HKm Seberang Bersatu Bangkit dari Pengalaman Pahit

Beralih Jadi Tambang Timah

Sebabnya, baik karena lokasi mangrove yang beralih menjadi tambang timah ataupun ekosistem mangrove yang tercemar buangan kimiawi tambang ekstraktif itu  yang kemudian merusak dan meracuni ekosistem dan biota laut.

Kerusakan ekologis juga terjadi dalam bentuk lain seperti abrasi dan intrusi air laut, terutama saat gelombang laut sedang tinggi.

Menyusul berbagai petaka ekologis, masyarakat nelayan pesisir yang mendiami Desa Juru Seberang dan sekitarnya juga merasakan hasil tangkapan biota pesisir laut yang turun drastis.

Suatu ketika antara belasan hingga puluhan tahun silam, saat 50 buah bubu diletakkan di pesisir, dalam dua jam perangkap pasti berisi penuh kepiting bakau, dengan berat berkisar 300 sampai 500 gram per ekor.

Ini dikisahkan oleh seorang tetua di desa, Usman (62 tahun). Ia menerawang mengisahkan masa kecilnya yang dipenuhi limpahan alam pesisir.

Senada dengan Usman, Marwandi nenuturkan pengalaman masa remajanya, pada usia belasan tahun, yang kerap mencari kepiting bakau bersama kawan-kawan sesama anak nelayan.

Masih teringat di benak lelaki ini betapa berlimpahnya hasil laut dari pesisir bakau yang bisa diperoleh. “Waktu itu mudah sekali mendapatkan kepiting antara 8-10 Kg per hari,” tuturnya.

Namun perlahan semua itu berganti. Pesisir lalu hanya mampu menyediakan maksimal sekitar 2-3 Kg kepiting per hari. Bahkan terkadang banyak yang pulang dengan tangan kosong.

Saat kami sedang berbincang, seorang tokoh muda anggota Kelompok Hkm Seberang Bersatu, tiba-tiba berlari membawa bubu kawat (sejenis keramba perangkat ikan atau udang) berbentuk persegi panjang.

“Ini saya letakkan di pesisir beberapa meter di bawah permukaan laut. Dan hasilnya sesudah saya angkat dua jam kemudian, hanya sembilan kepiting bakau berukuran sangat kecil yang bisa terjaring. Ini sudah lumayan. Sudah mulai ada perubahan. Beberapa tahun lalu butuh waktu lama lagi untuk mendapatkannya,” jelasnya.

Cukup lama masyarakat setempat menjalani kehidupan apa adanya hingga pada tahun 2011 ada proyek penanaman bibit bakau yang melibatkan desa tersebut.

Ini mulai membuka mata masyarakat bahwa mereka perlu melakukan perubahan dari dirinya untuk kehidupan yang lebih baik.

Pendampingan KPH

Tahun 2013 masyarakat mendapatkan pendampingan dari KPH setempat dan makin menyadarkan mereka bahwa semua petaka ini berawal dari salah kelola ekologis, yang akibat lanjutannya berdampak pada mata pencaharian masyarakat setempat.

Sang pendamping juga menginformasikan adanya peluang Perhutanan Sosial yang bisa dimanfaatkan masyrakat untuk mengelola kawasan hutan secara lebih baik.

Kemudian masyarakat memutuskan membentuk kelompok Hutan Kemasyarakatan (HKm) Seberang Bersatu.

Kata ‘Bersatu’ memberi makna berpadunya berbagai rumpon dalam satu organisasi masyarakat. Sementara ‘Seberang’ diambil dari nama desa mereka, Juru Seberang.

Tahun 2015 ijin HKm (sekarang disebut persetujuan) dikantongi dan memberi langkah maju masyarakat untuk menjadi lebih baik.

Beberapa kegiatan yang telah dilakukan di antaranya pemulihan ekosistem mangrove, kegiatan wanatani dan wanaternak, serta tentu saja sang primadona: ekowisata.

Ekowisata memang menjadi andalan Seberang Bersatu. Penguatan kapasitas kelompok menjadikan mereka mampu mengembangkan mata pencaharian, dari yang semula mayoritas nelayan pesisir menjadi mampu mengembangkan wanatani, wanaternak serta ekowisata.

Khusus ekowisata mangrove, dalam setahun minimal satu milyar diperoleh warga dari mata pencaharian unggulan ini.

Ketika pandemi menghantam dunia, dampaknya juga melanda kelompok HKm Seberang Bersatu. Penghasilan utama masyarakat dari kelola ekowisata menurun drastis karena kondisi pandemi.

Tahun 2020 pendapatan dalam setahun menjadi hanya 200 juta rupiah yang harus dibagi di antara puluhan anggota kelompok beserta keluarga.

Tentu saja ini menjadikan pemenuhan kebutuhan ekonomi menjadi terkendala.

Ketika pemerintah mengucurkan kembali Program Padat Karya Pemulihan Ekonomi Nasional Mangrove atau lebih dikenal sebagai PEN Mangrove tahun 2021, kelompok HKm Seberang Bersatu berkesempatan mengikuti program tersebut.

Mereka menanam bibit rizhopora sebanyak 66 ribu batang dengan pola intensif.

Bibit tersebut ditanam di wilayah pesisir yang terbuka yang langsung berhadapan dengan pantai. Total luasan yang ditanami adalah 20 hektar.

Beberapa anggota HKm Seberang Bersatu yang kuajak berbincang optimis jika bibit bakau yang sudah mereka tanam akan tumbuh dengan baik.

Meski tidak diwajibkan, masyarakat berkomitmen akan menjaga dan menyulam bibit tersebut jika ada yang gagal tanam agar semua bisa tumbuh dengan baik.

“Saya dulu suka menyanyi dan memainkan alat musik. Sejak orang tua saya meninggal, saya tidak bisa lagi berdendang. Tapi untuk bakau, tidak ada hati bagi saya untuk mengabaikannya. Karena bakau adalah hidup kami di sini,” tutur polos Usman begitu menyentuh.

Membuatku kembali melihat sekitar, di mana ekosistem mangrove selama ini telah menjadi sandaran hidup warga di sini. PEN mangrove 2021 kolaborasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (khususnya Direktorat Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan) serta Badan Reformasi Gambut dan Mangrove nampaknya memang mampu menumbuhkan harapan hidup dan semangat masyarakat di masa pandemi.

Swary Utami Dewi
Tim Penggerak Percepatan Perhutanan Sosial