TROPIS.CO, JAKARTA – Diplomasi alpukat telah mampu membangun kesepahaman pemerintah dengan masyarakat Gunung Balak. Ada indikasi perubahan mainsed di kalangan penentu kebijakan, tak lagi ngotot kawasan hutan hanya diperuntukan tanaman kayu. Dengan tanaman alpukat ekonomi masyarakat Gunung Balak sangat mapan. Dengan alpukat ekologi terjaga ekonomi masyarakat berkembang.
Mungkin pernah dengar kisah kawasan Lindung Gunung Balak, di Lampung Timur. Dalam beberapa tahun nan silam kawasan ini selalu diwarnai dengan konflik tenurial. Sejak orde baru hingga orde reformasi, konflik tak tuntas tuntas. Warga yang bermukim di dalam kawasan sejak tahun 1963, menuntut agar kawasan itu diubah fungsikan.
Mereka minta status Gunung Balak menjadi areal Penggunaan Lain – APL. Dengan status APL kawasan yang pada tahun 1965, telah dihuni sekitar 2.560 penduduk, bisa lebih leluasa dimanfaatkan masyarakat dengan status yang jelas. Memiliki surat menyurat tanah yang bisa dipertanggungjawabkan, dan ada peluang untuk “disekolahan” di bank, meminjam uang uyntuk keperluan modal atau biaya pendidikan anak anaknya.
Namun bukan hanya itu alasan konflik tenurial terjadi. Karena statusnya kawasan lindung, pemerintah berkeinginan agar kawasan gunung Balak dihijaukan kembali. Terlebih dengan keberadaan Waduk Danau Way Jepara yang konon mampu mengairi persawahan dalam kisaran 6000 hingga 7000 hektar. Sehingga keberadaan Gunung Balak harus tetap dipertahankan agar menjadi penyangga. Kawasan Gunung Balak harus tetap dipertahankan sebagai daerah tangkapan air atau water cadmen area.
Konflik ini terus berlanjut. Terutama disaat ada keinginan pemerintah mengosongkan kawasan itu melalui tindakan pengusiran. Penduduk yang bermukim di 4 Sri – Srikaton, Srimulyo, Srikaloka dan Sriwidodo itu, melakukan perlawanan. Mereka tentu tak ingin, tanaman kopi, jagung, pisang yang telah ditanam dan menjadi sumber mata pencaharian utama keluarga, diratakan dengan tanah. Terlebih rumah yang sudah mereka bangun dengan dana hasil keringat puluhan tahun, dan telah ditempati turun temurun. Suatu alasan yang kuat untuk terus mereka pertahankan kendati harus bersimpah darah.
Tapi pemerintah tidak. Kawasan seluas 22 ribu hektar lebih itu, harga mati harus dipertahankan sebagai kawasan hutan dengan status hutan lindung. Karenanya, upaya pengosongan dengan pengusiran warga terus dilakukan. Walau ada tawaran, pemerintah memberikan peluang untuk bertransmigrasi lokal.
Ada memang yang menerima tawaran ini. Namun hanya dalam jumlah warga yang tak signifikan. Kebanyakan penduduk tetap bertahan, tak mau pindah. Suasana alam yang nyaman, tanah subur dikategorikan kelas 1, sudah turun temurun, menjadi alasan utama, hingga memilih tak mau pindah.
Terakhir demo dilancarkan ribuan warga di register 38 sekitar Januari 2017. Tuntutan mereka, meminta Pemprov Lampung melalui Dinas Kehutanan memberikan kejelasan status atas tanah yang didiami dan dikelola warga sejak 1997 itu.
“Tujuan demo ini bukan untuk provokatif. Kami meminta arahan dan pembinaan dari pemerintah terkait dengan persoalan kami. Kami ingin kejelasan tanah kami, dan kami meminta tanah kami dilegalkan. Sudah 20 tahun tanah ini kami tinggali,” ujar Wayan Pase, seorang penduduk di kawasan Register 38 Gunung Balak, seperti banyak disiarkan media pers kala itu.
Kini kawasan Gunung Balak telah menjadi wilayah pemukiman yang tergolong padat dan ramai. Tak kurang dari 50 ribu warga yang menghuni 8 desa di Kecamatan Warga Sekampung, termasuk Desa Giri Mulyo. Mereka hidup dalam kondisi ekonomi yang cukup mapan dengan bertani sebagai mata pencaharian utamanya.
Sebagian besar mereka bertanam kopi, jagung, pisang, singkong dan tanaman alpukat yang mulai menghiasi pekarangan rumah mereka, sejak beberapa tahun terakhir. Dan dalam kurang satu setengah tahun terakhir, disebutkan tanaman alpukat telah memberikan kontribusi nyata dalam menggerakan ekonomi masyarakat di kawasan Gunung Balak.
Tak kurang dari Rp 7,5 miliar duit masuk ke wilayah ini. Duit sebesar ini dari hasil penjualan 300 ribu batang bibit alpukat yang dikembangkan masyarakat di dalam dan di sekitar pekarangan rumah permanen yang terkesan megah. Harga perbatang relative murah hanya Rp 25 ribu, dan karenanya permintaan terhadap bibit alpukat yang bermerek dagang “siger1”, laris manis hingga memotivasi penduduk untuk mengembangkan pembibitan alpukat di pekarang dan di lahan garapannya.
“Kini sudah tercatat ada sekitar 150 rumah yang sudah mengembangkan persemaian bibit alpukat,”kata Idi Bimantoro, Kepala Balai PDAS RH, Sei Seputih Sei Sekampung, Provinsi Lampung.
Dan apa yang dikatakan Idi, adalah fakta nyata di lapangan. Wartawan TROPIS yang mengitari wilayah kerja BPDAS RH Sei Seputih Sei Sekampung, termasuk kawasan Gunung Balak, awal pekan September kemarin, merasa terkagum melihat hampir semua rumah yang berada di lintasan utama Desa Giri Mulyo, dipenuhi dengan persemaian tanaman alpukat.
Di pekarangan bebaspun, walau dipadati dengan tanaman jagung, kopi, pisang dan singkong, namun tanaman alpukat tetap ada di dalamnya, walau tidak terlampau dominan. Sebagian besar tanaman alpukat berusia 2 hingga 3 tahun, dan tidak sedikit diantaranya, mulai berbuah dengan kondisi pohon yang tidak terlampau tinggi.
Mereka mengembangkan tanaman itu, tak lagi dibayangi rasa takut diusir dan digusur. Kendati kawasan Giri Mulyo dan beberapa desa lainnya, masih berstatus kawasan hutan lindung. “ Sudah ada kesepakatan kami dengan pemerintah, dalam hal ini BPDAS RH, bahwa dalam hal areal kawasan hutan yang sudah dihuni warga secara turun temurun, tidak harus dimiliki asalkan dapat dimanfaatkan,”kata Anto Abdul Muntholib,”Ketua Kelompok Tani Hutan, Argomulyo Lestari, Desa Girimulyo.
Karena itu, merekapun tak lagi berpikir minta agar status fungsi lindung dari kawasan pemukimannya diubah menjadi Areal Penggunaan lain – APL agar apa yang mereka lakukan di kawasan itu menjadi legal. Mereka kini lebih focus dan konsentrasi, bagaimana memanfaatkan kawasan itu seoptimal mungkin, agar memberikan kontribusi nyata dalam menggerakan ekonomi masyarakat dengan mengembangkan tanaman alpukat.
Tanaman alpukat telah menjadi media diplomasi antara pemerintah dengan masyarakat Gunung Balak, dalam hal menanggulangi konflik tenurial. Melalui tanaman alpukat, kedua belah pihak sudah saling memahami kepentingan masing masing. Pemerintah tak lagi ngotot, bahwa kawasan Gunung Balak harus dikosongkan dan direboisasi dengan tanaman hutan dari jenis kayu kayuan.
Namun lebih melihat manfaat kawasan itu bagi kepentingan ekonomi masyarakat dengan tidak mengabaikan fungsi ekologi. Dengan pendekatan ekologi dan ekonomi, bahwa kawasan Gunung Balak dapat dimanfaatkan dengan mengembangkan tanaman produktif yang berfungsi lindung. Dan karena alpukat sudah berkembang di tengah masyarakat Girimulyo, maka pilihan tanaman produktif adalah alpukat.
Bukan hanya itu saja alasannya. Idi Bimantoro menilai alpukat Gunung Balak, memiliki kekhasan tersendiri. Sangat beda dengan jenis alpukat lainnya, buahnya cenderung bulat dan tidak terlampau besar. Tapi alpukat Gunung Balak yang belakangan dikenal dengan “Alpukat Siger 1”, bentuknya panjang memiliki kuntur buah yang cukup menarik, hingga memiliki daya pikat saat dipajang untuk dijual.
“Beratnya ada yang sampai 0,7 kg perbiji,”kata Idi Bimantoro. Dan dalam panen tahun pertama, untuk sebatang bisa memproduksi buah dalam kisaran 40 hingga 100 kg. Pada panen kedua, bisa mencapai 200 kg. “Bahkan, ada potensi hingga mencapai 1,2 ton perbatang, memasuki panen tahun ke 10,”ujarnya.
Karena proses rekonsialisasi pemerintah, dalam hal BPDAS-RH Se Seputih Sei Sekampung, dengan masyarakat Gunung Balak menggunakan “ bahasa alpukat”, maka di kalangan masyarakat berkembang istilah “PSK, tidak dimiliki tapi bisa dinikmati”. Maksud dari istilah ini, “Pukat – mereka menyebut alpukat itu pukat, Solusi Konflik”. Kawasan hutan lindung tidak harus dimiliki tapi bisa dimanfaatkan. (Usmandie A Andeska)