Percepatan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial

Beberapa Pokok Pikiran

Menurutnya, ada beberapa pokok pemikiran disampaikan Gema.

Pertama, secara khusus Gema Perhutanan Sosial menyampaikan apresiasi terhadap masuknya perhutanan sosial di dalam UUCK yaitu pada perubahan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan ditambahkannya pasal 29A dan 29B.

Dimuatnya perhutanan sosial dalam pengaturan setingkat Undang-undang merupakan capaian dan penghormatan negara terhadap pengelolaan hutan oleh rakyat setelah 75 tahun Indonesia merdeka. Tentu ini merupakan capaian penting yang patut diapresiasi.

Perhutanan sosial yang merupakan pengelolaan hutan oleh rakyat bukan lagi isu pinggiran, melainkan kini menjadi isu pada episentrum kebijakan pemerintah.

Kedua, Gema mengapresiasi alokasi Presiden untuk perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektare di luar Jawa dan sekitar 1.127.073 hektar di Jawa (data numerik Planologi KLHK, 2017)

Ketiga, Gema mengapresiasi perubahan pasal 18 UU No 41 Tahun 1999 pada UUCK.

Perubahan pasal tersebut akan menjadi pintu bagi penyelesaian konflik tenurial pada kawasan hutan di Jawa, Lampung dan Bali.

Khusus di Jawa, sekitar 113.000 permukiman rakyat dalam kawasan hutan di Jawa akan dapat diselesaikan melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan tanpa proses tukar-menukar kawasan serta tanpa mekanisme izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dan sebagai konsekuensinya Permen LHK Nomor 64 Tahun 2019 harus diubah.

Menurut Gema, ini adalah langkah maju bagi realisasi penyelesaian tanah objek reforma agraria (TORA) dalam kawasan hutan.

Sebelumnya pada 2014 penyelesaian tanah dalam kawasan hutan baru diberi ruang penyelesaian hanya setingkat SKB 4 Menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Kementerian Pekerjaan Umun dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Pada prakteknya SKB tidak dapat dijalankan, dan tidak dapat dijadikan dasar hukum pijakan pelepasan tanah dalam kawasan hutan.

Namun dengan adanya perubahan pasal 18 UU Nomor 41 Tahun 1999 pada UUCK, maka saat ini dimungkinkan untuk dilakukan pelepasan tanah dalam kawasan hutan atau TORA dari kawasan hutan.

Pasal ini akan menjadi dasar hukum bagi penyelesaian konflik-konflik tenurial pada kawasan hutan di Jawa, Lampung dan Bali.

Secara khusus Gema memohon agar diprioritaskan pelepasan kawasan pada permukiman-permukiman rakyat dalam kawasan hutan, tanpa tukar menukar kawasan hutan (TMKH) dan IPPKH.

Gema menyampaikan beberapa contoh kasus permukiman dalam kawasan di antaranya pada permukiman nelayan di Sendang Biru, Desa Tambakrejo, Kecamatan Sumber Manjing Wetan, Kabupaten Malang. Kasus ini diselesaikan melalui prosedur TMKH lebih dari 20 tahun.

Baru pada masa Menteri Siti Nurbaya, SK TMKH diterbitkan dan saat ini dalam proses untuk sertifikasi hampir 1.000 bidang.

Contoh lain permukiman dalam kawasan di Desa Bantar Bolang dan Desa Karanganyar, Kecamatan Bantar Bolang, Kabupaten Pemalang yang telah ada sejak 1962, juga di Dusun Mandiku, Desa Sidodadi, Kabupaten Jember yang telah bermukim sebelum Indonesia merdeka, atau pun pada permukiman akibat relokasi bencana alam seperti terjadi di Dusun Bintoro Mulyo, Desa Pranten, Kabupaten Batang yang berproses untuk mendapatkan sertifikat hak atas tanah selama 16 tahun.

Dengan ketentuan baru dalam UUCK, konflik-konflik tenurial ini dapat diselesaikan segera.

Namun demikian Gema menyampaikan peringatan agar pemerintah berhati-hati dalam prosedur penetapan subjek penerima redistribusi TORA dari pelepasan dalam kawasan.

Pada beberapa kasus di tingkat tapak pemerintah daerah dan pemerintah desa memberikan data identifikasi subjek penerima yang keliru atau berbeda nama calon penerima dengan nama rill penggarap lahan dalam kawasan. Perbedaan data subjek ini memicu terjadinya konflik horisontal.

Sikap kehati-hatian pemerintah terutama KLHK dan Kementerian ATR sangat penting.