 ha lebih besar,”kata Istanto. Kondisi ini sengaja dirancang, agar target lokasi 2,5 kali lebih besar dari target LTS sehingga bidang PHL dapat memberikan kontribusi besar dalam tercapainya FOLU Net Sink ditahun 2030.
Hanya memang diakuinya , bahwa adanya peningkatan target 2,5 kali dari target LTS ini, membawa konsekuensi membengkaknya nilai anggaran. “Luasnya target lokasi bidang PHL berimplikasi pula pada kebutuhan dana yang diperlukan, dan khusus bidang PHL saja, mencapai 407 Trilyun rupiah,”tandasnya.
Nah, dari mana sumber dananya. Istanto menyebut, selain dialokasikan dari APBN, juga Non APBN. Seperti misalnya, melalui instrumen green sukuk dan pasar karbon domestic, transfer anggaran berbasis ekologi. Kemudian dari optimasi pendanaan di tingkat daerah melalui intrumen Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan obligasi hijau daerah. Dan juga optimasi skema Result- Based Payment untuk REDD+.
“Sementara untuk sumber swasta akan diarahkan pada instrumen investasi, hibah, obligasi hijau, pinjaman, ekuitas swasta, Corporate Social Responsibility (CSR), dan lain-lain,”katanya.
Kontribusi Kehutanan.
Pada saat ini, hingga 18 Nopember besok, memang masih berlangsung COP 27 di Sharm El_ Sheik Mesir. Sejumlah delegasi Indonesia pun, telah hadir lebih awal. Mereka merancang diplomasi tingkat tinggi, bagaimana program pengendalian perubahahan iklim yang sudah dikomitmen dunia, bisa teralisasi. Sejumlah negara maju sebagai produsen utama emisi gas rumah kaca, diminta lebih konsekuen akan komitmenya. Melaksanakan kesepakatan “paris Agreament”, terutama sebagai sumber pendanaan bagi negara berkembang dalam menurunkan emisi gas rumah kaca ini.
Bagi Indonesia sudah sangat jelas. Komitmen mengurangi emisi pada awalnya 26 persen, kemudian ditingkatkan menjadi 29 persen, dan kini dinaikan menjadi 31,89 persen, bukan sebatas komitmen kaleng kaleng. Bahkan, betapa seriusnya Pemerintah Indonesia, rela membuat kebijakan; memoratorium pengembangan perkebunan kelapa sawit. Arah kebijakan ini sangat jelas, agar mampu menekan deforestasi, walau dampaknya sangat pahit, pertumbuhan ekonomi tergerus.
Industri kelapa sawit, memang harus diakui telah memberikan kontribusi nyata dalam menggerakan pertumbuhan ekonomi nasional. Bagaimana tidak, devisa dari subsektor kelapa sawit, tak kurang dari Rp 500 triliun setiap tahun. Lebih dari sekitar 35 persen rakyat Indonesia, terlibat di dalamnya, baik langsung sebagai petani, karyawan, buruh harian, pekerja angkut maupun sebagai sopir truk angkut buah sawit dari kebun ke lokasi pabrik.
Joko Supriyatno, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Kelapa Sawit – GAPKI, pernah menyebut, tak kurang dari 60 juta rakyat Indonesia terlibat dalam pengembangan industri kelapa sawit. Dan ini belum termasuk multiplaer effect dari berkembangnya perkebunan dan industri kelapa sawit, seperti berkembangnya industri jasa rumah makan, pusat pusat keramaian, perbengkelan, transportasi, bahkan bertumbuhnya, desa menjadi kecamatan hingga kemudian menjadi kabupaten, sebagai buah pemekaran dari kabupaten induk.
Bagi industri sawit, walau pahit, tapi kebijakan ini harus diterima, demi mensuport program nasional yang lebih besar dan lebih prioritas; mengendalikan perubahan iklim agar terjadinya penurunan peningkatan emisi gas rumah kaca. Semua sangat memaklumi, dan oleh industri kelapa sawit, kebijakan ini, belakangan disadari, bahwa moratorium itu telah “memaksa” untuk lebih memacuh produktivitas melalui intensifikasi, bukan lagi pada ekspansi dengan membuka lahan baru.
Bagi pemerintah memang tidak ada pilihan lain, kecuali menempuh langkah itu agar tutupan lahan hingga mampu menyerap karbon lebih banyak terjaga. Terlebih lagi, dari target 29 persen, dan kini 31,89 persen, lebih dari setengahnya, ada di sektor kehutanan. Sektor lainnya, perannya relative kecil, bahkan sektor industri hanya kebagian 0,2 persen. Ironis memang, padahal sumber emisi terbesar ada pada industri.
Biar tahu saja, dalam dokumen Enhanced-NDC Indonesia yang kini di bawa sebagai rujukan delegasi Indonesia, dalam forum COP 27 di Sharm El – Sheik, Mesir, bahwa Indonesia telah menetapkan target pengurangan emisi GRK nasional sebesar 31,89%. Nah ini setara dengan 915 juta ton CO2, suatu target yang relative besar, bila merujuk scenario CM1 – artinya upaya tanpa bantuan pihak ketiga, dalam hal ini negara negara industri maju. Dan akan jauh lebih besar lagi, andai ada dukungan international – scenario CM2, yakni sebesar 1.240 juta ton CO2e, atau sekitar 43,20 persen, dinaikan 2,20 persen ketimbangan sebelumnya yang hanya 41 persen.
Nah, target NDC-CM1 ini akan dicapai melalui penurunan emisi GRK sebesar 17,4% pada sektor kehutanan, 12,5% pada sektor energi, 1,4% pada sektor limbah, 0,3% pada sektor pertanian, dan 0,2% pada sektor industri. Selanjutnya pada NDC-CM2, kontribusi penurunan emisi ditingkatkan menjadi 25,4% pada sektor kehutanan, 15,5% pada sektor energi, 1,5% pada sektor limbah, 0,4 pada sektor pertanian, dan 0,3% pada sektor industri.
Pendekatan FOLU Net Sink – memang salah satu skenario dalam merealisasikan komitmen tersebut. Pendekatan ini diawali dengan mitigasi pada sektor kehutanan, termasuk juga sektor penggunaan lahan lainnya. Dan misi aksi mitigasi ini, lebih difokuskan pada penurunan emisi dari kebakaran gambut, deforestasi, dan dekomposisi gambut, yang disertai peningkatan serapan karbon dari kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan dan pengelolaan hutan produksi lestari.
Berbagai aksi mitigasi ini, jelas lokusya ada di tingkat tapak. Artinya, di tingkat pedesaan hingga wilayah kategori kampong. Dengan gambaran tersebut, dapat dipastikan implementasi FOLU Net Sink, bakal melibatkan masyarakat pedesaan. Keberadaan masyarakat lokal jelas bakal menjadi kunci dari tercapainya pengendalian perubahan ikim; turunnya tingkatan emisi yang keluar, tingginya serapan emisi pada kawasan yang memiliki kerapatan tutupan lahan.
Partisipasi dan Kontribusi masyarakat.
Sungguh pengendalian perubahan iklim berbasis hutan dan penggunaan lahan lainnya, merupakan program besar yang menuntut hadirnya semua lapisan masyarakat. Terlebih masyarakat yang bermukim di pedesaan dan disekitar kawasan hutan. Sudah banyak yang mengetahui, bahwa tingkat kerusakan kawasan hutan, deforestasi, degradasi dan kerusakan hutan lainnya, lebih banyak dipengaruhi oleh aksi manusia, ketimbang factor alam.
Dan siapa manusia itu, tak lain ada masyatakat di sekitarnya, dan masyarakat jauh yang datang dalam kapasitas bisnis. Masyarakat sekitar kawasan hutan, memang terpaksa merambah hutan, karena tuntutan kehidupanya. Kawasan hutan adalah sumber pencaharian mereka dalam menghidupi keluarga. Hanya memang, luasan kerusakan relative kecil. Bila hanya dalam batasan satu kelompok atau wilayah. Namun karena sebagian besar masyarakat melakukan hal serupa di sekitar pemukimannya, maka tingkat degradasi hutan menjadi luas.
Sekadar info saja, bahwa pada saat ini diperkirakan ada sekitar 2.037 desa yang berada dalam hutan. Dan ada sekitar 19.247 desa yang berada di sekitar hutan. Nah, eksistensi mereka ini, merupakan aktor utama dalam pelestarian hutan. Sebagian besar dari mereka secara turun temurun hidup dan mengetahui secara jelas tentang bagaimana cara mengelola hutan tanpa merusak dan tanpa mengeksploitasinya.
Namun demikian, perladangan berpindah dan kesadaran masyarakat sekitar hutan terhadap pelestarian sumberdaya hutan yang rendah sering dianggap sebagai penyebab utama kerusakan hutan. Oleh karena itu, berbagai program pembangunan yang dirancang oleh pemerintah untuk memanfaatkan dan mengelola hutan harus memperhatikan kepentingan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada hutan. Dengan demikian, sulit dipungkiri sukses program FOLU Net Sink ini, ada di tangan masyarakat pedesaan, di dalam maupun di sekitar kawasan hutan.
Karakteristik masyarakat sekitar hutan menarik untuk disimak karena menggambarkan kondisi sosial demografi masyarakat yang bersentuhan langsung dengan hutan. Dengan demikian, berbagai program pembangunan yang dirancang oleh pemerintah dalam pemanfaatan dan pengelolaan hutan dapat memperhatikan kondisi dan kepentingan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada hutan.
Dalam FOLU Net Sink, keberadaan masyarakat hendaknya tidak dijadikan objek yang hanya dilibatkan sebagai “pekerja” – yang hanya untuk menjalankan strategi yang dirumuskan dalam rencana kerja masing masing bidang. Sungguh sangat menarik untuk dianalisis, karena terkait dengan kesejahteraan dan fungsi hutan bagi masyarakat sekitar.
Kajian ini ditujukan untuk menganalisis partisipasi penduduk dalam pelestarian hutan dikaitkan dengan pemanfaatan fungsi ekonomis hutan, menganalisis korelasi antara partisipasi rumah tangga dalam program kehutanan dengan tingkat kesejahteraannya. Tentu sangat tak diinginkan, program FOLU Net Sink yang menghabiskan dana yang luar biasa besar, tidak memberikan kontribusi singnifikan pada kesejahteraan masyarakat pedesaan – yang dijadikan lokus dari program pengendalian perubahan iklim ini.
Mungkin, hasil survey kehutanan yang dilakukan Badan Pusat Statistik Kehutanan, sekitar 7 tahun nan silam, atau tahun2014, dapat dijadikan rujukan dalam mengundang partisipasi masyarakat dalam menurunkan emisi gas rumah kaca, melalui pendekatan FOLU Net Sink. Kala itu, disebutkan, bahwa peluang untuk berpartisipasi dalam pelestarian hutan pada rumah tangga yang melakukan pemungutan hasil hutan atau penangkapan satwa liar 3,55 lebih besar, dibanding rumah tangga yang tidak melakukan pemungutan hasil hutan atau penangkapan satwa liar.
Sementara itu, peluang rumah tangga yang memanfaatkan hutan wisata 2,55 lebih besar dibanding rumah tangga yang tidak memanfaatkan hutan wisata. Pada rumah tangga yang menggunakan lahan, peluangnya 6,92 kali lebih besar dibanding rumah tangga yang tidak menguasai lahan kawasan hutan. Jadi sungguh sangat tepat, pendekatan terhadap masyarakat pedesaan di sekitar kawasan hutan, dalam implementasi FOLU Net Sink, bila mengikuti kearifan lokal yang hidup dan masih berkembang di tengah masyarakat.
“Modal kearifan lokal merefleksikan pengalaman dan keterampilan alami untuk memperlakukan hutan di sekitar lingkungan,” begitu salah satu intisari dari survey kehutanan itu. Walau memang di dalam survey itu disebutkan, masih ada sebagian besar masyarakat belum mengetahui tentang kearifan lokal, dan ini ada sekitar 15 persen. Namun ini dulu, itu tadi, sekitar 7 tahun nan silam. Kini tentu dengan berkembangnya media sosial, pengetahuan dan yang mengetahui terhadap kearifan lokalnya, diyakini jauh lebih baik.
Memamg harus diakui, pengetahuan tentang kearifan lokal sesungguhnya bermanfaat bagi partisipasi dalam pelestarian hutan. Fakta di lapangan menunjukkan, bahwa ada 40 persen, rumah tangga yang mengetahui keberadaan kearifan lokal. Dan mereka cenderung aktif dalam pelestarian hutan. Juga perlu dipahami, bahwa masyarakat yang tinggal di hutan merupakan salah satu kelompok miskin dan mereka memperoleh sebagian besar penghidupannya dari hutan.
Mungkin, strategi pendekatan Forest Investment Program atau FIP dan FORCLIME FU MODULE, bisa dicontoh dalam implementasi FOLU Net Sink di tingkat tapak yang berbasis masyarakat. Dalam proyek FIP, baik yang didanai oleh Bank Dunia maupun ADB,dan juga dari dana hibah Jerman, peran pendamping dan penyuluh, menjadi faktor penting dalam menumbuhkan rasa memiliki pada program tersebut. Masyarakat pedesaan bukan menjadi objek dari suatu proyek, tapi bagian dari program yang ikut menentukan, apa yang harus dibuat dan diperbuat.
Peserta program investasi kehutanan, bukan diminta menanam, melainkan diajak berbisnis. Kemampuan masyarakat dalam bertanam sudah sangat tinggi. Namun masih sangat rendah dalam penguasaan pasar. Melalui proyek FIP dan Forclime, kini mereka sudah mengenal, bahkan sudah mampu memasarkan produknya melalui online. Dan sebagian besar produknya, berupa hasil hutan bukan kayu.
Dan suatu yang perlu direspon positif, adanya penurunan emisi yang sangat signifikan di sejumlah daerah yang dijadikan model oleh Forclime. “Di sejumlah titik Demonstration Activity –DA, di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, dan Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, tingkat penurunan emisi ada yang mencapai 65 persen,”kata Ketua Team Leader Forclime FU Module, Basoeki Karjaatmadja.
Pengendalian perubahan iklim berbasiskan kesejahteraan masyarakat lokal diyakini akan sangat efektif. Karenanya, pendekatan implementasi FOLU Net Sink, seyogianya, bukan lagi pada tingkatan seminar, diskusi atau temu lapang – yang bakal menghabiskan dana hanya untuk menghasilkan suatu teori dan arah kebijakan – yang pada dasarnya kebijakan yang ada sudah sangat relevan untuk diimplementasikan di tingkat tapak.