Cabut DMO, DPO, dan Flush Out agar Ekspor Meningkat dan Harga TBS Petani Naik

Kurangi Hambatan Ekspor

Hadir dalam diskusi ini antara lain Joko Supriyono (Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia), Sahat Sinaga (Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia), dan Dr. Gulat ME Manurung (Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia).

Baca juga: Atasi Anjoknya Harga TBS, Begini Saran Petani Sawit untuk Presiden Jokowi

Diungkapkan Eugenia Mardanugraha bahwa hambatan ekspor sawit harus dikurangi atau bahkan dihapuskan.

Lantaran regulasi dan perpajakan ekspor sawit saat ini terlalu banyak antara lain bea keluar, pungutan ekspor, DMO, DPO, persetujuan ekspor, dan flush out.

“Seluruh hambatan ekspor sebaiknya dikurangi bahkan dihapuskan.”

“Pungutan ekspor tidak diberlakukan dan bea keluar perlu disederhanakan untuk memperlancar ekspor sampai harga TBS mencapai tingkat yang sesuai harapan petani swadaya,” jelas Eugenia.

Baca juga: Begini Tantangan Peremajaan Sawit Rakyat di Tanah Air

Eugenia menyebutkan bahwa upaya meningkatkan harga tandan buah segar (TBS) sawit petani membutuhkan dukungan peningkatan ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dalam jumlah yang besar.

Merujuk hasil kajian bahwa setiap peningkatan ekspor CPO satu persen mampu mengerek harga TBS rerata 0,33 persen.

Itu sebabnya, sangat dibutuhkan banyak volume ekspor untuk mengembalikan keekonomian harga TBS petani.

“Dibutuhkan peningkatan ekspor sebesar 1.740 persen atau 17 kali lipat supaya harga TBS petani dapat meningkat dari 861 rupiah per kilogram (asumsi harga petani swadaya per 9 Juli 2022) menjadi Rp2.250 per kilogram,” urai Eugenia.

Baca juga: Demi Penuhi Kebutuhan Masyarakat, Pemerintah dan Pemangku Kepentingan Minyak Sawit Harus Bekerja Sama

Peningkatan ekspor tersebut sangat memungkinkan karena Indonesia pernah mencapai pertumbuhan ekspor CPO sebesar 211 persen.

Walaupun dibutuhkan waktu tujuh tahun, yakni pada April 2014 ekspor CPO Indonesia mencapai 1,37 juta ton menjadi 4,27 juta ton pada Agustus 2021.

“Kalau kita memulai dari harga awal TBS 1.380 rupiah per kilogram maka dengan meningkatkan ekspor 200 persen atau sekitar dua kali lipat kita bisa mencapai harga TBS yang sesuai dengan harapan petani,” ujarnya.

Akan tetapi, keinginan meningkatkan ekspor sawit terkendala biaya untuk melakukan ekspor CPO yang sangat tinggi sekarang ini.

Baca juga: Kebutuhan Pangan Meningkat, Inovasi Sawit Jadi Keharusan

Menurutnya, semakin tinggi harga CPO, semakin berat biaya yang harus ditanggung oleh eksportir CPO.

Kenaikan harga CPO seharusnya memberikan insentif bagi pelaku usaha untuk memperbesar volume ekspor. Sayangnya pemerintah menetapkan biaya yang bertingkat sesuai dengan kenaikan harga.

LPEM UI sepakat penghapusan kebijakan seperti DMO serta DPO.

Solusinya, pemerintah menjadikan pungutan ekspor dan bea keluar dapat juga dijadikan instrumen untuk mengatur volume ekspor.

Baca juga: Berkat Kinerja Apik, Indonesia PR Awards 2022 Jadi Milik Astra Agro

“Apabila suplai CPO di dalam negeri dianggap berkurang, maka pemerintah dapat meningkatkan tarif.”

“Sebaliknya apabila ekspor ingin diperbesar, maka tarif diturunkan.”

“Apabila instrumen tarif dapat berfungsi dengan baik sebagai pengendali ekspor,” ujar Eugenia.

Joko Supriyono, Ketua Umum GAPKI, sepakat hambatan ekspor sawit harus dikurangi karena Indonesia sebagai eksportir sawit terbesar di dunia idealnya menikmati surplus dan manfaat dari tingginya harga CPO di pasar dunia.

Baca juga: Sukses di Ngawi dan Mojokerto, Wilmar Bidik Kemitraan 1.000 Hektare Lahan Padi di Luar Jawa

“Saya setuju apabila ekspor sawit dikurangi hambatannya, kebijakan ekspor sawit harus dikurangi menjadi dua saja bea keluar dan pungutan ekspor,” ujarnya.

Diakui Joko, memang fokus pemerintah saat ini ekspor sawit kembali lancar dan meningkat.

Walau di sisi lain, pemerintah konsen terhadap minyak goreng, banyak spekulasi yang menyebutkan kalau ekspor dibebaskan maka minyak goreng susah lagi.

“Jadi kebijakan pemerintah harus satu paket. Idealnya ekspor berjalan maksimal dalam konteks devisa dan harga TBS.”

Baca juga: Berkat Pemanfaatan Teknologi Digital, Astra Agro Raih Indonesia Most Acclaimed Companies Award

Di sisi lain, ketersediaan minyak goreng dalam negeri mencukupi dari aspek jumlah dan harga tertentu, perlu kombinasi kebijakan yang baik,” ujarnya.