Terjatuh Dalam, Karena Licinnya Minyak Goreng

Peraturan Ekspor

Seperti diketahui, dalam upaya pemerintah menekan harga minyak goreng agar terjangkau  daya beli masyarakat,  Menteri Perdagangan telah menerbitkan  Surat Keputusan No 01/2022, 11 Januari 2022, tentang  minyak goreng kemasan  sederhana dengan pembiayaan subsidi BPDPKS untuk 6 bulan ke depan.  Kebijakan ini memang tak berlanjut lama, lantaran kapasitas minyak goreng  kemasan sederhana masih sangat terbatas, yakni hanya sekitar 32.000 liter/bulan. Kemudian Mendag menerbitkan kebijakan baru,  Permendag No  02/2022, tertanggal  18 Januari 2022.  Dan kebijakan ini mengatur; bila ada ekspor CPO, RBD Olein,  dan UCO, maka untuk mendapatkan Persetujuan Ekspor (PE) dari Kementerian Perdagangan,  harus ada DMO- Domestik Market Obligation, sebesar 20 persen.

Bersamaan dengan itu juga, diterbitkan Keputusan Mendag No 03/2022, bahwa  semua minyak goreng kemasan, apakah premium atau sederhana, harganya ditetapkan  Rp 14.000/liter. Nah, terhadap minyak goreng yang dibeli per 18 Januari, di atas harga tersebut, dijanjikan mendapat refraksi. Tentu diawali verifikasi oleh surveyor. Namun, setelah setelah sebulan jalan,  18 Januari – 18 Maret, dana refraksi disebutkan tak cair cair. Sehingga  tidak ada yang teralisasikan.

Apa yang terjadi ? penjualan minyak goreng seret. Begitu gerai dibuka, langsung diserbu masyarakat konsumen.  Disejumlah tempat penjualan, antrian panjang.  Dan ironisnya, bila ditatap satu persatu, mereka yang antri itu,  orangnya itu itu juga. Sementara yang punya outlet, hanya sebatas tahu, taka ada daya dan kemampuan  untuk mencegahnya.  Alhasil,  pasar gelap muncul seketika.

Permendag No 03/2022 dicabut. Muncul Permendag No 06/2022, 22 Januari 2022. Kebijakan tentang  penetetapan  Harga Eceran Tertinggi  (HET) Minyak Goreng , dengan maksud keterjangkauan  harga  di tingkat konsumen ini, berlaku  per 1 Februari  2022.  Dan dengan kebijakan itu, harga minyak goreng curah Rp 11.500/liter.  Kemasan sederhana Rp 13.500/liter, dan kemasan premium Rp 14.000/liter, harga ini sudah termasuk PPn.

Jalan ? juga tidak. Di lapangan,  terutama di jalur produksi, walau penetapan harga sesuai  HET, antara pabrikan dengan Gerai Market,  transaksi bisnis seakan  terjadi. Namun itu hanya  di invoice  saja.  Barang  tetap di pabrik tak sampai di gerai.  Keruan saja, minyak goreng, kosong melompong di rak rak gerai.

Apa yang terjadi ?  Perdagangan minyak goreng  di jalur distribusi berada di black market dengan harga Rp 24.700 hingga Rp 26.500/liter.  Pun halnya sama dengan minyak curah.  Hampir tidak ada transaksi fisik, hingga sampai ke pasar pasar tradisionil.  Yang  ditransaksikan oleh  pabrik dengan  distributor, hanyalah  berupa kertas DO – Deleveri Order. DO inilah yang kemudian berpindah,  dari satu tangan ke tangan yang lain, hingga kemudian kembali ke pabrikan,  dan oleh pabrikan, minyak goreng curah itu, dijual ke industri makanan dengan harga Rp 21.000/liter.

Pemerintah gagal lagi.  Kepmendag No  6/2022 dinilai tidak efektif.  Terbitkan lagi kebijakan baru,  Permendag No 08/2022,  8 Februari 2022.  Kemungkinan kebijakan ini lebih dilatarbelakangi,   tidak adanya pasokan  minyak goreng di pasar domestik,  dikarenakan dibuang ke pasar ekspor – terlebih harga  CPO di Rotterdam sudah selangit, hingga menembus US 1.500 dolar/mt, maka melalui kebijakan ini, ekspor CPO, RBO  Olien dan UCO, diatur balik.

Kebijakannya,  Persetujuan Ekspor (PE), baru bisa diterbitkan, andai produsen eksportir itu,  telah memenuhi DMO dan DPO yang ditetapkan Dirjen Perdagangan Luar negeri.  Tuntas ! juga tidak.  Kebijakan dirasakan masih ngambang, tak tegas.  Sehingga dua hari kemudian, Mendag Lutfi, menerbitkan Keputusan No 129/2022,  10 Februari 2022.  Dalam kebijakan ini dipertegas, bahwa  volume DMO yang dimaksud, sebesar 20% dari total volume  ekspor CPO dan atau RBO Olien.

Begitupun dengan DPO. Harga CPO hingga sampai kepabrik minyak goreng tidak boleh lebih  dari Rp 9.300/kg.  Adapun  RBO Olein Rp 10.300/kg.  Nah, apa lacur ada produsen mau mengikuti DPO ini, sementara  KPB Nusantara, kantor pemasaran milik BUMN Perkebunan  berlokasi di kawasan Cut Mutiah, Jakarta Pusat, pada hari itu, sudah memasang harga tender di atas Rp 15.000/kg FOB Belawan dan  Dumai.

Dengan kebijakan ini, hanya industri minyak  goreng yang terintegrasi dengan perkebunan sawitlah yang bisa mengimplementasikan. Bagi pabrik minyak goreng berskala kecil dan  tidak memiliki kebun sawit,  tidak ada pilihan kecuali menghentikan produksi, lantaran  tak mendapatkan pasokan bahan  baku.  Mungkin, hanya produsen CPO yang memiliki jiwa sosial tinggi yang mau memasok pabrik minyak goreng dengan harga CPO  Rp 9.300/kg, dan RBO Olein Rp 10.300/kg.

Protes Penahanan.

Ditahannya  Stanley MA,  Master Parulian Tumanggor,  Picare Togare Sitanggang oleh penyidik Kejaksaan Agung, sungguh mengagetkan para pebisnis minyak sawit yang sedang melakukan acara buka bersama dengan kalangan media, di salah hotel di kawasan Sudirman, Jakarta Selatan, Selasa petang.  Betapa tidak,   sebab, ketiga sosok yang dijadikan tersangka itu, mereka yang juga sangat aktif  di sejumlah  organisasi industri kelapa sawit. Baik di Gapki maupun Asosiasi Produsen  Biofuel Indonesia – APROBI, dan juga  Gabungan  Industri Minyak Nabati Indonesia – GIMNI.

Sahad Sinaga, Ketua harian Gimnio protes atas penahanan rekan rekannya yang tersandung kasusd minyak goreng,

Tak sebatas kaget, seperti yang disampaikan Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif GIMNI, disela sela acara buka puasa Gapki bersama kalangan media itu, pihaknya sudah menyampaikan protes kepada  Kementerian Perindustrian atas dijadikannya mereka sebagai tersangka dan kini ditahan oleh Kejaksaan Agung. Alasan  Sahat, protes itu disampaikan  karena produsen mendapatkan  fasilitas ekspor minyak goreng.

“Tiga kawan kami di sana (tersangka) kena kasus dan kami harus klarifikasi bahwa mereka korban dan tidak ada upaya mendekati pejabat tertentu,” tegas Sahat. Dan kegiatan ekspor minyak goreng itu, sudah berlangsung lama, dan wajar kalau terjadi komunikasi antara yang dilayani dan yang memberikan pelayanan.  “Jangan diartikan, bahwa adanya komunikasi itu sebagai suatu pemufakatan,”katanya.

Adapun chaosnya  minyak goreng diawal 2022 ini, bukan lantaran kelangkaan minyak goreng di dalam negeri dengan alasannya di ekspor.  Tapi lebih disebabkan semerautnya jalur distribusi minyak goreng  dari pabrik ke pengecer. Sebagai contoh Sahat menyebut, banyaknya supply-chains tak terdata, dan tidak mampu mengeluarkan  faktur pajak, atau  NPWP, lantaran tidak jelasnya lokasi pabrik. “Kami mencatat ada 32 unit pabrik minyak goreng yang tak jelas itu, dan mereka tidak tergabung di dalam  AIMMI – Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia, dan juga tercatat sebagai anggota  GIMNI,”ungkap Sahat lagi.

Disebutkannya, bahwa  di tanah air, kini terdata ada 75 industri minyak goreng.  Dan mereka,  6 unit diantarannya tergabung dalam AIMMI dan 37 unit ada di GIMNI. Sedang 32 unit, itu tadi, tidak jelas lokasi pabriknya, namun sebagian besar ada  di Jawa, tak tercatat sebagai anggota dari kedua asosiasi  tersebut. Karena umumnya skala mereka ini kecil, maka hampir 100 persen  orientasi pasarnya domestic, dan produknya sebagian besar berupa minyak goreng curah.

Dan sangat beda kalau industri itu berorientasi ekspor.  Skala industrinya besar dan umumnya  berlokasi di Kawasan Berikat di luar Jawa – Sumatera dan Kalimantan.  Umumnya, mereka membangun industri di sekitar wilayah kebun dan dekat dengan pelabuhan. Bentuk produknya bulking, dan tidak memiliki jaringan pemasaran, seperti distributor  minyak goreng di dalam  negeri.

Kemampuan ekspor setiap  tahun, menurut Sahat mencapai 19 juta ton, sementara domestic  hanya sekitar 6 juta ton, sebagian besar berupa curah. Sebarannya;  18 persen di kawasan  Sumaterra, 54% Jawa-Bali,  9 persen Kalimantan,  6 persen NTB-NTT, dan sekitar  3 persen  Maluku dan Papua.  Volumenya, mencapai sekitar  320.369 kiloliter setiap bulan.

Perlu juga dipahami, lanjut Sahat, bahwa tidak semua daerah di Indonesia,  terutama wilayah kepulauan, bisa dipenuhi dengan  minyak goreng curah. “Saya melihat persoalan minyak goreng ini,  lebih karena tidak siapnya pemerintah dalam menghadapi perubahan global yang sangat cepat, pemerintah panik, hingga membuat kebijakan asal asalan, termasuk subsidi, padahal pola subsidi ini sudah berulangkali dilakukan dan selalu gagal, kebijakan ini hanya mengutungkan segelintir orang,”ungkap Sahat Sinaga.