Menengok PEN Mangrove di Kampung Kawipi, Yapen, Papua

Menelusuri Kampung Kawipi Yapen Papua, menanam mangrove bersama masyarakat.

TROPIS.CO, PAPUA – Wajah-wajah ramah itu menunggu di lokasi tanam bakau (dalam bahasa lokal disebut ‘lolaro’) di Kampung Kawipi, Distrik Kepulauan Ambai, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua.

Untuk menuju kampung ini, aku dan kawan-kawan naik perahu motor kecil, yang dalam istilah setempat disebut ‘johnson’. Perahu yang digerakkan mesin bermerek Johnson ini ukurannya tidak besar, berkapasitas 10-12 orang.

Pagi itu cuaca cerah, namun tidak terik. Laut nampak bersahabat. Maka dengan penuh semangat, pada 29 Oktober 2021, aku dan rombongan bergerak ke Kawipi. Dan wajah-wajah ramah penuh keceriaan sudah menungguku di lokasi tanam bakau Kampung Kawipi.

Tua muda lelaki perempuan menaiki beberapa johnson. Air saat itu sedang pasang naik ketika jam menunjukkan pukul 10 pagi WIT.

Saat disapa mereka tersenyum lebar dan beberapa di antaranya melambaikan tangan.

Johson yang kunaiki berputar membawaku melihat beberapa titik tanam bakau yang dikerjakan masyarakat. Aku juga melihat tempat persemaian bakau cadangan untuk menyulam bibit yang gagal tumbuh atau rusak karena terpaan arus.

Mangrove telah menjadi sumber penghidupan masyarakat. Di dalam ekosistem mangrove tumbuh dan berkembang ikan, udang dan kepeiting, produk perikanan bernilai ekonomi tinggi.

Di beberapa titik lokasi yang didatangi nampak bakau tumbuh baik. Pucuk-pucuk daun hijau terlihat berderet rapi, siap menjadi keluarga baru ekosistem mangrove di kampung ini. Dan ratusan warga kampunglah yang sudah bergotong royong melakukan penanaman tersebut.

Penduduk Kampung Kawipi tergabung dalam kelompok masyarakat yang mereka sebut Marawi. Tercatat 60 orang terdaftar dalam kegiatan Program Padat Karya Pemulihan Ekonomi Nasional dalam bentuk menanam di ekosistem mangrove (lazim disebut PEN Mangrove). Program PEN mangrove di Kampung Kawipi merupakan kerjasama antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Di tingkat provinsi, program ini dikawal oleh Balai Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung (BPDASHL) Memberamo.

Di lokasi tanam bakau ini aku pun berhenti. Beberapa orang mendekati dan menyapa. Khas keramahan Yapen saat kepercayaan sudah mereka rasakan dari yang berkunjung. Seorang anak muda berusia 23 tahun, Edison Waromi, mendekatiku di lokasi tanam bakau itu. Dan dimulailah perbincanganku dengan masyarakat Kampung Kawipi.

Edison baru lulus Diploma Tiga Politeknik Kesehatan Lingkungan di Timika. Ia sejak kecil terdidik dalam budaya pesisir mangrove. Meski sudah bersekolah tinggi bagi ukuran kampungnya, ia masih begitu sigap menjejak kaki di pesisir mangrove – tanpa canggung sedikit pun.

Edison hadir bersama ibunya, Adina Jowei (38 tahun). Ada pula seorang lelaki bernama Alex Imbiri. Edison, yang merupakan anak kedua dari enam bersaudara, dengan lincah berlari menjejak lumpur bakau untuk mengambil contoh bibit yang bagus dan siap tanam.  Bibit itu ditunjukkannya kepadaku. Mereka mengajarkanku cara memilih bibit propagul (dalam bahasa Arkai disebut arkamboni), serta cara menanam bibit yang benar.

Perbincangan kami juga seputar kegunaan bakau bagi masyarakat. Dari ekosistem mangrove, masyarakat mendapatkan ikan jenis tertentu, kepiting dan kerang bakau (‘bia’). Jika bakau sudah tua dan lapuk, masyarakat juga bisa mendapatkan ‘tombelo’, yakni sejenis cacing yang biasa hidup di bakau yang lapuk. Tombelo juga merupakan hasil bakau yang biasa dikonsumsi masyarakat.

Kawipi, tempat Edison lahir dan besar, memang merupakan kampung nelayan. Masyarakat Kawipi menjalankan tradisi ini turun temurun. Rumah penduduk di kampung ini berdiri di atas tiang-tiang tinggi.

Rumah penduduk terlihat rapi dan beberapa terhubung dengan jembatan yang dibangun di atas tiang pancang kayu yang ditancapkan langsung di pesisir. Di bawah rumah penduduk air terlihat jernih. Biota laut terlihat dari atas. Tepat di sepadan pantai, dibangun semacam balai desa, tempat masyarakat kampung biasa berkumpul di saat-saat tertentu, misalnya untuk menyambut tamu.

Perbincanganku dengan Edison dan beberapa penduduk terus berlangsung di lokasi tanam lolaro. Tercatat 60 orang terdaftar sebagai pelaksana program PEN Mangrove 2021 ini. Meski demikian, kenyataannya lebih banyak lagi yang terlibat. Ratusan orang.

Edison bersama ibunya, Adina Jowei (38 tahun), dan Alex Imbiri, sosok penduduk lokal yang berperan sebagai penggerak masyarakat

Menurut Adina dan Edison ada sekitar 150 orang yang terlibat. Bagi masyarakat Kawipi, bertanam bakau ini adalah pekerjaan komunitas — sarana untuk makin menguatkan gotong royong di kampung. Maka luasan total 40 hektar yang masih kosong di sela sela lokasi bakau dewasa yang telah tumbuh ditanami beramai-ramai oleh ratusan orang. Jumlah total bibit yang ditanam 120 ribu batang jenis propagul rhizophora.

“Dalam mencari bibit propagul, dan juga menanam bakau, lelaki dan perempuan sama-sama terlibat,”jelas Adina.

Puas melihat lokasi tanam bakau, aku dan kawam-kawan beranjak ke Kampung Kawipi. Jaraknya hanya berkisar ratusan meter dari lokasi tanam.

Saat selesai menjejak tangga untuk naik dari perahu motor ke halaman depan balai kampung, puluhan orang sudah menunggu. Kami disambut dengan upacara penyambutan sesuai adat marga Ambai. Ini ditujukan untuk menyambut tamu yang baru pertama kali menginjakkan kaki ke Kawipi.

Tiga piring porselen berukuran besar diletakkan di tanah, tepat di depan titian tangga terakhir. Aku menginjak piring pertama dengan kaki kanan sebanyak 3x, lalu menginjak piring ke-2 dan ke-3 masing-masing sekali. Hal yang sama juga diikuti oleh Kepala BPDASHL Memberamo. Piring antik untuk upacara tersebut merupakan pusaka marga yang diwariskan turun temurun.

Lalu kami diajak masuk ke teras kayu yang unik di rumah keluarga kepala kampung. Sesudah selesai acara pembukaan yang sangat singkat, maka ada suguhan tradisional menanti. Papeda, ikan kuah kuning, talas rebus, tumis kangkung, tumis daun pepaya dan ikan panggang. Juga ada cendol yang bahannya dari sagu lokal serta kelapa muda.

Aku merasa bahagia. Di sini aku mendapatkan pengalaman berharga, ketika komunitas begitu antusias menyambut program, mendapatkan manfaat dari PEN Mangrove dan menaruh harapan ke.depan untuk keberlanjut (Swary Utami Dewi)