Mangrove yang Menghidupkan Desa Wonggarasi Tengah, Pohuwato.

Oleh: Swary Utami Dewi

Pagi 24 Desember 2021 matahari bersinar terang. Udara sudah terasa sangat panas meski waktu belum menunjukkan pukul delapan waktu Indonesia tengah (WITA). Di rumah seorang nelayan bernama Sadi, sudah berkumpul sekelompok orang. Laki-laki dan perempuan, tua dan muda. Mereka berasal dari Kelompok Tani (KT) Mangrove. Desa yang sedang kutapaki adalah Wonggarasi Tengah, di Kabupaten Pohuwatu, Provinsi Gorontalo. Beranggotakan 35 orang, KT Mangrove terdiri dari 20 laki-laki dan 15 perempuan. Ada anggota kelompok yang berusia milenial, ada pula yang separuh baya, bahkan cukup sepuh. Semuanya nampak kompak. Meski pada awalnya malu-malu, saat kuajak berbincang santai, mereka bisa bersikap lepas saat bertutur. Adalah seorang pemuda berusia 26 tahun bernama Tri Sidiki yang menjadi ketua kelompok. Tri sosok yang ramah dan mudah tersenyum. Dia cerdas. Pantaslah kiranya mendapat kepercayaan menjadi ketua kelompok meski berusia cukup muda.

Perbincangan pagi itu berlangsung akrab saat secara spontan anggota kelompok bergantian berbicara. Bagi masyarakat setempat, kawasan bakau, atau dalam bahasa setempat disebut ‘tangalo’, adalah denyut nadi kehidupan. Para perempuan berkisah tentang biadara (sejenis kerang dara di pesisir mangrove), biapaku (sejenis kerang berbentuk lancip lonjong memanjang), ikan goropa (kerapu), kepiting dan teripang. Semua adalah limpahan hasil laut di wilayah mangrove Desa Wonggarasi Tengah. Tanpa bakau yang subur mereka akan kehilangan mata pencaharian pesisir.

Beberapa dari mereka juga berkisah bahwa rata-rata penduduk Wonggarasi Tengah memadukan kerja sebagai nelayan dan pekebun. Dalam bahasa lokal, kebun disebut ‘ilengi’. Kondisi alam desa ini sendiri terdiri dari wilayah pesisir yang berpadu dengan daratan datar dan berbukit. Saat musim tanam tiba, mayoritas akan bertanam jagung, yang memang menjadi komoditas andalan desa ini. Jagung hasil panen akan dijemput tengkulak di desa. Masyarakat mengaku tidak perlu menjual jauh ke kota. Meski harga lebih rendah, mereka tidak perlu pergi jauh hingga 8 jam ke Kota Gorontalo untuk mengakses pasar jagung.

Terkadang masyarakat Wonggarasi Tengah juga menanam cabai (dalam bahasa setempat ‘rica’ dan jenis sayuran lainnya). Kelapa juga banyak dijumpai dan lazim ditanam masyarakat di kebun. Ini biasanya dikonsumsi sendiri untuk ketahanan pangan masyarakat desa.

Sebagian Desa Wonggarasi Tengah masuk kawasan hutan negara. Rumah di sini dibangun dengan kayu sederhana. Ala kadarnya dan tidak bertembok batu bata. Nampak kehidupan sangat sederhana mewarnai desa ini. Sederhana serta bersahaja. Meski sebagian besar asli Suku Gorontalo, ada pula yang berasal dari suku lain, seperti Bugis dan Jawa. Pembauran antar suku ini telah terjadi cukup lama. Minimal dua generasi. Mereka semua menyebut diri sebagai orang Wonggarasi.

Denyut kegiatan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Mangrove cukup terasa di desa ini. Program singkat dari Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) serta Direktorat Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan (Ditjen BPDASRH) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam bentuk pemberian insentif tanam bakau, termasuk di dalamnya ada dana harian untuk anggota kelompok melakukan kerja-kerja penanaman bakau, sangat disambut baik masyarakat. Di tingkat tapak, Badan Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung (BPDASHL) Bone Bolango mengawal implementasi bersama dengan Koordinator Lapangan dari BRGM untuk memastikan pekerjaan penanaman berjalan baik. Pesisir Wonggarasi Tengah seluas total 15 hektar telah ditanami 49.500 bibit rizhopora dengan sistem tanam rumpun berjarak. Setiap rumpun ditanami 165 bibit bakau yang dicari sendiri oleh masyarakat dari lokasi sekitar. Dengan perahu kecil mereka memuat bibit bakau lalu membawanya ke titik penanaman.

Lokasi tanam sendiri terletak di muara yang berbentuk teluk kecil sehingga relatif aman dari terjangan ombak laut. Masyarakat memilih sistem rumpun berjarak dengan memberi jarak tanam sekitar 20 meter antar rumpun bibit. Jarak tersebut dibuat agar tidak menggangu aktivitas nelayan tradisional di wilayah pesisir Desa Wonggarasi Tengah. Perahu nelayan bisa terus bergerak bebas tanpa terganggu ataupun mengganggu bibit bakau yang ditanam.

Bakau muda dan tua di pesisir desa memang terlihat masih relatif subur. Namun memang diperlukan pengayaan tanaman untuk memastikan ekosistem mangrove yang kuat yang mampu terus menyangga kehidupan masyarakat di sini. Maka keberadaan PEN Mangrove 2021 di Wonggarasi Tengah memang tepat. Selain menjaga asa masyarakat yang tertimpa pandemi dengan adanya insentif dana bibit bakau dan uang harian kerja untuk penanaman bagi anggota kelompok dan keluarga, bibit bakau ini diharapkan berfungsi ekologis karena kelak menambah barisan rimbunan bakau yang sudah ada di perairan mangrove Desa Wonggarasi Tengah. Bakau yang kokoh menjadi benteng alam dari bencana ekologis serta penjamin berlangsungnya kehidupan ekosistem mangrove bagi kehidupan subsisten maupun ekonomi masyarakat desa.

Ke depan paling tidak ada dua hal yang bisa dilakukan. PEN Mangrove lanjutan juga bisa mengakomodir penyediaan perahu yang lebih layak. Selain memudahkan pencarian bibit bakau untuk keperluan tanam dan penyulaman, keberadaan perahu bermotor yang lebih baik memudahkan gerak pemantauan pertumbuhan bibit dan penjagaan kawasan oleh masyarakat desa.

Lalu, karena kelompok masyarakat sudah terbentuk dan terlihat cukup solid, serta masyarakat memang sudah bergenerasi menggantungkan hidup pada kawasan hutan negara, Perhutanan Sosial menjadi pilihan tepat untuk dikenalkan kepada masyarakat agar bisa menjamin keamanan akses kelola masyarakat secara lebih baik.