Tiadakan Regulasi HET
Lantaran itu, Sahad mengusulkan, dengan situasi yang berfluktuasi, susah diprediksi, sebaiknya regulator meniadakan regulasi HET.
Sebab ini dikhawatirkan akan sering mengalami perubahan, sesuai perkembangan harga CPO di pasar.
Kondisi yang berubah-ubah itu, katanya lagi, akan menyebabkan distorsi di pasar migor sawit. Nah, di sisi lain, bila produsen minyak goreng tidak mengikuti HET itu, maka mereka bisa dipersulit oleh petugas atau aparat negara, dan bahkan bisa tutup kegiatan.
usahanya.Dari pantauan pasar, penjualan minyak goreng sejak Agustus lalu hingga pertengahan Oktober ini, sedikit lesu dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Peningkatan penjualan relatif kecil 2,3 persen di atas capaian volume pasar tahun 2020.
Terkait dengan lonjakan harga CPO, Sahad Sinaga menjelaskan, referensi harga minyak sawit Indonesia, adalah harga CPO CIF Rotterdam.
Referensi bukan hanya Indonesia, tapi juga umumnya negara lain, merujuk pada CIF Rotterdam sehingga bila perkembangan harga minyak nabati di Rotterdam naik maka harga lokal juga naik.
Sebaliknya, bila turun maka harga CPO di pasar domestikpun ikut turun.
Perlu diketahui, pasasr oils and fats, terkait minyak tumbuhan dan hewan, di global market itu ada 17 jenis, terbagi atas tiga kelompok.
Pertama hard oil, mencakup sawit, minyak kernel dan minyak kelapa. Lalu, sfoft oils, seperti soybean oil, rapeseed oil, canola, sun flower.
Ketiga, minyak lemak seperti fats terdiri dari minyak ikan ,minyak binatang dan lain-lain.
Kini kondisi pasar oils and fats secara global mengalami kekurangan pasokan akibat pandemi dan juga cuaca yang kurang kondusif dan ini merata hampir disemua negara produsen oils and fats.
Ini seperti yang dialami Kanada sebagai negara penghasil Canola, Argentina (penghasil soybean), juga Malaysia.
“Produksi sawit Malaysia diperkirakan turun sekitar 8 persen, akibat kekurangan tenaga kerja yang memanen buah sawit,” kata Sahad Sinaga.
Nah dalam kasus minyak sawit ini, hukum ekonomi supply and demand terjadi, pasokan oils and fats dunia sangat berkurang hingga kemudian harga melonjak.
Produksi 17 jenis oils and fats dalam dua tahun terakhir, memang mengalami penurunan yang cukup signifikan, mencapai 266 ribu ton, lebih tajam ketimbang 2019 yang hanya 236,8 ribu ton.
Tahun inipun diprediksi Sahad tidak akan banyak berubah, karena dua faktor penghambat; pandemi dan cuaca masih tetap ada hingga kuartal kedua tahun depan.
Kondisi ini akasn semakin kokoh, karena suasana kenaikan hargas sawit juga didukung harga minyak bumi atau brent oil yang sekarang, di pasar global sudah berada di level US$85,53 per barel naik hampir 100 perse ketimbang waktu sebelumnya US$43,8 per barel.
“Inilah faktor utama short supply maka harga minyak sawit di pasar global meningkat pesat sejak Januari 2021,” tutur Sahad Sinaga. (*)