Bangkitnya Naluri Bisnis Warga Transmigrasi Pensiunan Tentara Divisi Siliwangi Tribudi Syukur Lampung Barat

Engkos Kososasi, Ketua Hkm BinaWana Pakon ( desa) Tribudio Syukur, sosok penggerak yang mampu mengembangkan ekonomi desa dengan produk Hasil Hutan bukan kayu, hingga desanya terbebas dari ijon dan rentenir.

TROPIS.CO, LAMPUNG –  Dengan mengembangkan hasil hutan bukan kayu masyarakat transmigrasi Tribudi Syukur, kini kehidupan ekonomi warganya sangat mapan. Selain berpendapatan dari tanaman kopi, pisang, mereka juga mendapatkan sisa hasil usaha dari kegiatan kelompok. Omzet usaha kelompok wanita Tani Melati, salah satu kelompok penggerak masyarakat, mencapai Rp3 miliar lebih per tahun sehingga mampu memberikan SHU sedikitnya Rp900 ribu peranggota per tahun.

Non jauh di sana, di kawasan  hutan Register 31, Lampung Barat. Tepatnya di Desa Trybudi Syukur, Kebon Tebu, sekitar 400 km dari Kota Bandar Lampung. Kelompok usaha kaum gender ini berkontribusi nyata dalam menggerakan ekonomi masyarakat di Lampung Barat.  Setidaknya di wilayah  transmigrasi program Biro Rekontruksi Nasional (BRN), asal Jawa Barat, tahun 1951.

Tersebutlah nama Kelompok Wanita Tani – Kwt Melati. Diketuai seorang wanita baya, bernama  Yaya Suryani, seorang putri warga transmigrasi. Beranggotakan  63 orang yang semuanya ibu rumah tangga,berdomisili di Pekon (desa) Tribudi Syukur, Kebun Tebu.

KWT Melati terbentuk sejak 1993 atau sekitar 38 tahun nan silam. Dan Yaya Suryani, adalah sosok ketua yang mampu memberikan warna, dalam 30 tahun usia kepemimpinannya. Dalam era inilah, KWT Melati berkembang pesat. Sehingga dalam beberapa tahun terakhir, mampu meraih omset hingga Rp3 miliar pertahun.

 

Kopi robusta salah satu produk unggulan yang memberikan kontrbusi nyata dalam mengegrakan pertumbuhan ekonomi masyarakat Desa Trbudi Syukur, selaion produk pisang selai, keripiksingkong, 62%ekoomi Tribudi Syukur didigerakan produk HHBK.

Sungguh omset yang sangat besar. Betapa tidak, suatu kelompok usaha  ibu ibu rumah tangga, di pelosok kampong nan jauh dari keramaian pusat kota Bandar Lampung.  Namun mampu berkiprah nyata, hanya dengan mengolah dan memasarkan biji kopi, pisang, singkong, menjadi produksi konsumsi yang bernilai ekonomi dan disenangi masyarakat.

Dan dari omset sebesar itu, KWT Melati mampu membagi hasil usaha kepada para anggotanya, mendekati Rp 1 juta setiap tahun, dan membayar  upah  sejumlah karyawannya,  rata rata  Rp 9 juta perbulan, dari hasil usaha sekitar Rp 300 juta. Lainnya, disisakan sebagai dana kelompok.  Lalu, untuk keperluan sosial, termasuk keperluan membiayai  warga dan anggotanya yang terkena musibah.

“Kami sisihkan sekityar 3% sebagai dana sosial, dan dari dana sosial ini, kami membiayai warga sakit berobat, juga membantu anak yatim, masyarakat yang kurang mampu, termasuk orang jompo yang ada di sekitar Tribudi Syukur,”tambahnya.

Dan untuk mengkoordinir aktivitas anggotanya,  KWT memiliki kantor kegiatan yang dilengkapi toko serba ada, perangkat pengolahan biji kopi hingga menjadi bubuk kopi dalam kemasan yang siap menembus pasar. Dengan perangkat pengolahan kopi yang dibuat sendiri, KWT Melatih memproses biji kopi menjadi  kopi bubuk yang sudah dikemas.

“Kita juga menerima jasa pengolahan biji kopi yang langsung diantar masyarakat, terhadap mereka disyaratkan untuk pengolahan 1 kg biji kopi, maka akan menerima 6 ons kopi pupuk, dan tambahanan uang Rp 8000/kg sebagai uang tambahan untuk pekerja,” kata Yaya Suryani lagi.

Tanam kopi robusta dalam kawassan hutan yang dikelola HKm Bina Wana

Hebatnya lagi,  kelompok wanita tani ini,  semua anggotanya aktif dan berkontribusi nyata. Sehingga tak heran, bila kemudian, Pemda Lampung Barat melalui Dinas Perindustrian, pada tahun anggaran 2020 silam, telah mengalokasikan anggaran sekitar Rp 1,2 miliar untuk menopang  kegiatan pergerakan ekonomi masyarakat di Pekon Tribudi Syukur, dengan membangun industri pengolahan pisang selai.

“Biaya pembangunan gedung dan perangkat  pengolahannya, kami dibantu Pemda Lampung Barat, namun untuk lahannya, seluas 800 m, kelompok membeli sendiri seharga  Rp 110 juta,” kata Yaya Suryani lagi.

Kini bangunan tersebut hampir selesai. Diharapkan  tahun depan sudah beroperasi mengolah pisang  hasil tani yang dikembangkan  kelompok Hutan Kemasyarakat atau HKm Bina  Wana. Dan  HKm Bina Wana yang mengelola kawasan hutan Register 31, adalah binaan  Balai Pengendalian DAS  Rehabilitasi  Hutan, Sei Seputih Se Sekapung, Lampung.

“ Ya…kami  dari HKm Bina Wana memproduksi bahan bakunya, berupa kopi, singkong dan pisang, termasuk juga aren dan lada, lalu KWT Melati yang memproses dan memasarkan hasilnya,” jelas Engkos Kosasi, Ketua Hkm Bina  Wana.

Dengan kegiatan ini, diakui  Engkos Kosasi, ekonomi masyarakat berkembang pesat.  Sehingga tak kurang  dari 62%, produk  HKm telah berkontribusi nyata dalam menggerakan ekonomi wilayah dan masyarakat di Kecamatan Kebon Tebu, Lampung Barat.  Sehingga tak usah heran pula, bila Engkos Kosasi  menyebut, bahwa system ijon tak mampu berkembang di Tribudi Syukur.

Mengapa demikian, karena semua aktivitas ekonomi masyarakat berjalan baik. Kebutuhan anggota, mulai  dari sarana produksi pertanian, pupuk, obat pembasmi hama, bibit dan benih, hingga biaya berobat warga, bila ada yang sakit,  ditanggulangi kelompok. “Nah, nanti dana tersebut, bisa diperhitungkan saat pembagian  Sisa Hasil Usaha,”jelas Kosasi.

Omset usaha HKm Bina Wana di kawasan hutan Bukit Regis ini, cukup tinggi setiap tahunnya. Dan hasil usahanyam, menurut Engkos Kosasi, tak kurang dari Rp 150 juta pertahun.  Dan ini bersumber dari kegiatan pengembangan tanaman kopi, lada, kemiri, durian, coklat, dan pinang. Hasil kegiatan di Hkm ini, diolah dan diproses  oleh Kelompok Tani Wanita Melati.

Lantaran itu, tak usah heran bila bertandang ke Tekon Tribudi Syukur,  pasti terkesimak kagum. Rumah permanen, di halaman depannya tampak hamparan biji kopi yang tengah dijemur.  Lalu disekelilingi rumah, dihiasi banyak tanaman kopi, pisang dan beraneka tanaman lainnya.  Termasuk singkong, lada dan pinang. Sepintas, memang tidak mencerminkan adanya masyarakat miskin.

Bercerita tentang historis Hkm Bina Wana, Engkos Kosasi yang didampingi sejumlah pengurus HKm Bina Wana lainnya, jauh sebelum ada HKm, era awal 1990-an, karena keterbatasan lahan garapan, sementara warganya bertambah; baik dari penduduk lokal maupun warga pendatang baru, memaks warga berekspansi ke kawasan hutan lindung Bukit Regis, register 31.  Warga bertanam kopi, pinang, pisang, dan berbagai jenis tanaman lainnya.

Hanya sayang, awal 1994, mereka “diusir”, tidak dibolehkan untuk bertanam di dalam kawasan  hutan. Tanaman mereka tinggalkan. Perambahan hutan berupa illegal logging meningkat drastis. Tingkat kerusakan hutan cenderung meningkat cepat.

Produk unggulan Hkm Bina wana dan Kwt Melati Pekon Tribudi Syukur Lampung Barat, hingga mampu meraup omset Rp 3 miliar setuiap tahun

Karenanya, tahun 1998, Bupati Lampung Barat, kala itu I Wayan Dirpa, minta agar masyarakat kembali ke bertanam di kawasan tersebut, sembari menjaga hutan. Namun, ajakan ini duirespon dingin masyarakat.  “ Masyarakat seakan kurang percaya, takut diusir balik, walau sudah ada jaminan dari pemerintah daerah, masyarakat trouma atas pengusiran sebelumnya,”ujar Engkos Kosasi.

Kendati ada masyarakat yang merespon dengan ijin sementara dari Pemda Lampung Barat, namun masyarakat terasa kurang yakin. Dan masyarakat merasa percaya setelah ada kebijakan yang dikeluarkan Menteri Kehutanan, melalui Permen 37/2007, bahwa masa HKm  35  tahun.  “Dengan adanya kepastian itu, baru masyarakat turun balik dan membentuk  HKm Bina Wana,”ujar Engkos Kosasi.

Dalam bimbingan BPDAS Rehabilitasi Hutan Sei Seputih Sei Sekapung,  Hkm Bina Wana berkembang pesat. Kekuatan kelompok telah menjadi penggerak utama menggali potensi ekonomi berbasiskan Hassil Hutan Bukan Kayu –HHBK. Dan karenanya,  tak usah heran pula, bila kini HKm Bina Wana menjadi percontohan bagi HKm lainnya.

”Sudah banyak petani dari beberapa daerah di Indonesia yang studi banding ke sini. Bahkan, beberapa petani dan peneliti dari luar negeri seperti dari Vietnam, Amerika, dan Jerman juga sudah pernah datang ke desa kami,” kata Engkos.  ( Usmandie A Andeska)