Indonesia, Brazil dan Kongo Bangun Kerjasama Perkuat Negosiasi Pendanaan Perubahan Iklim.

PERKUAT NEGOSIASI : Indonesia, Brazil, dan Kongo, awali kerjasama trilateral negara pemilik kawasan hutan troopis terluas di dunia,. dalam upaya memperkuat negosiasi dengan negara industri maju dalam pendanaan perubahan iklim. Pertemuan awal; dilangsungklan di Sekretariat Delegasi Indonesia di arena COP 26 Glasgow, jumat (11/11)

TROPIS.CO, GLASGOW – Indonesia, Brazil dan Republik Demokratik Kongo, 3 negara pemilik kawasan hutan tropis terluas dunia, bersepakat untuk menjalin kerjasama sebagai upaya memperkuat negosiasi dalam mengatasi perubahan iklim.

Pertemuan trilateral antar ketiga negara berlangsung di Sekretariat delegasi Indonesia, di arena COP’26 Glasgow Skotlandia, Jumat (12/11).

Dalam pertemuan itu, Indonesia diwakili Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Alue Dohong. Wamen didampingi sejumlah pimpinan tinggi kementerian, antara lain; Aruanda Agung Sugardiman, Wiratno, Agus Justianto.

Sementara delegasi Brazil dipimpin Menteri Lingkungan, Mr. Yoaquim Leite, didampingi Wakil Menteri urusan Perubahan Iklim dan Urusan Internasional, Mr. Marcus Paranagua, Direktur Urusan Internasional, Mrs. Guelhemme Belli, dan Sekretaris untuk urusan Amazon dan Lingkungan, Martha Giannichi.

Delegasi Republik Demokratik Kongo dipimpin Menteri Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan, Mrs. Eve Bazaiba Masudi, didampingi Penasehat Urusan Hutan dan Gambut, Mrs. Dzibo Syllvie didampingi Koordinator Manajemen Gambut , Mr. Jean Jacques Bambuta Boole.

Pertemuan ini sebagai lanjutan dari pertemuan virtual Menteri LHK Siti Nurbaya dengan Yoaquim Leite dan Eve Bazaiba Musadi, beberapa waktu sebelum COP ’26 Glasgow. Dan kerjasama trilateral ini, inisiatif Menteri Siti Nurbaya agar negara pemilik hutan tropis memiliki daya kompetisi bernegosiasi dengan negara industri maju dalam program perubahan iklim.

POTENSI KERJASAMA : Yoaquim Leite (Brazil) Alue Dohong (RI) dan Eve Bazaiba Masudi, (Kongo), berpandangan sama, banyak potensi yang bisa dikerjasamakan.

Pada awalnya kerjasama trilateral ini dirancang hanya untuk menghadapi COP 26 perubahan iklim di Glasgow, Skotlandia. COP 26 memang sudah berlangsung sejak 2 hingga 12 Nopember di Glasgow, Skotlandia. Diikuti sekitar 200 pemimpin negara.

Namun karena masing masing negara memiliki pengalaman yang bisa saling mengisi dalam mengelola dan membangun hutan tropis, lalu kerjasama ini dinilai sangat strategis dan sinergis, maka kemungkinan kerjasama trilateral ini dipermanenkan hingga waktu tertentu.

Kerja sama ini menurut Wamen Alue Dohong, mencakup sejumlah hal, baik dalam pengelolaan hutan maupun pengalaman lainnya yang berhasil dijalankan tiga negara ini dalam upaya pengendalian perubahan iklim. “Banyak potensi kolaborasi yang bisa dilakukan Indonesia, Brazil, dan Kongo,” ujar Wamen Alue Dohong.

Karenanya disepakati, adanya pejabat perwakilan  ditugaskan membahas tindak lanjut, berkaitan  teknis dan area kerjasama potensial  yang dapat dilakukan,  baik dalam  kerangka kerjasama bilateral maupun trilateral.

Dalam pertemuan itu, Wamen Alue Dohong, mengemukakan berbagai gagasan dan pandangan, betapa pentingnya kerja sama ini.  Dan kiranya, perlu segera dilakukan identifikasi, apa saja yang dapat dikerjasamakan. “Kemudian disepakati  adanya inisitif kolaboratif, melalui pembentukan kelompok-kelompok  kerja atau Working Groups yang solid,  berdasarkan kesamaan kepentingan dan prinsip saling mengisi kebutuhan atau filling the gap,” terang Wamen Alue Dohong.

Diharapkan melalui kerja sama ini semakin memperkuat posisi 3 negara di arena negosiasi pengendalian iklim global seperti di COP 26 UNFCCC, sehingga dapat bersama-sama memperjuangkan solusi yang paling efektif dan tepat termasuk upaya-upaya untuk mendorong peningkatan pendanaan yang berbasis hasil atau Result-based Payment untuk pengurangan emisi dari pengurangan deforestasi dan degradasi hutan plus (REDD+) serta kedua, mekanisme pembayaran atas jasa ekosistem atau Payment for Ecosystem Services (PES).

Potensi Kerjasama

Ada sejumlah potensi yang bisa ditawarkan  untuk dikerjasamakan masing masing negara. Indonesia menawarkan sharing pengalaman dan keahlian terkait pengurangan deforestasi, pengendalian dan penanganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).  Dan juga pengembangan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan hutan melalui pendekatan pengelolaan hutan sosial.

Brazil yang memiliki pengalaman luas dalam pelaksanaan pembayaran jasa ekosistem (PES), pengelolaan dana iklim lewat lembaga Amazon Fund, juga kerjasama kegiatan pengelolaan praktik pertanian dan peternakan yang rendah emisi, pengelolaan sampah dan sanitasi.

Sementara Demokratik Republik Kongo, ingin banyak belajar dari Indonesia dan Brazil, sehingga meminta dukungan dan bimbingan teknis dari Indonesia dan Brazil dalam program REDD+, pengelolaan hutan secara berkelanjutan, termasuk gambut. Ketiga negara juga membicarakan terkait program keanekaragaman hayati dan bioprospeksi serta rehabilitasi dan konservasi mangrove.