Ditulis : Usmandie A Andeska
Selang beberapa waktu usai dilantik menjadi Kapolri, ada ucapan Jenderal Listyo Sigit kepada Wartawan Senior, Panda Nababan, bahwa dia ingin mengembalikan marwah Jenderal Hoegeng Iman Santoso ke tubuh Polri. Langkah awalnya mencetak Hoegeng Hoegeng baru yang sangat memahami peran dan tugas Polri, sejiwa dengan Jen deral Hoegeng. Kasus Ferdy Sambo, jenderal pedagang narkoba dan berbagai kasus lain yang kini terkuak dan mencoreng Polri, adalah momentum bagi Jenderal Listyo Sigit untuk merealisasikan keinginannya.
TROPIS.CO, JAKARTA – Suatu hari, lupa dan tanggalnya, saya bertemu dengan wartawan sangat senior, Panda Nababan, disalah satu hotel di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat. Bang Panda, bercerita bahwa sepekan sebelumnya mewancarai Jenderal Listyo Sigit yang beberapa sebelumnya dilantik menjadi Kapolri, menggantikan Jenderal Idham Aziz.
Bang Panda, begitu kami para wartawan saat di kampus Gondangdia Lama memanggil peraih penghargaan karya jurnalistik tertinggi Adi Negoro era tujuh puluhan ini, adalah wartawan kawakan sejak era tujuh puluhan. Sebelum bergabung dengan Bang Surya Paloh di Harian Ekonomi Prioritas, beliau adalah wartawan senior di koran Sore Sinar Harapan, dan jauh sebelumnya, sempat menjadi wartawan “Warta Harian”
Bang Panda sempat merintis majalah hukum bersama Karni Ilyas, Majalah Forum Keadilan. Dan sejak beberapa waktu lalu, Bang Panda mengelola majalah Keadilan.
Dalam rangka inilah Bang Panda bersama tim, bertemu dan Jenderal Listyo Sigit. Saat wawancara ini, terucap keinginan Jenderal Sigit untuk membangkitkan kembali marwah Hoegeng ke tubuh Polri.
” Bagi saya, sungguh ini luar biasa, bahwa ucapan seperti itu, tidak pernah diucapkan Kapolri kapolri sebelumnya,”ucap Bang Panda.
Bagi Bang Panda ini jelas angin segar. Betapa tidak, Bang Panda sangat mengenal siapa sosok Jendral Hoegeng Iman Santoso. Dia Kapolri era 1968 – 1971. Betapa dekatnya Bang Panda dengan sosok Jendral Hoegeng, diceritakanntya dalam buku “Panda Nababan Lahir sebagai petarung”. Dalam buku itu, Bang Panda menulis bahwa, Jenderal Hoegeng terkenal sebagai pejabat yang jujur dan lurus.
Jenderal Hoegeng, kelahiran Pekalongan Jawa Tengah, 14 Oktober 1921. Saat masih menjabat Kapolri, dia minta mundur oleh Presidern Soeharto, lalu ditawari menjadi Duta Besar Indonesia untuk Swedia dan Belgia. Namun Hoegeng menolak, alasan resminya, dia ingin mengabdikan hidupnya kepada bangsa dan negara di tanah air.
Dalam buku itu, Bang panda menceritakan alasan mau pencopotan Hoegeng, karena Hoegeng, berupaya menuntaskan kasus pemerkosaan yang sempat menggemparkan tanah air di era tahun 1970; kasus Sum Kuning. Sum kuning, gadis berusia 18 tahun, wanita penjual telur ayam yang nama aslinya, Sumarijem. Lantaran berkulit langsat, maka Sumarijem akrap dipanggil Sum kuning.
Karena diindikasikan kasus pemerkosaan ini melibatkan anak anak pejabat, maka oleh Presiden Soeharto, Hoegeng diminta menghentikan penyidikan kasus ini. Dan lantaran itu, Hoegeng kemudian diminta mundur. Penanganan kasus Sum Kuning, diambil alih Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Selang beberapa waktu kemudian, Hoegeng dipensiunkan.
Namun, masih cerita Bang Panda dalam buku pertama “ Menunggang Gelombang”, sebelum pensiun, Jenderal Hoegeng, tak pernah disangka dan terbayanghkan sebelumnya, sembari bersepeda berolahraga pagi, Hoegeng bertandang ke indikos Bang Panda, di Gang Tembok, Kalipasir, persis disamping Gedung Joang di Jalan Menteng Raya.
Tidak sempat bertemu. Bang Panda lagi tertidur lelap. Namun, Hoegeng menyelipkan sepucuk surat ke bawah pintu. “Tadi habis subuh , ada bapak bapak kurus bersepeda dastang menyelipkan surat ke bawah pintu,”begitu kata seorang tetangga. Sang tetangga tak tahu, bahwa yang datang adalah seorang jenderal polisi, orang nomor satu di Kepolisian RI.
Rumah Hoegeng, memang tidak terlampau jauh dari tempat indikos Bang Panda. Tepatnya di Jalan Madura – yang juga masih kawasan Menteng. “Rumahnya sangat sederhana, Meski Hogeng Kapolri, di rumahnya tidak ada pos penjaga,”ujar Bang Panda.
Masih cerita Bang Panda, bahwa beliau sempat bertanya alasan mengapa tidak ada pos penjaga, sementara Jenderal Hoegeng adalah Kapolri. Dan ini dijawab, Jenderal Hoegeng, sekembali dilantik Presiden Soeharto sebagai Kapolri, dia melihat di dekat pintu pagar rumahnya, telah dibuat pos penjaga atau waktu itu dikenal “gardu moyet”. Melihat itu, Hoegeng langsung memerintahkan anak buahnya untuk membongkar pos penjaga tersebut. “Saya tidak suka ada gardu monyet di rumahnya, karena akan membuat dirinya dengan masyarakat menjadi berjarak”.
Banyak hal yang patut dicontoh oleh anggota Polri terhadap prilaku jujur, merakyat dan melayani Hoegeng Iman Santoso yang diceirtakan Bang Panda dalam buku setebal 600 halaman itu. Bahkan, Bang Panda menyebut, bahwa pernah melihat langsung, seorang pengusaha berjas rapi, lari terbirit birit keluar dari ruang kerja Hoegeng.
“Saya waktu itu, memang akan mewancarai Hoegeng, tapi karena beliau masih ada tamu, saya menunggu dulu di ruang tamu Kapolri,”ujar Bang Panda. Namun tiba tiba, lanjutnya, saya dikejutkan suara pintu ruang kerja Kapolri dibanting keras, diikuti pengusaha berjas berdasi itu keluar, berlari, bersamaan dengan pengusaha itu, juga keluar Mayjen Polisi Katik Saroso, tergopoh gopoh.
Begitu melihat saya, Katik saroso meminta untuk tidak mewancarai Hoegeng, karena beliau sedang marah besar. Lantaran kami memang sudah punya hubungan dekat, saya tidak peduli, nyelonong, masuk ke ruang Hoegeng. Tanpa ditanya, Hoegeng langsung menceritakan, bahwa dirinya marah kepada pengusaha itu, , dia ingin menyerahkan sejumlah uang untuk kasusnya. “Dia tidak menghormati saya,” kata Hoegeng.
Dan yang membuat Hoegeng semakin marah, kata Bang Panda, lantaran sikap katik Saroso yang seolah tidak tahu bahwa Hoegeng, tidak bisa disogok atau disuap. “ Itu yang membuat saya lebuih marah lagi, Katik membawa pengusaha seperti itu, bisa masuk ke kamar kerja saya,” tutur Bang Panda, mengulang kata kata Hoegeng.
Pria yang pernah dinobatkan sebagai the man of the year 1970 ini pensiun tanpa punya rumah, kendaraan, ataupun barang mewah. Rumah dinas menjadi milik Hoegeng atas pemberian dari Mabes Polri. Sejumlah kapolda akhirnya patungan membeli mobil Kingswood, yang kemudian menjadi satu-satunya mobil yang dia miliki.
Pernah dituturkannya, setelah berhenti sebagai Kapolri dan pensiunnya masih diproses, suatu waktu dia tidak tahu apa yang bisa dimakan oleh keluarga, karena di rumah sudah kehabisan beras. Untuk kita ketahui, uang pensiunan Hoegeng hingga tahun 2001 hanya sebesar Rp 10 ribu, itu pun hanya diterima Rp 7.500,-.
Dengan latar belakang itu, ketika mendengar ucapan Jenderal Listyo Sigit ingin mengembalikan marwah Hoegeng, bagai dayung bersambut. Bang Panda pun berbunga bunga terkena tiupan angin segar. Bearti bakal ada hawa baru dalam tubuh Polri – yang memang sebelum kasus Sambo pun, memang sudah kurang cantik.
Berbagai isu tak sedap memang meradang tubuh Polri. Hanya sayang sebatas menguap, tak berlanjut. Kemudian tenggelam hingga tak terdengar lagi. Sebut saja, persoalan rekening gendut. Oknum aparat Polri menjadi backing tambang illegal, illegal loging, perjudian, tempat hiburan malam. Rekayasa kasus, salah dibenarkan yang benar dihukum.
Gambaran kondisi seperti ini, memang bukan tak diketahui oleh pimpinan Polri sebelumnya. Mereka tahu, tapi mungkin karena sudah menjadi bagian dari persoalan itu, maka berbagai tindakan pelanggaran hukum oleh penegak hukum, dianggap biasa saja. Terus berjalan, bahkan kian ganas, tak terbendung bebas dari jeratan hukum karena pemilik kuasa.
Lalu kemudian terkuak tabir, saat terjadi kasus Sambo. Ternyata ada konsorsium 303 yang dikoordinir Jenderal Ferdy sambo. Transaksinya sangat menakjubkan, mencapai Rp 155 triliun, seperti dirilis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Aliran dananya mengarah ke beberapa anggota Polri yang masih aktif.
Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 133 jiwa, memang bukan hanya sebatas “kecelakaan” dalam industri persepakbolaan nasional. Namun peristiwa itu, tak lepas dari sikap arogan sosok anggota Polri. Merasa berkuasa, mereka seakan semaunya melakukan tindakan, menyemprotkan gas air mata, hingga kemudian menimbulkan kepanikan puluhan ribu suporter Arema. Tragedi terjadi, dan sangat memiluhkan, 133 jiwa tewas terinjak injak karena ingin menyelamatkan diri dari semprotan gas air mata. Mereka gugur sebagai warga pecinta sepak bola nasional.
Kian terbukanya bobrok Polri, dan sangat memaluhkan, tertangkapnya, seorang jendral yang memperdagangkan narkoba, hasil sitaan barang bukti. Waduuuu banyak lagi prilaku oknum Polri yang kini menjadi “Pekerjaan Rumah” jendral Sigit. Termasuk juga oknum oknum polisi di daerah, Kapolsek, Kapolres berikut jajarannya – yang seakan beranggapan hukum hanya untuk masyarakat, dan bukan untuk mereka.
Jadi, bukan suatu yang sangat tidak keliru bila Kapolri Listyo berkeinginan mengembangkan kembali jiwa Jendral Hogeng, sosok polisi jujur, sederhana dan pen gayom masyarakat. Dan, mungkin, berbagai peristiwa bejat oknum Polri yang kini kian terbongkar, adalah buah dari ucapan Jendral Sigit yang disampaikan lewat Bang Panda Nababan, kemudian didengar oleh Yang Maha Kuasa, sebagai pembuka jalan.
Sehingga apa yang terjadi secara beruntun dalam tempo singkat, sebagai penguat dari keinginan Jenderal Sigit untuk menghadirkan generasi Hoegeng. Yang Maha Kuasa tampaknya mensuport keinginan itu, dengan mengawalinya, pembersihan sosok sosok yang akan menghambat lahirnya Hoegeng baru. Satu persatu dipreteli, dan ini sejatinya dijadikan penguat bagi Jenderal Sigit untuk “sapu bersih” bagi mereka yang tidak sejiwa dengan Hoegeng. Pintu sudah terbuka lebar untuk menjadikan Polri baru dengan aparatur yang benar benar pengayom bukan membinasakan masyarakat di balik kepentingan hukum.
Sangat disadari sungguh tidak mudah memang. Tapi saya sangat menyakini, di balik oknum polisi bejat berjiwa Sambo dan pedagang narkoba, masih ada polisi yang berjiwa Hoegeng. Hanya sayang, mereka ini tidak bisa muncul karena tidak ada yang melirik.
Beda dengan Sambo and the gang, mengapa mereka bisa tampil begitu cepat karena ada “pegangan” bagi penentu kebijakan. Tegasnya, proses kenaikan pangkat hingga kemudian mendapatkan kursi kekuasaan, mungkin tidak hanya di tubuh Polri, tapi juga diinstitusi yang lain, akan terasa lambat, bila hanya berpijak pada profesionalisme, tanpa membawa ada yang harus “dipegang”.
Kasus Sambo, kasus pedagang narkoba dan kasus Kanjuruhan, adalah momentum bagi Jenderal Sigit untuk membuktikan keinginan menjadikan Hoegeng baru di tubuh Polri seperti wawancara dengan Bang Panda. Selain berbersih ke dalam, perkuat pemahaman fungsi dan peran Polri pada mahasiswa yang kini masih duduk di bangku Akademi Polisi ( Akpol).
Lalu cegah suap menyuap dalam proses masuknya Akpol – yang sudah menjadi rahasia umum, bahwa untuk masuk Akpol harus “bayar” ratusan juta. Begitun juga, ketika ada masyarakat yang putra putrinya mau menjadi Polisi, harus setora uangn puluhan juta rupiah kepada oknum. Terlepas isu ini berulangkali dibantah, namun realitanya kasus seperti itu, selalu terjadi.
Harus dipertegas bahwa menjadi anggota Polri adalah pengabdian yang tidak bakal membuat kaya harta, tapi hanya akan membuat kaya teman, penuh silahturahmi dan persahabatan, didoakan banyak anggota masyarakat, agar selalu dilindungi Maha Pencipta dan Maha Kuasa. Dan diberikan rasa kenyaman hidup dunia, tanpa harus gelimang harta, tahta dan wanita.