Cabut DMO, DPO, dan Flush Out agar Ekspor Meningkat dan Harga TBS Petani Naik

Pastikan Pasokan Minyak Goreng

Joko mengusulkan supaya pemerintah cukup memastikan pasokan sebanyak 2,5 juta ton minyak goreng untuk masyarakat kelompok tertentu.

Namun, pemerintah jangan pula mengorbankan volume ekspor sawit yang mencapai 35 juta ton setiap tahunnya.

Menurut Joko, kebijakan DMO belum berjalan optimal saat ini karena kompleksitas dalam penerapannya sehingga volume ekspor CPO dan RBD olein belum normal yang berdampak rendahnya harga TBS petani.

Baca juga: GAPKI Apresiasi Presiden Jokowi yang Buka Kembali Ekspor CPO dan Minyak Goreng

Pasca pencabutan larangan ekspor, kinerja ekspor CPO dan RBD olein hanya 1,4 juta ton sepanjang Juni 2022.

“Sedangkan di bulan Juli, ekspor baru 1,2 juta ton memasuki minggu ketiga.”

“Akibatnya, stok nasional diperkirakan 6,7 juta ton pada Juni.”

“Padahal, stok normalnya sebesar 4 juta sampai 4,5 juta ton. Ekspor CPO dan RBD dikatakan normal jika volume ekspor bulanan telah mencapai 3 juta ton,” ujar lulusan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.

Baca juga: Ruandha Agung Ajak Masyarakat Kalbar Berkontribusi dalam Pengendalian Perubahan Iklim

Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif GIMNI, menambahkan bahwa bisnis sawit porsi untuk pasar domestik hanya 35 persen dan sisanya 65 persen diekspor.

“Jadi ada yang terganngu terhadap pasokan ekspor maka selesai semua dan ekspor itu no barrier, DMO dan DPO hapus,” tuturnya.

Untuk instrumen pengontrol harga minyak goreng, dia mengusulkan kebijakan tarif untuk menjaga suplai dalam negeri bisa terjamin.

“Terpenting masyarakat penghasilan rendah memperoleh harga minyak goreng dengan subsidi bukan BLT,” ujar Sahat.

Baca juga: Pendekatan Andil Garapan untuk Perhutanan Sosial di Jawa

Sahat mengatakan, program minyak goreng curah tidak bisa diserahkan ke pihak swasta karena ada sekitar 17.00 titik distribusi seluruh Indonesia.

“Untuk menjaga ketersediaan minyak goreng diserahkan ke pemerintah melalui Perum Bulog dan RNI, kenapa mereka tidak ditugasi mengurus distrubusinya, apalagi minyak goreeng termasuk 11 komoditas pangan strategis,” katanya.

Lantas Gulat ME Manurung, Ketua Umum DPP APKASINDO, mengungkapkan terhambatnya ekspor sawit berdampak kepada kehidupan petani di seluruh bidang mulai dari aspek sosial dan ekonomi.

Ini terbukti, pendapatan petani sawit saat ini anjlok menjadi Rp200.000 per hektare dari sebelumnya Rp2,5 juta per hektare.

Baca juga: Leni Haini, Mantan Atlet Dayung Nasional Menerima Penghargaan Kalpataru

Berdasarkan data Apkasindo per 30 Juli 2022, harga TBS di petani swadaya rerata di kisaran Rp1.448 per kilogram.

Sementara itu, harga TBS petani plasma mencapai Rp1.775 per kilogram.

“Saat ini, harga TBS petani rerata di bawah ketetapan harga rekomendasi Dinas Perkebunan Provinsi sebesar 5 persen sampai 21 persen.”

“Setelah pungutan ekspor ditunda sementara, idealnya harga TBS sudah di antara rentang Rp2.100 hingga Rp2.250 per kilogram,” kata Gulat.

Baca juga: Sekjen KLHK Bambang Hendroyono Sebut 5 Karakter Perilaku Pemimpin Transglobal

Gulat menyatakan bahwa meski pemerintah telah mencabut larangan eskpor sawit, namun karena masih diberlakukan DMO dan DPO, harga TBS petani masih sangat rendah dan sulit naik.

“Setelah larangan ekspor dicabut, harga TBS masih turun.”

“Ini karena ekspor masih terhambat kebijakan DMO, DPO, dan lain-lain.”

Oleh karena itu, kami meminta kebijakan DMO, DPO, dan flush out dihapuskan supaya industri sawit kembali normal dan harga TBS petani kembali naik,” pungkas Gulat. (*)