Menteri Siti Nurbaya Strategi FOLU Net Sink Dalam forum COFO Di Roma Itali

TROPIS.CO – ROMA, Dalam panel tingkat tinggi, agenda ke 6 The Committee on Forestry atau COFO – 26, di Roma, Italia, Senin (3/10), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, memaparkan panjang, terkait program Forest On Other Land Use-FOLUNet Sink dalam pengendalian emisi gas rumah kaca.

Kata Menteri Siti dalam forum yang diselenggarakan salah satu badan PBB, Food Agrivulture Organisation – FAO , dengan FOLU Net Sink, Indonesia telah berkomitment, meningkatkan percepatan serapan emisi GRK, sebesar 140 juta CO2e, pada tahun 2030. Dan ini merupakan inisiatif Indonesia dalam mengoptimalkan fungsi hutan dan Tata Guna Lahan lainnya, termasuk juga lahan pertanian yang kurang produktif.

Menteri Siti mengakui bahwa, FOLU Net Sink akan memiliki peran besar dan sangat penting, dalam upaya pencapaian target Net Zero Emission (NZE) nasional, menjadi net emitor ke penyerap bersih GRK.

“FOLU Net Sink 2030 mencerminkan pengakuan kami terhadap peran ekosistem, air tawar, tanah dan tanah yang sehat dalam memastikan sistem pangan yang berkelanjutan serta keamanan, termasuk keamanan pangan global,”tandas Menteri Siti Nurbaya.

Tidak sebatas itu, lanjutnya, bahwa implementasi FOLU Net Sink, ini merupakan bagian integral dari respon Pemerintah Indonesia, dalam menghadapi tantangan global saat ini. Terlebih dalam kaitan isu lingkungan dan ketahanan pangan.

” Melalui FOLU Net Sink, kami ingin memastikan, bahwa upaya kami untuk memperkuat ketahanan pangan global akan berjalan seiring dengan langkah-langkah kami untuk mencapai tujuan kami terkait dengan sumber daya air, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, degradasi lahan. , pengurangan polusi, dan keanekaragaman hayati,” katanya.

Langkah strategis yang kini tengah masif dilakukan; menghentikan deforestasi dan memelihara kelestarian hutan; memulihkan lahan terdegradasi dan memperluas agroforestri; serta pemanfaatan hutan secara berkelanjutan dan membangun rantai nilai hijau.

” Nah, ketiga elemen tersebut tidak hanya menunjukkan hubungan antara hutan dan pertanian, tetapi juga antara hutan dan iklim. Seperti yang dipahami bahwa ada relevansi sosial dari bumi atau sistem pertanahan,” kata Siti lagi.

Implementasinya, melalui pendekatan yang lebih terstruktur dan sistimatis dengan melibatkan semua elemen stakeholders. Termasuk juga, masyarakat tempatan yang dilibatkan dalam program Perhutanan Sosial.

Karenanya, mengawali dari implementasi FOLU Net Sink, Pemerintah Indonesia, melakukan berbagai corrective actions yang salah satunya, bagaimana mengoptimalkan keterlibatan masyarakat tempatan dalam mengoptimalkan fungsi hutan. Dan ini merupakan salah satu dari empat strategi dalam percepatan pencapaian target FOLU Net Sink agar
agar terhindar dari deforestasi; namun meningkatnya kualitas konservasi dan pengelolaan hutan lestari; perlindungan dan restorasi lahan gambut; serta peningkatan serapan karbon (sink).

Dalam mendukung FOLU Net Sink, kata Menteri Siti, Pemerintah Indonesia telah menetapkan peraturan tentang model kehutanan multi-usaha. Model ini dinilai sangat memungkinkan, peningkatan pemanfaatan kayu, produk non-kayu, termasuk makanan, serta jasa lingkungan, tanpa harus merusak hutan.

“Peraturan ini mendukung penerapan agroforestri, silvofishery, silvopasture dan ekowisata dan penyembuhan, serta dalam skema penyerap karbon,” kata Menteri Siti lagi, sembari menambahkan, terkait konservasi hutan, FOLU Net Sink 2030, juga menerapkan program kemitraan konservasi sebagai upaya peningkatan pemberdayaan masyarakat.

Melalui kemitraan ini, masyarakat lokal mendapatkan akses ke kawasan konservasi dalam bentuk pengumpulan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), pemanfaatan sumber daya perairan tradisional, budidaya tradisional, dan berburu spesies yang tidak dilindungi.

Perhutanan Sosial.p

Kebijakan utama lainnya yang dipaparkan Menteri Siti Nurbaya dalam Forum COFO itu, terutama dalam melengkapi FOLU Net Sink 2030, adalah program perhutanan sosial.

Perhutanan sosial dikembangkan dan dirancang untuk menerapkan dasar konseptual pembangunan berkelanjutan, yang layak secara ekonomi, dapat diterima secara sosial, dan berkelanjutan secara ekologis. Dan prigram ini, difokuskan pada kawasan yang rawan deforestasi dan masyarakat yang bergantung pada hutan sebagaimana tercantum dalam Peta Indikatif Kawasan Perhutanan Sosial (PIAPS).

Program perhutanan sosial dirancang untuk mengatasi keseimbangan antara produktivitas pertanian dan kelestarian lingkungan, sehingga ini menjadi satu keterkaitan dalam meningkatkan ekonomi masyarakat pertanian dan pelestarian lingkungan, dalam mengatasi perubahan iklim.

Pada saat ini, disebut Menteri Siti Nurbaya, program perhutanan sosial telah mencakup sekitar 25.000 desa di dalam dan sekitar kawasan hutan, dari total sekitar 80.000 desa di Indonesia.

Adapun luas kawasan pengelolaan dan pemanfaatannya, telah mencapai sekitar 5 juta hektar, melibatkan sekitar 1,1juta rumah tangga. Dan mereka tergabung dalam 1600 kelompok tani hutan – yang 1300 diantaranya, menggarap tanaman pangan, seperti kopi, jagung, kakao, lada, kemiri, dan berbagai tanaman produktif lainnya; mangga, nangka dan alpukat.

“Pemerintah memfasilitasi masyarakat lokal untuk penguasaan tanah, memberikan kesempatan untuk framing yang lebih baik dan bisnis yang lebih baik, dan keterampilan manajerial, dalam kerangka menghormati ekologi dan menjaga hutan berfungsi dengan baik,” ujar Menteri Siti.