Kredibilitas Sertifikasi Hutan Lestari FSC Harus Ditingkatkan

Kredibilitas lembaga sertifikasi seperti FSC dipertaruhkan apabila menerima mentah-mentah hasil investigasi LSM. Foto: FSC
Kredibilitas lembaga sertifikasi seperti FSC dipertaruhkan apabila menerima mentah-mentah hasil investigasi LSM. Foto: FSC

TROPIS.CO, JAKARTA – Kampanye negatif lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan terhadap sektor kehutanan Indonesia akan merugikan kepentingan ekonomi nasional.

Tekanan LSM dilakukan dengan cara menuntut organisasi pengelolaan hutan lestari seperti Forest Stewardship Council (FSC) untuk menghapus keanggotaan perusahaan kayu asal Indonesia.

Berkaitan dengan sertifikasi produk hutan di Indonesia, Pengamat Kehutanan Dr. Petrus Gunarso menjelaskan bahwa lembaga sertifikasi kayu seperti FSC ataupun PEFC memang dibentuk untuk memenuhi tuntutan pembeli di luar negeri.

Masing-masing membuat standar dan skema sertifikasi yang berbeda-beda.

Di dalam negeri juga ada sertifikasi serupa seperti Lembaga Ekolabel Indonesia dan SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu).

Di pasar internasional, dikatakan Petrus Gunarso, perusahaaan kayu dari negara berkembang seperti Indonesia diminta untuk memenuhi standar negara pembeli seperti Eropa.

Itu sebabnya, berdirilah lembaga seperti FSC yang menerbitkan logo dagang produk kayu.

“Masalahnya adalah pelaku bisnis di negara berkembang.”

“Malahan dibuat ruwet karena harus memenuhi  kriteria sustainability yang berbeda di antara lembaga sertifikasi kayu.”

“Jadi, belum ada kriteria yang dibuat untuk standar internasional misalkan melalui ISO,” jelas Petrus di Jakarta, Senin (26/7/2021).

Petrus mengingatkan bahwa sertifikasi ini bagian dari strategi dagang.

Perusahaan kayu diminta punya sertifikasi oleh pembeli di luar negeri meski sifatnya sukarela, tapi kalau tidak punya sertifikatnya berakibat kesulitan masuk pasar ekspor.

Tak heran, beberapa lembaga sertifikasi hutan melibatkan jejaring LSM baik internasional dan lokal supaya perusahaan mempunyai sertifikat hutan lestari.