Abdul Mukarom,  Mengubah Kotoran Sapi Jadi Bio Energi

TROPIS, CO-Bisakah kotoran sapi jadi energi ramah lingkungan? Jawabannya tentu saja bisa. Hal ini sudah dibuktikan oleh sejumlah warga yang tergabung dalam kelompok tani atau pun kelompok peternakan di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.

Abdul Mukarom

Salah satunya adalah Abdul Mukarom yang juga dikenal dengan Mbah Doel. Lelaki asal  Desa Kedungdowo, Kecamatan Balen, Kabupaten Bojonegoro ini adalah seorang petani pisang. Awalnya dia melakukan  pengembangan Integrated Farming di lahan miliknya. Dia memulai aktifitasnya ini  sejak 2015 silam.
“Dari tahun 2015 dua tahun pertama khusus di peternakan baru setelah itu kita mainkan di pertanian,” ujar Mbah Doel demikian panggilan akrabnya kepada Tropis.co.
Barulah setelah itu dia mulai mengembangkan kotoran sapi jadi bio energi, dan itu sangat membantu keperluan masak memasak dirinya dan kelompoknya Griyo Rojokoyo yang fokus pada peningkatan kapasitas petani, lembaga pertanian dan masyarakat Kabupaten Bojonegoro.
Di Kedungdowo sendiri ada ratusan sapi, dan untuk satu ekor sapi  dengan bobot 300/400 kg mampu memproduksi kotoran 20/30 kg perhari.
Sekadar gambaran bahwa kapasitas kotoran ternak dengan volume 6 meter  kubik bisa untuk mengaliri gas 6 rumah. 1 Meter kubik biogas setera dengan elpiji 0,46 kg.

Griyo
SMKN 5 Migas bersama Kelompok Griyo Rojokoyo

Meski diakui juga bahwa produk Bio gasnya itu belum sampai ke rumah rumah seperti beberapa kelompok lain di desa lain seperti  Kedung Gondang di Desa Jono Kecamatan Temayang Kabupaten Bojonegoro. Kelompok di sini sudah  berhasil mengolah kotoran sapi menjadi biogas yang ramah lingkungan dan sudah dialirkan ke beberapa rumah kelompok tersebut.

Proses ini, selain mampu menghemat pengeluaran untuk biaya gas,  limbah atau ampas dari proses pembuatan biogas tersebut juga bisa dimanfaatkan untuk pupuk tanaman. Artinya dengan keberadaan   biogas ini setidaknya bisa membantu warga, khususnya para anggota kelompok dalam hal kebutuhan gas untuk memasak sekaligus ramah lingkungan.

Mengenai bagaimana awal dia mengenal sistem  pertanian terpadu, Mbah Doel mengatakan bahwa dia  melakukan studi tiru pada seorang Profesor Pertanian di wilayah Pati Jawa Tengah bersama Dinas Pertanian Bojonegoro beberapa tahun lalu. Integrated Farming yang dikembangkan Profesor ini pada peternakan Kelinci yang dikelola hingga pemanfaatan limbahnya bagi pertanian dan gas rumah tangga.

“Kemandirian pangan adalah cita-cita kita bersama,  karena lahan milik warga  rata-rata  minim,  maka kita mencoba mengelola dengan pola Integrated farming ini agar hasilnya lebih maksimal,” ujar Abdul Mukharom sembari menambahkan bahwa lokasinya sering mendapatkan kunjungan para pelajar maupun mahasiswa yang tertarik mengembangkan lahan pertanian dengan metoda yang dikembangkan oleh Griyo Rojokoyo tersebut. (tor)