Plastik Credit diharapkan menjadi solusi efektif dalam pengurangan sampah plastik. Kendati dapat dijadikan sumber pembiayaan bagi Pemerintah daerah, namun masih diperlukan kelengkapan infrastruktur dalam implementasinya.
TROPIS.CO- JAKARTA, Sejatinya tak ada masalah luar biasa terhadap kian tingginya timbulan sampah plastik. Suatu kebijakan terkait dengan pengurangan sampah plastik oleh kalangan podusen, sudah sangat tegas dirumuskan di dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan kehutanan, No 75/2019. Kebijakan ini telah merancang roadmap atau peta jalan, hingga pada tahun 2030 mendatang, timbulan sampah plastik yang setiap tahunnya mencapai 20 juta ton, bisa berkurang minimal 30 persen pada 2030.
Target dari kebijakan ini, pun sudah sangat jelas. Mereka kalangan dunia usaha produsen sampah. Siapa saja, dan mereka itu mencakup; pelaku usaha di bidang manufaktur, jasa makanan dan minuman; dan juga perusahan ritel. Detilnya yang masuk kategori manufactur, industri makanan dan minuman; industri barang konsumsi (consumer goods); dan c industri kosmetik dan perawatan tubuh (personal care).

Lalu bidang jasa makanan dan minuman, meliputi rumah makan; kafe; restoran; jasa boga; termasuk juga perhotelan. Lalu bidang ritel mencakup Pusat Perbelanjaan; Toko Modern; dan Pasar Rakyat. Berbagai perusahaan ini dikategorikan sebagai produsen sampah yang menurut Permen 75/2019 itu, wajib melakukan Pengurangan Sampah terhadap kemasan produk atau wadah yang sulit diurai oleh proses alam. Tidak dapat didaur ulang, dan juta tidak dapat diguna ulang. Dan ini, kemasan prouknya berbahan. plastik; kaleng alumunium kaca; dan juga kertas
Dalam implementasinya sudah dirancangan tahapannya. Terhitung tahun 2020, semua produsen produsen sampah, diwajibkan untuk menyampaikan dokumen rencana dan tahapan pengurangan yang akan mereka lakukan, hingga 2020. Dan tahun kemarin, dann juga tahun ini, sejatinya sudah memasuki tahapan implementatif dengan melibatkan, salah satunya bank sampah, sebagai mitra di tingkat tapak.
Sayangnya, tahapan yang sudah dirancang baik itu, terkesan mereka abaikan. Kalangan produsen sampah seperti tidak care atau peduli. Buktinya, dari ribuan perusahaan costumer goods dan industri jasa makanan dan minuman, termasuk juga perhotelan, hingga akhir tahun kemarin, tak lebih dari 35 perusahaan yang menyampaikan dokumen rencana pengurangan sampahnya kepada Menteri LHK. “Mereka seakan tidak care,”tandas Sinta Saprina Soemarno.
Direktur Pengurangan Sampah, Ditjen Pengelolaan sampah, Limbah dan B3 ini berbicara dalam suatu webinar yang bertajuk “ Plastic Credit, gagasan baru solusi pengurangan sampah plastik, di Jakarta, Rabu, 24 Feberruari kemarin. Dan dia menyebutkan, Plastic Credit sangat mungkin menjadi salah satu solusi pengurangan sampah plastic.
Walau memang di dalam implementasinya, tentu membutuhkan eloraborasi lebih lanjut dengan mempersiapkan regulasi, standar, prosedur, kelembagaan melalui kolaborasi multipihak. Terima kasih atas partisipasi semua pihak dalam urun rembuk gagasan baru ini, semoga bisa menjadi langkah nyata yang bermanfaat bagi pemerintah dan masyarakat.
Sinta menyebut, plastik credit merupakan suatu gagasan, sebagai respon, dalam upaya mendukung pengurangan sampah oleh produsen. Hanya memang, gagasan ini perlu dikomunikasikan kepada seluruh pihak, agar menjadi referensi dalam memenuhi kewajiban, sesuai amanat dari peraturan yang berlaku. “Karenanya, dalam kaitan tersebut, gagasan plastik credit kita komunikasikan melalui suatu webinar dengan sejumlah narasumber yang berkopeten,”ujar Sinta Sabrina Soemarno lagi.
Dan mereka; Maggie Lee dari Verra, lembaga nirlaba independen internasional yang menyampaikan konsep plastic credit. Eric Chocat dari Systemiq yang berbicara peluang penerapan plastic credit oleh Pemerintah Daerah, da Karyanto Wibowo dari Danone Aqua . Karyanto Wibowo menyampaikan pengalamannya, bagaimana proses registrasi proyek plastic credit. Adapu Prof. Dr. Enri Damanhuri Guru Besar ITB dan Djoko Hendratto, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), dihadirkan sebagai penanggap.
Bagi Rosa Vivien Ratnawati, munculnya berbagai gagasan baru dari sejumlah komponen masyarakat, dalam mendukung pengurangan sampah oleh produsen, sudah sangat positif. Dan diharapkan akan semakin banyak produsen yang melaksanakan peta jalan. ” Sebagai sebuah gagasan baru saya berharap plastic credit dapat menjadi pilihan solusi pengurangan sampah plastik tidak sebatas “fantasy”, kata Rosa Vivien Ratnawati, Dirjen Pengelolaan Sampah Limbah dan B3.
Secara ringkas, plastic credit adalah kredit yang bernilai 1 ton sampah plastik yang sebelumnya belum terkumpul atau terdaur ulang, kemudian dapat dikumpulkan atau didaur ulang oleh pihak tertentu yang terdaftar dalam platform khusus. Sampah plastik yang berhasil dikumpulkan dan dicegah bocor ke lingkungan akan mendapat Waste Collection Credits (WCCs) dan sampah plastik yang berhasil didaur ulang akan mendapat Waste Recyling Credits (WRCs).
Plastic Credit yang sudah diterbitkan kemudian dijual kepada pihak industri, baik industri hulu penghasil bijih atau produk plastik maupun industri hilir pengguna plastik, sebagai bagian dari tanggung jawab mereka dalam pencegahan dan pengendalian plastic pollution. Sebaliknya, Plastic credit yang dibeli oleh pihak industri, kemudian dicairkan dananya dan diserahkan kepada pemilik Project atau pihak produsen untuk “mengganti” seluruh atau sebagian biaya investasi dan operasional pengumpulan dan/atau pendauran ulang yang sudah dilaksanakan.
“Ada beberapa tujuan dan manfaat yang dapat diperoleh dari penerapan skema plastic credit yang diantaranya, adanya standar yang kuat dalam mengumpulkan dan mendaur ulang sampah plastic,”kata Maggie Lee dari Verra.
Itu salah satunya. Namun plastik credit, menurut Manggie Lee, juga dapat membantu mencegah dan mengatasi resiko sosial yang timbul dari aktivitas pengumpulan sampah plastik, memastikan adanya pendanaan yang cukup, bagi aktivitas pengumpulan dan daur ulang sampah plastik. Dan suatu hal yang tak kalah penting, bahwa perusahaan dapat mengklaim net sirkularitas, serta pelaporan yang transparan dan dampak terverifikasi.
Bagi Pemerintah daerah, plastik credit inipun, menuru Eric Chocat Systemiq, dapat dijadikan sumber pendanaan dalam upaya pembangunan infrastruktur, dan inovasi untuk meningkatkan pengumpulan dan daur ulang sampah plastik. Selain mendorong, adanya transparansi data sampah, bagi pemerintah daerah sebagai bahan pengembangan dan implementasi kebijakan publik.
Hanya memang dalam penerapannya, lanjut Eric, plastic credit harus dikembangkan melalui program yang relevan secara lokal sehingga dapat melindungi kepentingan berbagai pihak, menghindari masalah sosial, dampak lingkungan, dan ekonomi yang tidak diinginkan, selain itu plastic credit juga berdampak pada peningkatan ekonomi dengan menciptakan lapangan kerja baru dan mendukung pengusaha lokal.
Kendati demikian, untuk keberhasilan sistem plastic credit dalam mendukung pengurangan sampah oleh produsen, masih membutuhkan banyak pembelajaran dan penyempurnaan dalam implementasinya. Pemerintah berharap sinergi dan kolaborasi berbagai pihak ini akan menghasilkan solusi yang baik dan cerdas untuk mencapai target pengurangan sampah yang mau tidak mau harus diwujudkan sebagai bagian dari menjaga keberlanjutan kehidupan.
Sebagai pelaku pelaksanaan Plastic Credit, Bapak Karyanto Wibowo berharap para Produsen menggunakan instrumen plastic credit ini melalui mekanisme complimentary terhadap kewajiban membatasi timbulan sampah produk/kemasan, mendaur ulang sampah produk/kemasan melalui penarikan kembali, dan memanfaatkan kembali sampah kemasan.